Survei membuktikan banyak
Walaun lensa kontak mulai ngetren waktu itu, toh fenomena kacamata masih megang di rating tertinggi mengalahkan Tersanjung dan Cinta Fitri 3. Data didapatkan dari
Aku baru pulang naik haji saat itu. Usiaku menjelang 15 tahun.
Sebenarnya, sewaktu
Aku membeli satu untuk ibuku. Kacamata itu bisa dilipat. Aku begitu senang setelah membelinya dan beberapa kali aku mencobanya. Tapi… selalu tidak cocok.
Saat aku kembali mengunjungi satu lapak penjual kacamata, dan mencoba beberapa (bahkan memaksakan diri untuk mencoba kacamata yang lensanya
Wow, nggak matching euy!
Akhirnya, aku memutuskan tidak membeli kacamata.
Dan, saat kembali ke Tanah Air tercintah, hasrat memiliki kacamata itu datang lagi. Aku mengeluh pada ayahku bahwa mataku perih saat membaca. “Mungkin sudah saatnya aku pake kacamata,” ujarku menutup pidato promosiku kepada ayahku.
Akhirnya, aku dibawa ke dokter mata. Pak Agam Gambiro. Di
Tapi karena aku seorang bocah yang baik, aku jujur saja membaca huruf-huruf itu. Dan hasilnya, “Mata Adek baik-baik saja. Rasa perih saat baca itu Cuma iritasi.
Aku pulang dengan nelangsa karena mimpiku akan memakai kacamata runtuh oleh hasil analisa dokter
Tapi, setelah seminggu setelah masa obat tetes itu habis, aku merasa pusing tiap kali membaca terlalu banyak. Aku mengadukan ini kepada ayahku, dan akhirnya, aku dikirim ke dokter mata di
Konon, menurut keterangan yang diterima hingga saat ini, dokter tersebut adalah salah satu dokter mata terbaik di
Dan akhirnya aku diperiksa, dan dokter itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Setelah selesai, dokter itu berkata, “Mata Adek baik-baik saja. Hanya kena kotoran.
“Apa perlu pake kacamata, dok?” Tanya kakakku yang mengantarku ke dokter tersebut.
“Ah, tidak
Untuk kedua kalinya, aku pulang dengan kekalahan. Aku menarik kakiku dan mencoba menguat-nguatkannya karena mimpiku kini hancur berkeping-keping dilanda tsunami.
Tapi aku adalah anak yang baik, seperti yang kalian semua tahu. Aku setia menggunakan obat tetes dari professor itu. Dan di suatu malam, saat aku tertidur setelah sebelumnya menggunakan obat tetes mata itu, aku terbangun dan kaget karena aku tak bisa melihat apapun! APAPUN!
Semuanya
Aku membelalak-belalakkan mataku dan semuanya tetap
Tidak. Aku tidak mau menjadi buta. Aku tidak mau… AKU TIDAK MAU BUTA…!
Aku hamper menangis saat aku mencoba meraih gorden untuk meraih ke luar jendela—siapa tahu aku bisa melihat pemandangan di luar—tapi semuanya
Jam berapa ini? Di mana aku ini? Ya Tuhan… aku baru 15 tahun… aku membatin. Aku berteriak-teriak memanggil ibuku, juga kakak-kakakku, yang segera saja memegangiku sambil berkata, “Aya naon, Fan? Aya naon, Fan?”
“Ari ieu jam sabaraha? Ari ieu dimana?
…tepat pada saat itu lampu menyala.
“Alhamdulillah,” ujar ibuku. “Ti jam 10, lampu teh pareum.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar