Jumat, 01 Mei 2009

Gila

Di suatu rumah sakit jiwa, suatu hari, sang dokter hendak memeriksa para pasiennya. Saat memasuki ruang aula, di mana para pasien sedang berkumpul, sang dokter berteriak, “Ayo, semua, waktunya berenang!”

“Hore! Hore! Hore!” Seru sebagian orang sambil tertawa cekikikan. Bahagia sebentar lagi akan berenang bersama… teman-teman, ups, bukan bersama sang dokter.

Mereka pun berjalan kea rah halaman rumah sakit. Di sana, ada sebuah kolam renang yang cukup besar sedalam 1 meter, yang sengaja tidak di isi air. Sontak saja, para pasien itu meloncat dan menceburkan diri ke kolam renang yang tak ada airnya tersebut.

Seorang memegang balon berbentuk bebek, kemudian loncat dengan gaya doggy pipis. Seorang perempuan di sebelah utara kolam, sedang digoda oleh seorang laki-laki, dengan menciprat-cipratkan ‘air’ ke muka si perempuan. Sebagian lagi berenang-renang. Semuanya gaya dicoba: gaya dada, gaya punggung, gaya bebas, gaya batu.

Sang dokter melihat itu dengan mata kagum dan bahagia, seperti seorang ibu melihat anak-anaknya bermain. Tapi matanya tercekat ketika di salah satu sisi kolam, seorang pasien pria hanya duduk termangu tak bersemangat. Dari sorot matanya bahkan terlihat menyepelekan, menghina pada apa yang dilakukan teman-temannya sebangsa orang gila.

Sang dokter lebih kagum dan bahagia lagi melihat hal itu. Akhirnya! Serunya dalam hati, girang. Terimakasih Tuhan! Dia menengadah langit, mengatupkan tanga, bersyukur atas anugerah itu.

Sudah 57 tahun 4 bulan 3 hari 2 jam kariernya sebagai dokter rumah sakit jiwa (atau psikiater), dan ini adalah keberhasilan perdananya. Seorang pasien sembuh! Ini bahkan lebih fantastic daripada saat Torres menjadikan Spanyol juara piala Eropa setelah puluhan tahun hanya bisa memandanginya.

Ia tak mau kehilangan momen. Ia harus bergegas. Ia berlari kea rah si pasien tersebut, sambil tak sabar untuk merecokinya dengan ucapan selamat dan pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Siapa suami Dewi Perssik?” Lho? Rupanya sang psikiater ini korban infotainment.

Ia berdiri beberapa senti dari si pasien. Jantungnya dagdigdug tak karuan menanggungkan momen paling agung selama hidupnya. Oh Tuhan, nyatakah ini semuah? Oh, terimakasih… jerit hatinya, sendu dan parau.

“Mas,” ujar si psikiater kepada si (mantan) pasien gila itu. Si pasien melirik kea rah si psikiater dengan pandangan melecehkan juga. Siapa sih? Begitu artinya.

Sang dokter bahagia. Ini respon positif. Tidak mudah memahami realita bagi orang yang telah tersesat sekian lama, ujarnya berfilosofi.

“Uhm,” dia berdehem. “Kenapa nggak ikut renang, Mas?” Sang psikiater mencoba bijak. Ia cengangas-cengenges seperti sedang iklan pasta gigi, sambil mengatur nafas, menunggu moment paling agung itu.

Tapi si pasien hanya memandangi sang psikiater dengan sorot mata kosong. Mulutnya diam seribu bahasa. Tapi kemudian tangan kanannya terangkat, dan telunjuknya menunjuk kea rah kolam renang.

Sang psikiater mulai tersenyum lebar. Ya, ya, katakana padaku, katakana bahwa yang mereka lakukan itu gila, ayo katakana. Ujar hatinya. Kini ia kembali memandang sang psikiater dan dengan telunjuk masih tetap menunjuk kea rah kolam renang, ia berkata, “Airnya dingin.”

Ia lalu berbalik, menekuk lutut lalu memeluknya, dan dengan keras menggermutukkan giginya. Kedinginan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar