Jumat, 01 Mei 2009

Karma

Kisah nyata, nama dan peristiwa disamarkan.

Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah keluarga, ada seorang pembantu perempuan yang begitu disayangi, sampai dianggap sebagai bagian dari keluarga sendiri. Ia bertugas mengasuh anak cikal dari keluarga tersebut yang saat itu masih kelas 1 SD. Di sebuah SD islam yang terkenal.

Pembantu itu, anggap saja, namanya Alen. Atau Al, sudah bekerja lebih dari setahun di rumah itu. Dan tak pernah ada skandal apapun. Kerjanya nyaris tanpa cela. Mulai dari cara dia mengasuh Si Anak Cikal, sampai kebersihan lantai dan makanan yang dia buat. Semuanya sempurna. She do the best and give the best.

Ada tiga orang pembantu di keluarga itu, masing-masing dengan tugas yang berbeda. Al yang bertugas mengurus anak cikal, De yang mengurus anak kedua, dan Ti yang bertugas memasak. Walau begitu, mereka mengerjakan tugas itu dengan fleksibel, saling membantu, dan jarang sekali terjadi konflik.

Sampai suatu ketika, entah bagaimana, tapi muncul gelagat yang aneh dari si Al ini. Setelah Sang Nyonya rumah melakukan beberapa kali 'pengamatan', sadarlah ia bahwa si Al sedang 'melet' suaminya.

Di kamarnya, ia menemukan 'buku harian' Al yang bertulisan, "Semua lelaki yang kini dekat denganku hanyalah boneka. Tujuanku bukanlah mereka, tapi "dia", sayangnya ada penghalang, tapi aku akan mengenyahkannya."

Nyonya-rumah yang pikirannya sudah dipenuhi prasangka bahwa Al menyukai suaminya langsung kalap. Ia langsung saja melakukan sidak, dan sore harinya, ia mengusir Al keluar rumah.

Besoknya, sopir disuruh mengantarkan Al pulang ke rumah.

Dan lama kemudian tak ada kabar.

Tapi di rumah itu beredar spekulasi-spekulasi. Diantaranya: tingkah Al karena pengaruh sihir yang 'dikirmkan' oleh mertua-perempuan Nyonya-rumah, yang benci ke si Nyonya-rumah, karena takut harta kekayaan keluarga itu akan jatuh ke anak-anak si Nyonya-rumah.

Di sisi lain, sang suami tak percaya sihir, dan karenanya Nyonya-rumah tak berani membicarakannya. Ia memendam sendiri kemarahannya itu, kebenciannya itu, sampai....

bertahun-tahun kemudian, Al dengan nama samaran mengirimiku sms. Aku tahu perkara itu, dan mungkin lebih tahu daripada Al sendiri. Al menceritakan bahwa ia dipaksa putus dengan pacarnya dan dinikahkan paksa dengan orang Jakarta. Menurut Al, sampai sekarang dia belum bisa melayani suaminya.

Mau tak mau saya berpikir, mungkinkah ini karma atas ulah Al bertahun-tahun yang lalu? Tuhan Tahu Tapi Menunggu....

Gila

Di suatu rumah sakit jiwa, suatu hari, sang dokter hendak memeriksa para pasiennya. Saat memasuki ruang aula, di mana para pasien sedang berkumpul, sang dokter berteriak, “Ayo, semua, waktunya berenang!”

“Hore! Hore! Hore!” Seru sebagian orang sambil tertawa cekikikan. Bahagia sebentar lagi akan berenang bersama… teman-teman, ups, bukan bersama sang dokter.

Mereka pun berjalan kea rah halaman rumah sakit. Di sana, ada sebuah kolam renang yang cukup besar sedalam 1 meter, yang sengaja tidak di isi air. Sontak saja, para pasien itu meloncat dan menceburkan diri ke kolam renang yang tak ada airnya tersebut.

Seorang memegang balon berbentuk bebek, kemudian loncat dengan gaya doggy pipis. Seorang perempuan di sebelah utara kolam, sedang digoda oleh seorang laki-laki, dengan menciprat-cipratkan ‘air’ ke muka si perempuan. Sebagian lagi berenang-renang. Semuanya gaya dicoba: gaya dada, gaya punggung, gaya bebas, gaya batu.

Sang dokter melihat itu dengan mata kagum dan bahagia, seperti seorang ibu melihat anak-anaknya bermain. Tapi matanya tercekat ketika di salah satu sisi kolam, seorang pasien pria hanya duduk termangu tak bersemangat. Dari sorot matanya bahkan terlihat menyepelekan, menghina pada apa yang dilakukan teman-temannya sebangsa orang gila.

Sang dokter lebih kagum dan bahagia lagi melihat hal itu. Akhirnya! Serunya dalam hati, girang. Terimakasih Tuhan! Dia menengadah langit, mengatupkan tanga, bersyukur atas anugerah itu.

Sudah 57 tahun 4 bulan 3 hari 2 jam kariernya sebagai dokter rumah sakit jiwa (atau psikiater), dan ini adalah keberhasilan perdananya. Seorang pasien sembuh! Ini bahkan lebih fantastic daripada saat Torres menjadikan Spanyol juara piala Eropa setelah puluhan tahun hanya bisa memandanginya.

Ia tak mau kehilangan momen. Ia harus bergegas. Ia berlari kea rah si pasien tersebut, sambil tak sabar untuk merecokinya dengan ucapan selamat dan pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Siapa suami Dewi Perssik?” Lho? Rupanya sang psikiater ini korban infotainment.

Ia berdiri beberapa senti dari si pasien. Jantungnya dagdigdug tak karuan menanggungkan momen paling agung selama hidupnya. Oh Tuhan, nyatakah ini semuah? Oh, terimakasih… jerit hatinya, sendu dan parau.

“Mas,” ujar si psikiater kepada si (mantan) pasien gila itu. Si pasien melirik kea rah si psikiater dengan pandangan melecehkan juga. Siapa sih? Begitu artinya.

Sang dokter bahagia. Ini respon positif. Tidak mudah memahami realita bagi orang yang telah tersesat sekian lama, ujarnya berfilosofi.

“Uhm,” dia berdehem. “Kenapa nggak ikut renang, Mas?” Sang psikiater mencoba bijak. Ia cengangas-cengenges seperti sedang iklan pasta gigi, sambil mengatur nafas, menunggu moment paling agung itu.

Tapi si pasien hanya memandangi sang psikiater dengan sorot mata kosong. Mulutnya diam seribu bahasa. Tapi kemudian tangan kanannya terangkat, dan telunjuknya menunjuk kea rah kolam renang.

Sang psikiater mulai tersenyum lebar. Ya, ya, katakana padaku, katakana bahwa yang mereka lakukan itu gila, ayo katakana. Ujar hatinya. Kini ia kembali memandang sang psikiater dan dengan telunjuk masih tetap menunjuk kea rah kolam renang, ia berkata, “Airnya dingin.”

Ia lalu berbalik, menekuk lutut lalu memeluknya, dan dengan keras menggermutukkan giginya. Kedinginan.

Kacamata... Oh No, I Blind!

Aku pernah begitu terobsesi pada kacamata. Nampaknya, kacamata memiliki daya magis tersendiri yang bisa membuat seseorang terlihat pintar, misterius, dan jenius.

Survei membuktikan banyak orang pintar, professor, dokter, dosen, dan artis-artis, menggunakan kacamata. Kacamata bukan sekedar ‘alat bantu’ penghilatan, tapi ia juga style dan trend. Bagian dari kehidupan yang tak bisa dilepaskan seperti halnya facebook bagi para maniaknya.

Walaun lensa kontak mulai ngetren waktu itu, toh fenomena kacamata masih megang di rating tertinggi mengalahkan Tersanjung dan Cinta Fitri 3. Data didapatkan dari Bale Pusat Statistik yang sengaja dibentuk demi mendukung proposal pengajuan pemakaian kacamata yang aku ajukan kepada ayahku.

Aku baru pulang naik haji saat itu. Usiaku menjelang 15 tahun.

Sebenarnya, sewaktu di Mekkah, aku beberapa kali mengunjungi lapak-lapak yang menjual kacamata. Di sana, kacamatanya bisa dilipat di bagian tengah, sehingga bisa lebih mudah untuk kita bawa. Selain itu, dengan harga yang relative murah (atau terasa murah karena menggunakan uang real: sekitar 10 real per buah) model-model kacamatanya cukup bagus.

Aku membeli satu untuk ibuku. Kacamata itu bisa dilipat. Aku begitu senang setelah membelinya dan beberapa kali aku mencobanya. Tapi… selalu tidak cocok.

Saat aku kembali mengunjungi satu lapak penjual kacamata, dan mencoba beberapa (bahkan memaksakan diri untuk mencoba kacamata yang lensanya bernilai +1,5). Tapi untungnya, mataku yang normal menolak kacamata itu dengan merasa pusing saat memakainya. Lagipula, entah bentuk hidungku yang salah, ataukah bentuk kacamata itu yang tidak pas. Pokoknya, saat aku memakainya, kacamata tersebut jadi miring. Yang sebelah kanan, kena ke alis, yang sebelah kiri satu senti di bawah alis.

Wow, nggak matching euy!

Akhirnya, aku memutuskan tidak membeli kacamata.

Dan, saat kembali ke Tanah Air tercintah, hasrat memiliki kacamata itu datang lagi. Aku mengeluh pada ayahku bahwa mataku perih saat membaca. “Mungkin sudah saatnya aku pake kacamata,” ujarku menutup pidato promosiku kepada ayahku.

Akhirnya, aku dibawa ke dokter mata. Pak Agam Gambiro. Di sana, mataku diperiksa dan dites membaca huruf-huruf yang disusun dengan ukuran yang berbeda. Menilai sejauh mana daya lihatku.

Tapi karena aku seorang bocah yang baik, aku jujur saja membaca huruf-huruf itu. Dan hasilnya, “Mata Adek baik-baik saja. Rasa perih saat baca itu Cuma iritasi. Nanti saya kasih obat tetes ya. Insya Allah seminggu juga sembuh.”

Aku pulang dengan nelangsa karena mimpiku akan memakai kacamata runtuh oleh hasil analisa dokter Agam Gambiro yang gembira itu. Selama seminggu aku menggunakan obat itu dan mencoba menerima kenyataan ini apa adanya.

Tapi, setelah seminggu setelah masa obat tetes itu habis, aku merasa pusing tiap kali membaca terlalu banyak. Aku mengadukan ini kepada ayahku, dan akhirnya, aku dikirim ke dokter mata di Bandung.

Konon, menurut keterangan yang diterima hingga saat ini, dokter tersebut adalah salah satu dokter mata terbaik di Indonesia. Dia seorang professor. Sudah udzur, tapi tetap memiliki senyum yang lebih dari cukup untuk membuatku merasa tenang berada di sisinya.

Dan akhirnya aku diperiksa, dan dokter itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Setelah selesai, dokter itu berkata, “Mata Adek baik-baik saja. Hanya kena kotoran. Nanti akan saya kasih obat. InsyaAllah nanti juga sembuh.”

“Apa perlu pake kacamata, dok?” Tanya kakakku yang mengantarku ke dokter tersebut.

“Ah, tidak usah. Justru malah akan jadi jelek kalau pake kacamata.”

Untuk kedua kalinya, aku pulang dengan kekalahan. Aku menarik kakiku dan mencoba menguat-nguatkannya karena mimpiku kini hancur berkeping-keping dilanda tsunami.

Tapi aku adalah anak yang baik, seperti yang kalian semua tahu. Aku setia menggunakan obat tetes dari professor itu. Dan di suatu malam, saat aku tertidur setelah sebelumnya menggunakan obat tetes mata itu, aku terbangun dan kaget karena aku tak bisa melihat apapun! APAPUN!

Semuanya gelap, gelap, dan gelap.

Aku membelalak-belalakkan mataku dan semuanya tetap gelap. Aku menutup mata karena takut ini hanya mimpi, dan kubuka lagi mataku, tapi semuanya tetap gelap.

Tidak. Aku tidak mau menjadi buta. Aku tidak mau… AKU TIDAK MAU BUTA…!

Aku hamper menangis saat aku mencoba meraih gorden untuk meraih ke luar jendela—siapa tahu aku bisa melihat pemandangan di luar—tapi semuanya gelap, gelap, dan gelap.

Jam berapa ini? Di mana aku ini? Ya Tuhan… aku baru 15 tahun… aku membatin. Aku berteriak-teriak memanggil ibuku, juga kakak-kakakku, yang segera saja memegangiku sambil berkata, “Aya naon, Fan? Aya naon, Fan?”

Ari ieu jam sabaraha? Ari ieu dimana? Naha teu katingal nanaon?” Air mataku mengalir menanggungkan nasib menjadi orang buta dan…

…tepat pada saat itu lampu menyala.

“Alhamdulillah,” ujar ibuku. “Ti jam 10, lampu teh pareum.”

Rice...Yes... I Want RIce

...cat: tulisan ini dimuat juga di www.duniafiksi.com

Kami punya kebiasaan menyisihkan uang jajan selama bulan Ramadhan, untuk dibuka dan dibagikan kembali di detik-detik terakhir menjelang lebaran. Biasanya, kami akan pergi bersama ke suatu tempat makan di Cianjur untuk buka bersama. Atau, bila tidak diizinkan, pada hari lebarannya (atau hari kedua lebaran, jika pada hari pertama, kami harus berkeliling kampong, dari rumah ke rumah, bersilaturahmi) kami akan pergi ke Toserba Selamat untuk main Timezone.

Pada bulan Ramadhan saat itu, usiaku sekitar 12 atau 13 tahun, dan sudah masuk SMP. Seperti biasa, mereka semua, teman-teman bermainku di kampong, mempercayakan uang mereka untuk disimpan padaku. Dengan kata lain, aku adalah bank yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan, yang walaupun tidak memberi bunga sebagai kompensasi kegiatan menabung mereka, tapi toh aku tidak melakukan pemotongan tabungan untuk biaya-penjagaan.

Seringkali memang aku dibuat repot oleh kegiatan itu, walaupun harus aku akui, ini lucu dan menyenangkan juga. Biasanya, sehabis maghrib, setelah kenyang berbuka puasa, kami akan berkumpul di dekat mesjid, dan sebelum acara kucing-kucingan dimulai, mereka akan menyetor uang kepadaku. Tapi, kadang ada juga yang menyetor kepadaku sebelum/sesudah shalat tarawih. Tentu saja itu tak masalah, walaupun merepotkan, dan kadang bikin kepalaku nyut-nyutan.

Nah, pada saat tanggal 30 Ramadhan tiba, aku membagikan semua tabungan mereka. Luar biasa senangnya kami, karena uang seribu-dua ribu yang kami sisihkan tiap hari itu, kini jadi nominal yang besar dan bisa kami pakai ‘bersenang-senang’ di hari lebaran.

“Kita ke toserba lagi, yuk.” Ujar salah seorang.

“Ah, bosen.”

“Eh, teu nyaoheun. Aya CFC siateh! Anyar dibuka.”

Dan mereka terlibat dalam perdebatan yang seru. Aku memerhatikannya dengan tersenyum, dan akhirnya diperoleh kesepakatan: kami akan makan bersama di CFC yang belum genap 1 bulan buka di Cianjur.

Kami berangkat bersama, mengenakan pakaian lebaran masing-masing ke lokasi, pada hari yang bersejarah itu. Kami duduk diam selama dalam perjalanan. Rupanya, kami semua tegang karena sebentar lagi akan makan di tempat yang biasanya hanya kami lihat di iklan-iklan di televise—dimana salah seorang pengunjung membeli burger atau paket-paket yang tidak kami pahami.

Sesampainya di sana, suasana CFC sudah penuh sesak oleh masyarakat Cianjur yang ingin jadi yang pertama mencoba restoran cepat saji yang pertama buka di Cianjur ini.

Di pintu masuk, kami terlibat sedikit perdebatan di antara kami sendiri.

“Kamu dulu yang masuk.”

“Nggak. Kamu dulu.”

Seperti biasa, aku lah yang dikorbankan. Aku harus berjalan paling depan, dengan alasan yang mereka buat-buat: (1) aku paling tinggi, (2) aku paling fasih bahasa Inggris, (3) aku paling bisa berkomunikasi dengan ‘dunia luar’.

Mendekati counter dengan beberapa pramusaji yang cantik dan ramah, aku dilanda nervouse. Aku membaca papan di belakang pramusaji yang menyajikan data makanan dan minuman yang disediakan di sini—dan semuanya dalam bahasa Inggris! Untuk mempertahankan harga diriku di depan teman-temanku, aku berkata dengan sok calm.

“Kalian mau pesan apa?”

Tapi mereka malah pucat. Mereka saling memandang, dan berpura-pura tidak tegang—bersikap seolah mereka sudah biasa berada di lingkungan seperti ini.

“Gimana kamu aja, Fan.”

Sialan.

Justru itu aku nanya, aku juga bingung, ujarku dalam hati. Dengan semangat sok-karismatik, aku berkata, “Oh, sebentar. Aku lihat-lihat menunya dulu.”

Aku membaca satu per satu makanan di papan itu. Salah seorang temanku yang kondisi ekonominya paling tinggi diantara kami menunjuk ke papan dan meminta kepadaku agar memesankannya sejenis soup. Corn-soup. Aku mengangguk, dan kupikir, aku juga mau nyoba soup itu.

“Sini, mana uang kalian.”

Dan mereka menyetor uang mereka kepadaku. Sebetulnya, tidak benar-benar penting karena aku hanya mengulur-ulur waktu sambil mencari alternative menu yang bisa kami pesan dengan mudah. Kenapa tidak ada program paket-paketan kayak di iklan sih? Aku membatin.

Dan saat aku berbalik, seorang pramusaji yang cantik itu berkata ramah kepadaku. “Mau pesen apa, Dek?”

“Oh, umm. Oh, umm.” Aku bingung. Karena semua nama makanan di papan itu dalam bahasa Inggris, tentulah aku harus memesan dalam bahasa Inggris pula. Itulah kenapa aku disuruh jadi mediator, aku yang paling jago bahasa Inggris di sini.

Sebentar, apa bahasa Inggrisnya, nasi? Hmm, aha! Rice, yes, rice. “Mau pesen, rice, yes, rice.”

“Oh, nasi.”

“Yes, rice.” Aku keukeuh menggunakan bahasa Inggris.

“Berapa?”

Aku menghitung jumlah temanku, dan kubilang, “Enam.” Untuk menjawab ini aku sengaja tak memakai bahasa Inggris. Mau tahu kenapa? Aku ini tipikal orang penurut, kawan. Jadi, kalau di papan itu semua menu berbahasa Inggris, tentunya aku juga harus memesan makanan itu dalam bahasa Inggris. Ngerti?

“Sama apa lagi?”

“Chest 3,” aku mencari-cari bahasa Inggris paha, tapi otakku nge-blank. Aku berbalik menghadap teman-temanku, berpura-pura mau menanyakan apa yang mau mereka pesan—karena terlampau gugup oleh tatapan si pramusaji—tapi, saat aku berbalik semua temanku tidak ada.

Aku mesti berjingkat dan mengedarkan pandangan, sebelum aku lihat mereka tersenyum tanpa dosa dan melambaikan tangan kepadaku, sambil duduk di salah satu bangku di ujung ruangan.

Aku membalas senyuman mereka dengan putus asa.

Benar-benar anak udik semua.

“Dada 3, sama apa lagi?”

Akhirnya, aku menyerah.

“Paha, 2. Wing 1.”

“Paha 2, sayap 1,” si pramusaji mengulangi.

Aku juga memesan corn-soup yang dipesan salah seorang temanku tadi. Tujuannya jelas: ingin terlihat lebih saja daripada yang lain—seolah-olah aku ini sudah terbiasa dengan kondisi seperti tadi.

Setelah semuanya siap, aku memanggil mereka untuk membantuku membawa baki yang berisi makanan yang telah kami pesan, lengkap dengan minumannya, tentu saja.

Dan, luar biasa, aku masih bisa mempertahankan kesan sok-karismatikku di hadapan mereka. Dan mereka masih bisa tetap menganggapku demikian. Aneh, dunia memang aneh.

Kami makan dengan tertib.

“Enak nggak, Fan, soupnya?” Tanya salah seorang temanku yang lain.

Aku belum mencicipinya sejak tadi. Aku memandang kea rah soup dan hatiku berdebar-debar mengantisipasi segala kemungkinan rasa yang akan aku temukan—seperti apa gerangan rasa soup yang kental, berwarna susu, dengan isi jagung ini?

Aku menyeruputnya, dan…

“Gimana?”

“Enak. Enak.” Aku mengangguk-angguk. Mencoba berpromosi. Jadi ingat iklan salah satu produk mie, yang pada saat itu belum ada: soal kata, lidah bisa bohong, soal rasa, lidah nggak bisa bohong.

“Sini coba,” ujarnya penuh semangat.

Saat dia mencoba, ia langsung menggernyitkan kening, lalu menertawaiku karena memesan makanan yang tidak enak atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan lidah kami yang cocoknya makan ulen dan obrek. Aku membatin dalam hati, betapa soknya anak ini menertawaiku, padahal dia sendiri nggak ada nyali. Dasar. Dasar kau.

Tadinya ingin aku kutuk dia, tapi karena masih dalam semangat lebaran, akhirnya aku ikhlas memaafkan dia. Temanku yang kaya mah, nggak terpengaruh, ia tetep aja makan, dan saat ia bilang enak, yang lain pun tak ada yang berkomentar—mungkin memaklumi lidah-kayanya itu. Ah, begitulah.

Setelah selesai makan dan tak lupa berdoa dan mengucap syukur kami pun berdiri dan membasuh tangan di wastafel di restoran ini, lalu berjalan keluar dari toko ini. Kecuali si anak yang menertawaiku tadi yang masih sibuk cuci tangan.

Kami sedang asyik ngobrol di pelataran parker, ketika aku mendengar seseorang berteriak-teriak memanggil kami. Saat kami memandang kea rah restoran, temanku itu sedang memukul-mukul kaca-jendela (hamper seluruh dinding restoran ini berupa kaca), sambil teriak, “Pintunya? Pintunya mana?”

***

Intinya?

Jadilah diri sendiri. Walaupun klasik dan klise, tapi pengalaman membuktikan, kata-kata itu lebih dari sekedar ampuh dan mujarab. Dan tentu saja, lebih mudah untuk mengatakan atau menulis itu—yang karenanya aku memilih melakukannya, hehehe.

Sekarang sih, ya, ikutin aja beberapa clue di sini untuk menjadi diri sendiri. Oke?

1. Kenali sifat, sikap, dan karakter kita. Karakter adalah diri kita dalam kegelapan. Artinya, sesuatu tak kasat mata yang orang lihat dari kita. Karakter merupakan akumulasi dari apa yang kita lakukan sehari-hari. Kamu menabur kebiasaan, kami menuai karakter.

2. Kenali kelebihan dan kelemahanmu. Seperti motto samurai, siapa yang tidak bisa mengendalikan kelemahannya, akan dikuasai oleh musuhnya.

3. Melihat dunia yang terus berubah, kita memang juga harus berubah. Tapi, berubah di sini harus seperti air yang berpindah wadah. Dia tetap air, hanya bentuknya saja yang berubah. Jadi, perubahan kita, tidak boleh turut mengubah jati diri kita yang sebenarnya.

4. Hindari copycat. Dalam mencari jati diri, kita memang cenderung belajar dan mencari dengan cara meniru orang-orang yang kita kagumi, atau orang-orang di sekitar kita. Tapi ingat, itu hanya tujuan-antara bukan tujuan-akhir. Jadi, kamu meniru itu dengan tujuan untuk menemukan jati dirimu yang sebenarnya. Bukan karena kamu ingin mati dengan menjadi fotocopyan orang lain—seperti si penggemar Jesse James itu, tahu nggak? Tonton The Assasination of Jesse James. Heuheu.

Adzan

SEJAK KECIL aku tidak berani adzan. Rasanya, takut saja. Pake speaker, didengar orang sekampung. Tak ada pause, ada pitan heula. Semuanya berjalan on air, tanpa break atau cut.

Aku tahu aku punya bakat menyanyi. Paling tidak, walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, aku sadar nada. Aku terbiasa melakukan improvisasi nada yang terkadang nyeleneh namun tidak false. Tapi itu tetap saja tak membuatku berani untuk adzan.

Walaupun pada saat kecil, adzan pernah ‘mewabah’ di kalangan teman-teman sebayaku, toh itu tak membuatku berani untuk adzan. Herdilan, misalnya, dia yang suaranya bagus, malah ikut lomba adzan dan dapet juara 2. Di setiap waktu shalat, teman-temanku selalu menunggu dan berebutan untuk adzan. Malah, kadang, mereka duet saat adzan.

Tapi aku selalu sebagai tokoh ketiga di luar cerita. Semacam penonton bagi pertunjukkan itu. Hingga… aku pindah ke rumah kakakku di Ciranjang.

Suatu ketika, saat aku sedang I’tikaf di mesjid sampai isya’, dan waktu isya tiba, tak ada seorangpun yang (mau) adzan. Muadzin yang biasa adzan belum datang. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk adzan dengan alasan (1) kalaupun jelek, tak ada seorangpun yang mengenalku yang tahu, (2) tidak ada salahnya mencoba, (3) fiuuuh….

Akhirnya, aku adzan… dan… untuk pengalaman pertama, well, cukuplah, lumayan. Aku meniru ragam adzan Arab walaupun tidak terlalu bagus, ditambah dengan timbre suaraku yang bass dan tidak ‘cempreng’.

Tapi pengalaman pertama itu membuatku yakin bahwa aku bisa adzan. Bahwa adzan tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Dan begitulah, di hari-hari berikutnya, jika si muadzin tidak ada, aku adzan.

Sampai suatu ketika, keponakanku yang masih kelas 3 SD ikut I’tikaf di mesjid. Saat waktu isya tiba, aku kembali didaulat untuk adzan. Keponakanku itu tertawa-tawa. Ia tidak tahu bahwa aku bisa adzan.

Kini aku tidak terlalu gugup lagi saat adzan. Aku bahkan sudah bisa mengatur saat-saat yang tepat untuk mengambil dan mengeluarkan nafas, serta mengimprove nada-nada saat adzan, tanpa melanggar amanah suci yang tertuang di dalamnya.

Saat selesai adzan, aku berbalik dari dekat mimbar, dan ketika melihat keponakanku, ia bertepuk tangan sambil tersenyum.

Bagus.

Lalu, ia menyuruhku menunduk agar ia bisa membisikkan sesuatu kepadaku. Dan aku menunduk, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, dan kemudian berbisik, “Mang, suara Amang mirip dangdut.”