Jumat, 01 Mei 2009

Kacamata... Oh No, I Blind!

Aku pernah begitu terobsesi pada kacamata. Nampaknya, kacamata memiliki daya magis tersendiri yang bisa membuat seseorang terlihat pintar, misterius, dan jenius.

Survei membuktikan banyak orang pintar, professor, dokter, dosen, dan artis-artis, menggunakan kacamata. Kacamata bukan sekedar ‘alat bantu’ penghilatan, tapi ia juga style dan trend. Bagian dari kehidupan yang tak bisa dilepaskan seperti halnya facebook bagi para maniaknya.

Walaun lensa kontak mulai ngetren waktu itu, toh fenomena kacamata masih megang di rating tertinggi mengalahkan Tersanjung dan Cinta Fitri 3. Data didapatkan dari Bale Pusat Statistik yang sengaja dibentuk demi mendukung proposal pengajuan pemakaian kacamata yang aku ajukan kepada ayahku.

Aku baru pulang naik haji saat itu. Usiaku menjelang 15 tahun.

Sebenarnya, sewaktu di Mekkah, aku beberapa kali mengunjungi lapak-lapak yang menjual kacamata. Di sana, kacamatanya bisa dilipat di bagian tengah, sehingga bisa lebih mudah untuk kita bawa. Selain itu, dengan harga yang relative murah (atau terasa murah karena menggunakan uang real: sekitar 10 real per buah) model-model kacamatanya cukup bagus.

Aku membeli satu untuk ibuku. Kacamata itu bisa dilipat. Aku begitu senang setelah membelinya dan beberapa kali aku mencobanya. Tapi… selalu tidak cocok.

Saat aku kembali mengunjungi satu lapak penjual kacamata, dan mencoba beberapa (bahkan memaksakan diri untuk mencoba kacamata yang lensanya bernilai +1,5). Tapi untungnya, mataku yang normal menolak kacamata itu dengan merasa pusing saat memakainya. Lagipula, entah bentuk hidungku yang salah, ataukah bentuk kacamata itu yang tidak pas. Pokoknya, saat aku memakainya, kacamata tersebut jadi miring. Yang sebelah kanan, kena ke alis, yang sebelah kiri satu senti di bawah alis.

Wow, nggak matching euy!

Akhirnya, aku memutuskan tidak membeli kacamata.

Dan, saat kembali ke Tanah Air tercintah, hasrat memiliki kacamata itu datang lagi. Aku mengeluh pada ayahku bahwa mataku perih saat membaca. “Mungkin sudah saatnya aku pake kacamata,” ujarku menutup pidato promosiku kepada ayahku.

Akhirnya, aku dibawa ke dokter mata. Pak Agam Gambiro. Di sana, mataku diperiksa dan dites membaca huruf-huruf yang disusun dengan ukuran yang berbeda. Menilai sejauh mana daya lihatku.

Tapi karena aku seorang bocah yang baik, aku jujur saja membaca huruf-huruf itu. Dan hasilnya, “Mata Adek baik-baik saja. Rasa perih saat baca itu Cuma iritasi. Nanti saya kasih obat tetes ya. Insya Allah seminggu juga sembuh.”

Aku pulang dengan nelangsa karena mimpiku akan memakai kacamata runtuh oleh hasil analisa dokter Agam Gambiro yang gembira itu. Selama seminggu aku menggunakan obat itu dan mencoba menerima kenyataan ini apa adanya.

Tapi, setelah seminggu setelah masa obat tetes itu habis, aku merasa pusing tiap kali membaca terlalu banyak. Aku mengadukan ini kepada ayahku, dan akhirnya, aku dikirim ke dokter mata di Bandung.

Konon, menurut keterangan yang diterima hingga saat ini, dokter tersebut adalah salah satu dokter mata terbaik di Indonesia. Dia seorang professor. Sudah udzur, tapi tetap memiliki senyum yang lebih dari cukup untuk membuatku merasa tenang berada di sisinya.

Dan akhirnya aku diperiksa, dan dokter itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Setelah selesai, dokter itu berkata, “Mata Adek baik-baik saja. Hanya kena kotoran. Nanti akan saya kasih obat. InsyaAllah nanti juga sembuh.”

“Apa perlu pake kacamata, dok?” Tanya kakakku yang mengantarku ke dokter tersebut.

“Ah, tidak usah. Justru malah akan jadi jelek kalau pake kacamata.”

Untuk kedua kalinya, aku pulang dengan kekalahan. Aku menarik kakiku dan mencoba menguat-nguatkannya karena mimpiku kini hancur berkeping-keping dilanda tsunami.

Tapi aku adalah anak yang baik, seperti yang kalian semua tahu. Aku setia menggunakan obat tetes dari professor itu. Dan di suatu malam, saat aku tertidur setelah sebelumnya menggunakan obat tetes mata itu, aku terbangun dan kaget karena aku tak bisa melihat apapun! APAPUN!

Semuanya gelap, gelap, dan gelap.

Aku membelalak-belalakkan mataku dan semuanya tetap gelap. Aku menutup mata karena takut ini hanya mimpi, dan kubuka lagi mataku, tapi semuanya tetap gelap.

Tidak. Aku tidak mau menjadi buta. Aku tidak mau… AKU TIDAK MAU BUTA…!

Aku hamper menangis saat aku mencoba meraih gorden untuk meraih ke luar jendela—siapa tahu aku bisa melihat pemandangan di luar—tapi semuanya gelap, gelap, dan gelap.

Jam berapa ini? Di mana aku ini? Ya Tuhan… aku baru 15 tahun… aku membatin. Aku berteriak-teriak memanggil ibuku, juga kakak-kakakku, yang segera saja memegangiku sambil berkata, “Aya naon, Fan? Aya naon, Fan?”

Ari ieu jam sabaraha? Ari ieu dimana? Naha teu katingal nanaon?” Air mataku mengalir menanggungkan nasib menjadi orang buta dan…

…tepat pada saat itu lampu menyala.

“Alhamdulillah,” ujar ibuku. “Ti jam 10, lampu teh pareum.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar