Jumat, 01 Mei 2009

Rice...Yes... I Want RIce

...cat: tulisan ini dimuat juga di www.duniafiksi.com

Kami punya kebiasaan menyisihkan uang jajan selama bulan Ramadhan, untuk dibuka dan dibagikan kembali di detik-detik terakhir menjelang lebaran. Biasanya, kami akan pergi bersama ke suatu tempat makan di Cianjur untuk buka bersama. Atau, bila tidak diizinkan, pada hari lebarannya (atau hari kedua lebaran, jika pada hari pertama, kami harus berkeliling kampong, dari rumah ke rumah, bersilaturahmi) kami akan pergi ke Toserba Selamat untuk main Timezone.

Pada bulan Ramadhan saat itu, usiaku sekitar 12 atau 13 tahun, dan sudah masuk SMP. Seperti biasa, mereka semua, teman-teman bermainku di kampong, mempercayakan uang mereka untuk disimpan padaku. Dengan kata lain, aku adalah bank yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan, yang walaupun tidak memberi bunga sebagai kompensasi kegiatan menabung mereka, tapi toh aku tidak melakukan pemotongan tabungan untuk biaya-penjagaan.

Seringkali memang aku dibuat repot oleh kegiatan itu, walaupun harus aku akui, ini lucu dan menyenangkan juga. Biasanya, sehabis maghrib, setelah kenyang berbuka puasa, kami akan berkumpul di dekat mesjid, dan sebelum acara kucing-kucingan dimulai, mereka akan menyetor uang kepadaku. Tapi, kadang ada juga yang menyetor kepadaku sebelum/sesudah shalat tarawih. Tentu saja itu tak masalah, walaupun merepotkan, dan kadang bikin kepalaku nyut-nyutan.

Nah, pada saat tanggal 30 Ramadhan tiba, aku membagikan semua tabungan mereka. Luar biasa senangnya kami, karena uang seribu-dua ribu yang kami sisihkan tiap hari itu, kini jadi nominal yang besar dan bisa kami pakai ‘bersenang-senang’ di hari lebaran.

“Kita ke toserba lagi, yuk.” Ujar salah seorang.

“Ah, bosen.”

“Eh, teu nyaoheun. Aya CFC siateh! Anyar dibuka.”

Dan mereka terlibat dalam perdebatan yang seru. Aku memerhatikannya dengan tersenyum, dan akhirnya diperoleh kesepakatan: kami akan makan bersama di CFC yang belum genap 1 bulan buka di Cianjur.

Kami berangkat bersama, mengenakan pakaian lebaran masing-masing ke lokasi, pada hari yang bersejarah itu. Kami duduk diam selama dalam perjalanan. Rupanya, kami semua tegang karena sebentar lagi akan makan di tempat yang biasanya hanya kami lihat di iklan-iklan di televise—dimana salah seorang pengunjung membeli burger atau paket-paket yang tidak kami pahami.

Sesampainya di sana, suasana CFC sudah penuh sesak oleh masyarakat Cianjur yang ingin jadi yang pertama mencoba restoran cepat saji yang pertama buka di Cianjur ini.

Di pintu masuk, kami terlibat sedikit perdebatan di antara kami sendiri.

“Kamu dulu yang masuk.”

“Nggak. Kamu dulu.”

Seperti biasa, aku lah yang dikorbankan. Aku harus berjalan paling depan, dengan alasan yang mereka buat-buat: (1) aku paling tinggi, (2) aku paling fasih bahasa Inggris, (3) aku paling bisa berkomunikasi dengan ‘dunia luar’.

Mendekati counter dengan beberapa pramusaji yang cantik dan ramah, aku dilanda nervouse. Aku membaca papan di belakang pramusaji yang menyajikan data makanan dan minuman yang disediakan di sini—dan semuanya dalam bahasa Inggris! Untuk mempertahankan harga diriku di depan teman-temanku, aku berkata dengan sok calm.

“Kalian mau pesan apa?”

Tapi mereka malah pucat. Mereka saling memandang, dan berpura-pura tidak tegang—bersikap seolah mereka sudah biasa berada di lingkungan seperti ini.

“Gimana kamu aja, Fan.”

Sialan.

Justru itu aku nanya, aku juga bingung, ujarku dalam hati. Dengan semangat sok-karismatik, aku berkata, “Oh, sebentar. Aku lihat-lihat menunya dulu.”

Aku membaca satu per satu makanan di papan itu. Salah seorang temanku yang kondisi ekonominya paling tinggi diantara kami menunjuk ke papan dan meminta kepadaku agar memesankannya sejenis soup. Corn-soup. Aku mengangguk, dan kupikir, aku juga mau nyoba soup itu.

“Sini, mana uang kalian.”

Dan mereka menyetor uang mereka kepadaku. Sebetulnya, tidak benar-benar penting karena aku hanya mengulur-ulur waktu sambil mencari alternative menu yang bisa kami pesan dengan mudah. Kenapa tidak ada program paket-paketan kayak di iklan sih? Aku membatin.

Dan saat aku berbalik, seorang pramusaji yang cantik itu berkata ramah kepadaku. “Mau pesen apa, Dek?”

“Oh, umm. Oh, umm.” Aku bingung. Karena semua nama makanan di papan itu dalam bahasa Inggris, tentulah aku harus memesan dalam bahasa Inggris pula. Itulah kenapa aku disuruh jadi mediator, aku yang paling jago bahasa Inggris di sini.

Sebentar, apa bahasa Inggrisnya, nasi? Hmm, aha! Rice, yes, rice. “Mau pesen, rice, yes, rice.”

“Oh, nasi.”

“Yes, rice.” Aku keukeuh menggunakan bahasa Inggris.

“Berapa?”

Aku menghitung jumlah temanku, dan kubilang, “Enam.” Untuk menjawab ini aku sengaja tak memakai bahasa Inggris. Mau tahu kenapa? Aku ini tipikal orang penurut, kawan. Jadi, kalau di papan itu semua menu berbahasa Inggris, tentunya aku juga harus memesan makanan itu dalam bahasa Inggris. Ngerti?

“Sama apa lagi?”

“Chest 3,” aku mencari-cari bahasa Inggris paha, tapi otakku nge-blank. Aku berbalik menghadap teman-temanku, berpura-pura mau menanyakan apa yang mau mereka pesan—karena terlampau gugup oleh tatapan si pramusaji—tapi, saat aku berbalik semua temanku tidak ada.

Aku mesti berjingkat dan mengedarkan pandangan, sebelum aku lihat mereka tersenyum tanpa dosa dan melambaikan tangan kepadaku, sambil duduk di salah satu bangku di ujung ruangan.

Aku membalas senyuman mereka dengan putus asa.

Benar-benar anak udik semua.

“Dada 3, sama apa lagi?”

Akhirnya, aku menyerah.

“Paha, 2. Wing 1.”

“Paha 2, sayap 1,” si pramusaji mengulangi.

Aku juga memesan corn-soup yang dipesan salah seorang temanku tadi. Tujuannya jelas: ingin terlihat lebih saja daripada yang lain—seolah-olah aku ini sudah terbiasa dengan kondisi seperti tadi.

Setelah semuanya siap, aku memanggil mereka untuk membantuku membawa baki yang berisi makanan yang telah kami pesan, lengkap dengan minumannya, tentu saja.

Dan, luar biasa, aku masih bisa mempertahankan kesan sok-karismatikku di hadapan mereka. Dan mereka masih bisa tetap menganggapku demikian. Aneh, dunia memang aneh.

Kami makan dengan tertib.

“Enak nggak, Fan, soupnya?” Tanya salah seorang temanku yang lain.

Aku belum mencicipinya sejak tadi. Aku memandang kea rah soup dan hatiku berdebar-debar mengantisipasi segala kemungkinan rasa yang akan aku temukan—seperti apa gerangan rasa soup yang kental, berwarna susu, dengan isi jagung ini?

Aku menyeruputnya, dan…

“Gimana?”

“Enak. Enak.” Aku mengangguk-angguk. Mencoba berpromosi. Jadi ingat iklan salah satu produk mie, yang pada saat itu belum ada: soal kata, lidah bisa bohong, soal rasa, lidah nggak bisa bohong.

“Sini coba,” ujarnya penuh semangat.

Saat dia mencoba, ia langsung menggernyitkan kening, lalu menertawaiku karena memesan makanan yang tidak enak atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan lidah kami yang cocoknya makan ulen dan obrek. Aku membatin dalam hati, betapa soknya anak ini menertawaiku, padahal dia sendiri nggak ada nyali. Dasar. Dasar kau.

Tadinya ingin aku kutuk dia, tapi karena masih dalam semangat lebaran, akhirnya aku ikhlas memaafkan dia. Temanku yang kaya mah, nggak terpengaruh, ia tetep aja makan, dan saat ia bilang enak, yang lain pun tak ada yang berkomentar—mungkin memaklumi lidah-kayanya itu. Ah, begitulah.

Setelah selesai makan dan tak lupa berdoa dan mengucap syukur kami pun berdiri dan membasuh tangan di wastafel di restoran ini, lalu berjalan keluar dari toko ini. Kecuali si anak yang menertawaiku tadi yang masih sibuk cuci tangan.

Kami sedang asyik ngobrol di pelataran parker, ketika aku mendengar seseorang berteriak-teriak memanggil kami. Saat kami memandang kea rah restoran, temanku itu sedang memukul-mukul kaca-jendela (hamper seluruh dinding restoran ini berupa kaca), sambil teriak, “Pintunya? Pintunya mana?”

***

Intinya?

Jadilah diri sendiri. Walaupun klasik dan klise, tapi pengalaman membuktikan, kata-kata itu lebih dari sekedar ampuh dan mujarab. Dan tentu saja, lebih mudah untuk mengatakan atau menulis itu—yang karenanya aku memilih melakukannya, hehehe.

Sekarang sih, ya, ikutin aja beberapa clue di sini untuk menjadi diri sendiri. Oke?

1. Kenali sifat, sikap, dan karakter kita. Karakter adalah diri kita dalam kegelapan. Artinya, sesuatu tak kasat mata yang orang lihat dari kita. Karakter merupakan akumulasi dari apa yang kita lakukan sehari-hari. Kamu menabur kebiasaan, kami menuai karakter.

2. Kenali kelebihan dan kelemahanmu. Seperti motto samurai, siapa yang tidak bisa mengendalikan kelemahannya, akan dikuasai oleh musuhnya.

3. Melihat dunia yang terus berubah, kita memang juga harus berubah. Tapi, berubah di sini harus seperti air yang berpindah wadah. Dia tetap air, hanya bentuknya saja yang berubah. Jadi, perubahan kita, tidak boleh turut mengubah jati diri kita yang sebenarnya.

4. Hindari copycat. Dalam mencari jati diri, kita memang cenderung belajar dan mencari dengan cara meniru orang-orang yang kita kagumi, atau orang-orang di sekitar kita. Tapi ingat, itu hanya tujuan-antara bukan tujuan-akhir. Jadi, kamu meniru itu dengan tujuan untuk menemukan jati dirimu yang sebenarnya. Bukan karena kamu ingin mati dengan menjadi fotocopyan orang lain—seperti si penggemar Jesse James itu, tahu nggak? Tonton The Assasination of Jesse James. Heuheu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar