Jumat, 01 Mei 2009

Adzan

SEJAK KECIL aku tidak berani adzan. Rasanya, takut saja. Pake speaker, didengar orang sekampung. Tak ada pause, ada pitan heula. Semuanya berjalan on air, tanpa break atau cut.

Aku tahu aku punya bakat menyanyi. Paling tidak, walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, aku sadar nada. Aku terbiasa melakukan improvisasi nada yang terkadang nyeleneh namun tidak false. Tapi itu tetap saja tak membuatku berani untuk adzan.

Walaupun pada saat kecil, adzan pernah ‘mewabah’ di kalangan teman-teman sebayaku, toh itu tak membuatku berani untuk adzan. Herdilan, misalnya, dia yang suaranya bagus, malah ikut lomba adzan dan dapet juara 2. Di setiap waktu shalat, teman-temanku selalu menunggu dan berebutan untuk adzan. Malah, kadang, mereka duet saat adzan.

Tapi aku selalu sebagai tokoh ketiga di luar cerita. Semacam penonton bagi pertunjukkan itu. Hingga… aku pindah ke rumah kakakku di Ciranjang.

Suatu ketika, saat aku sedang I’tikaf di mesjid sampai isya’, dan waktu isya tiba, tak ada seorangpun yang (mau) adzan. Muadzin yang biasa adzan belum datang. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk adzan dengan alasan (1) kalaupun jelek, tak ada seorangpun yang mengenalku yang tahu, (2) tidak ada salahnya mencoba, (3) fiuuuh….

Akhirnya, aku adzan… dan… untuk pengalaman pertama, well, cukuplah, lumayan. Aku meniru ragam adzan Arab walaupun tidak terlalu bagus, ditambah dengan timbre suaraku yang bass dan tidak ‘cempreng’.

Tapi pengalaman pertama itu membuatku yakin bahwa aku bisa adzan. Bahwa adzan tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Dan begitulah, di hari-hari berikutnya, jika si muadzin tidak ada, aku adzan.

Sampai suatu ketika, keponakanku yang masih kelas 3 SD ikut I’tikaf di mesjid. Saat waktu isya tiba, aku kembali didaulat untuk adzan. Keponakanku itu tertawa-tawa. Ia tidak tahu bahwa aku bisa adzan.

Kini aku tidak terlalu gugup lagi saat adzan. Aku bahkan sudah bisa mengatur saat-saat yang tepat untuk mengambil dan mengeluarkan nafas, serta mengimprove nada-nada saat adzan, tanpa melanggar amanah suci yang tertuang di dalamnya.

Saat selesai adzan, aku berbalik dari dekat mimbar, dan ketika melihat keponakanku, ia bertepuk tangan sambil tersenyum.

Bagus.

Lalu, ia menyuruhku menunduk agar ia bisa membisikkan sesuatu kepadaku. Dan aku menunduk, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, dan kemudian berbisik, “Mang, suara Amang mirip dangdut.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar