“Hore! Hore! Hore!” Seru sebagian
Mereka pun berjalan kea rah halaman rumah sakit. Di
Seorang memegang balon berbentuk bebek, kemudian loncat dengan
Sang dokter melihat itu dengan mata kagum dan bahagia, seperti seorang ibu melihat anak-anaknya bermain. Tapi matanya tercekat ketika di salah satu sisi kolam, seorang pasien pria hanya duduk termangu tak bersemangat. Dari sorot matanya bahkan terlihat menyepelekan, menghina pada apa yang dilakukan teman-temannya sebangsa
Sang dokter lebih kagum dan bahagia lagi melihat hal itu. Akhirnya! Serunya dalam hati, girang. Terimakasih Tuhan! Dia menengadah langit, mengatupkan tanga, bersyukur atas anugerah itu.
Sudah 57 tahun 4 bulan 3 hari 2 jam kariernya sebagai dokter rumah sakit jiwa (atau psikiater), dan ini adalah keberhasilan perdananya. Seorang pasien sembuh! Ini bahkan lebih fantastic daripada saat Torres menjadikan Spanyol juara piala Eropa setelah puluhan tahun hanya bisa memandanginya.
Ia tak mau kehilangan momen. Ia harus bergegas. Ia berlari kea rah si pasien tersebut, sambil tak sabar untuk merecokinya dengan ucapan selamat dan pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Siapa suami Dewi Perssik?” Lho? Rupanya sang psikiater ini korban infotainment.
Ia berdiri beberapa senti dari si pasien. Jantungnya dagdigdug tak karuan menanggungkan momen paling agung selama hidupnya. Oh Tuhan, nyatakah ini semuah? Oh, terimakasih… jerit hatinya, sendu dan parau.
“Mas,” ujar si psikiater kepada si (mantan) pasien gila itu. Si pasien melirik kea rah si psikiater dengan pandangan melecehkan juga. Siapa sih? Begitu artinya.
Sang dokter bahagia. Ini respon positif. Tidak mudah memahami realita bagi
“Uhm,” dia berdehem. “Kenapa nggak ikut renang, Mas?” Sang psikiater mencoba bijak. Ia cengangas-cengenges seperti sedang iklan pasta gigi, sambil mengatur nafas, menunggu moment paling agung itu.
Tapi si pasien hanya memandangi sang psikiater dengan sorot mata kosong. Mulutnya diam seribu bahasa. Tapi kemudian tangan
Sang psikiater mulai tersenyum lebar. Ya, ya, katakana padaku, katakana bahwa yang mereka lakukan itu gila, ayo katakana. Ujar hatinya. Kini ia kembali memandang sang psikiater dan dengan telunjuk masih tetap menunjuk kea rah kolam renang, ia berkata, “Airnya dingin.”
Ia lalu berbalik, menekuk lutut lalu memeluknya, dan dengan keras menggermutukkan giginya. Kedinginan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar