Selasa, 28 Juli 2009

Takdir

Penjelasan yang tidak holistik, pilihan cari aman yang diambil oleh para guru-ngajiku, membuatku sering berpikir dan bertanya-tanya soal takdir. "Yakini saja," seringkali guru-ngajiku berkata, "Tidak perlu terlalu mendalami. Bisi malah membuat kita kufur dan murtad."

Semasa kecil, aku mencerap titah mereka dan karenanya aku seringkali paranoid jika pertanyaan demi pertanyaan tentang konsep takdir menyerbu benakku, membuatku mengalami perang batin, semacam gangguan auditorial.

Bertahun-tahun pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak, tenggelam, kembali ke permukaan, lalu tenggelam lagi. Seperti ombak. Hingga, ketika pertanyaan-pertanyaan itu kembali menyeruak, aku menangkapnya, dan bertekad menghadapinya.

Selama berjam-jam aku berdiskusi dan berdebat tentang konsep takdir dan nasib dengan kakak iparku yang seorang guru-ngaji. Ayahku seorang kiai sebenarnya, tapi beliau sudah 5 tahun lalu meninggal. Aku tak sempat menanyakan hal ini.

Akhirnya, aku menemukan sebuah jawaban--yang paling tidak--memberiku ketentraman batin dan pemahaman untuk saat ini. Suatu kondisi yang membuatku melihat dengan mata batinku, betapa Maha Jeniusnya Allahku. Betapa Mahakuasanya Tuhanku itu.

Jadi, jika Jostein Gaarder bilang bahwa takdir itu mirip bunga kol. Aku ingin bilang bahwa takdir seperti akar. Akar yang bercecabang yang tiap cecabangnya memiliki cecabang demi cecabang lagi, begitu seterusnya, tak hingga jumlahnya, dan semuanya menjurus ke satu titik akhir: kematian.

Dan manusia, menurutku, adalah air yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memilih lewat cecabang mana ia ingin lewat. Sesekali, memang, ia seperti 'dipaksa' untuk melalui satu cecabang akar tertentu, namun di ujung cecabang itu, Allah kembali memberinya kekuasaan untuk memilih lewat cecabang mana ia akan melanjutkan.

Karena itu, ada kalanya, mungkin, terjadi kondisi dimana manusia ditakdirkan secara 'paksa' untuk menjadi seorang pembunuh. Seperti si pembunuh Umar bin Khattab r.a. Jika sejak zaman azali dia memang sudah ditakdirkan Allah untuk menjadi pembunuh, itu artinya dia dipaksa melalui kekuatan takdir untuk menjadi pembunuh.

Tapi, di 'ujung' takdir itu, Allah kembali memberi manusia itu kebebasan untuk memilih lewat cecabang mana dia akan melanjutkan hidupnya. Ada cecabang yang dimulai dengan taubat dan ada cecabang lain yang dimulai dengan kebahagiaan setelah melakukan perbuatan dzalim.

Itulah kenapa, menurut hematku, rangkaian kausalitas dalam hidup memang benar-benar berlaku. Ini juga menunjukkan kekuatan manusia--lewat kebeban yang dianugerahkan Allah--dalam memilih dan menentukan nasibnya sendiri.

Jadi, pada dasarnya, Allah tidak menciptakan satu takdir bagi kita. Tapi tak-hingga takdir. Dia meletakkan kita di titik awal takdir--saat lahir--dan memberi kebebasan kepada kita untuk memilih takdir mana yang ingin kita pilih untuk hidup kita.

Jadi, jangan salahkan Tuhan jika hidup Anda tidak bahagia.


Wallahu a'lam bis shawab.

Jumat, 24 Juli 2009

Irfan yang Dulu dan Sekarang

Tentu menakjubkan--dan bikin tertawa miris--ketika kita mendapati orang yang dulu pernah kita nasehati, mengingat nasehat-nasehat kita, seolah-olah semua itu adalah hal-hal yang teramat penting.
Aku mengalami hal itu, dua kali, seingatku.

Kali pertama, dengan Dewi. Dia adalah juniorku yang sudah kuanggap adikku sendiri. Apalagi orang tuaku bersahabat dengan orang tuanya. Aku mengenalnya sejak kecil tapi baru benar-benar akrab saat SMA.

Suatu kali, saat di angkot, dia mengirim pesan ke hapeku. Ketika aku membacanya, aku terheran oleh isi sms itu.

"Akang inget nggak?"
Aku menggeleng.
"Masa sih?"
Aku mulai ingat.
"Ini..." aku tak sanggup melanjutkan.
Dewi mengangguk.
"Itu sms dari Akang waktu Dewi ngerasa drop dulu pas mau seleksi 4 besar calon jabar."

Aku menghela nafas. Heran. Itu sudah 4 tahun yang lalu. Dia sudah berkali-kali ganti hape, dan sms itu masih ada? Apa sebenarnya yang dia pikirkan?
Tersanjung? Tentu saja aku tersanjung. Dewi menganggap penting--mungkin--sms dariku sehingga mau tidak mau itu membuatku sadar bahwa aku harus bisa melewati cobaan hidup yang tengah aku hadapi. Bahwa aku harus lebih kuat daripada aku yang sekarang.

Kali kedua, dengan Arif.
Cobaan hidup yang menimpaku sedikit-banyak mempengaruhi kondisi kejiwaanku. Aku mulai menjadi seorang soliter, rendah diri, dan asosial.
Waktu itu, aku mengajak Arif kerjasama dalam sebuah proyek. Proyek pertamaku menerbitkan buku--yang merupakan novel kesukaanku. Lalu, dia bilang, "Akang pernah bilang bahwa cover itu penting bukan?"
Saat itu cover proposal yang kubuat sangat alakadarnya. Aku tertegun. Benar. Selama ini aku mengalami degradasi kestabilan mental.
Di lain waktu, Arif berkata, "Akang pernah bilang ke Arif bahwa kita harus punya target. Dan usahakan target itu lebih tinggi dari apa yang kita pikir mampu kita capai."
Ya, aku berkata.

Saat itu aku kelas 2 dan masih menjadi orang yang tidak suka baca buku. Tapi apa yang dikatakan Arif membuatku berpikir--dan merasa dengan geer--bahwa pada masa kelas 2 itu, aku memang "berhasil" menghasilkan beberapa pemikiran hebat--untuk ukuran orang seusiaku, tentu saja. Dan yang aku sesalkan, aku belum menyukai menulis waktu itu.

Aku ingat saat menjadi motivator bagi teman-teman dan adik angkatanku--seorang sahabatku malah menyebutku guru spiritualnya.

Semua itu membuatku tersanjung, pada awalnya. Tapi semakin lama, semua itu menyesakkanku. Selain karena aku takut jadi sombong karenanya, juga karena kenyataan bahwa aku merasa... 'tidak seperti itu lagi'.

Degradasi mental yang aku rasakan nampaknya memang 'benar-benar' terjadi--tidak hanya dalam imajinasiku saja.

Aku ingat ketika aku menulis bahwa "Irfan yang dulu telah mati". Tapi, "Irfan yang sekarang masih hidup" memiliki beberapa kelebihan dibanding si Irfan yang dulu itu. Yang aku mau adalah penyatuan antara Irfan yang dulu dan sekarang. Seperti halnya penyatuan antara ke-27 kepribadian Billy.

Satu hal yang aku pikir bisa membantuku mewujudkan itu semua adalah: fight for my dreams.


But, love. I thing i need more love to loving me, loving myself.


Hmm,,,


Seiring waktu, aku yakin aku bisa sembuh. Dan seperti halnya Billy, aku harap aku bisa memaafkan mereka dan menerima kenyataan bahwa kelebihanku sekarang juga berkat 'mereka'.


semangat...

Thanks Allah, for everything You gave to me.

For being "Here" with me....

Kontemplasi di K 19 Ayat-ayat Cinta

Karena kukira, pagi itu akan aku lewati dengan begitu banyak kebingungan, maka aku terhenyak saat kudapati dalam handphoneku dua miscall dan satu sms. Dari seseorang. Baiklah, aku katakan saja namanya: Chachas.

Smsnya berbunyi : kalau sudah pulang dari mesjid, sms balik ya… maaf nelpon pagi–pagi.

Dan sms itu pun aku balas.

Tak berapa lama, handphoneku berdering.

Sebuah jawaban.

Pastilah itu yang akan aku dapat hari ini.

Jawaban atas pernyataan cintaku padanya. Ah, menggelikan sekali mengenangnya. Tapi begitulah, ketika seseorang terembas dalam persaan terhanyut-larut dan seakan dipenuhi memori-indah cinta. Ah, bukan main indahnya. Bukan main.

Dan yang kudengar pertama kali darinya adalah, “Ini mah curhat…” dan dia bercerita tentang kondisi persaannya. Tentang remuk-redam hatinya. Tentang ketidak-siapannya untuk… sampai di sini aku tahu jawaban yang kuterima adalah : penolakan.

Penolakan pertama dalam seumur hidupku, yang dibalut dalam kata–kata halus, sangat halus. Meruntuhkan apa yang selama ini kubanggakan sebagai rekor tersendiri dalam kisah hidupku : tidak pernah ditolak.

Sewaktu SMP, aku termasuk orang yang begitu populer. Semua orang kenal aku, dan karenanya begitu banyak perempuan yang jatuh hati padaku. Seingatku, dalam tiga tahun itu aku gemar sekali gonta-ganti pacar. Paduan yang tepat : popularitas, kesan-saleh karena anak kiai, jabatan ketua di OSIS, dan baiklah, sedikit narsis : wajah yang rupawan. Hahahaha.

Saat itu, untuk jadian dengan seorang perempuan, aku hanya perlu bilang bahwa aku suka padanya, dan aku sudah yakin bahwa mereka akan menerimaku. Kadang, ada yang berpura–pura tidak mendengar apa yang aku utarakan –nampaknya untuk menambah kesan romantis dan dramatis– dan biasanya, aku akan bilang, “Aku nggak akan ngulangin lagi. Yang tadi juga cukup jelas. Kalau nggak mau ya sudah.” Dan dia akan buru–buru mengiyakan.

Kini.

Setelah belajar perihnya luka-hati, dari seseorang berinisial G, aku tak pernah mau lagi menyakiti perempuan. Terdengar utopis memang. Tapi begitulah yang aku rasakan. Apalagi, ketika salah seorang kakak perempuanku berkata, “Jangan mainin hati perempuan. Lihat, kakakmu banyak yang perempuan, bagaimana kalau mereka juga dipermainkan….” Sebenarnya ucapan itu dimaksudkan pada kakakku yang paling dekat, tapi mau tak mau, aku merasa tersentak, malu, sekaligus takut. Dipenuhi beban-penyesalan.

Maka, moment kelas tiga SMA kulalui dengan kesendirian. Sebuah suasana berbeda ketika aku merasa bebas, tak terbebani, dengan peperangan-batinku yang sedikit berkurang. Namun, kelemahanku –yang konon sebagai bakat-alami yang berhubungan dengan bulan-kelahiranku– terus menggodaku. Tak tanggung–tanggung, saat itu aku jatuh-hati pada 6 gadis. Tujuh, kalau aku memasukkan salah seorang sahabat paskibraka-jabarku ke dalamnya. Dua orang dari enam gadis itu adalah teman sekelasku. Dan 4 orang sisanya, adalah adik angkatanku di Paskibra. Cukup banyak, dan respon keempatnya pun positif. Cool!

Tapi, aku tak lagi seperti aku sewaktu SMP, aku tak bisa seenaknya mendekati mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh hati pada mereka lantas meminta mereka jadi kekasihku. Bagaimanapun, pikiranku sering menyodorkanku pemikiran ini: jangan ulangi kesalahan lagi. Cobalah tengok bagaimana perasaanmu sebenarnya. Jangan terjebak pada perasaan suka-sesaat. Dan ajaibnya, secara perlahan, hal ini membuatku jadi nggak bisa nembak. Nggak bisa ngungkapin perasaan. Aneh saja. Lidahku seperti kelu. Keberanianku musnah. Hilang. Berganti keengganan, keraguan, dan ketakutan. Kini, aku tahu bagaimana rasanya jadi pemuja-rahasia rasanya cinta-dalam-hati.

Maka, dari keenam perempuan itu, aku menemukan hanya dua yang menurutku “baik”. Sesuai. Perfecta. Pada 4 orang sisanya, perasaanku terpecah menjadi : dia mirip seseorang yang aku kagumi atau aku sukai, dan, satu lagi, ah malu sekali aku mengakuinya, karena dia memiliki postur tubuh yang semlohai dan mata yang memabukkan.

Maka, dari 2 orang yang kuberi predikat “baik” dalam hatiku, artinya perasaanku “lebih tulus”, aku membedakannya menjadi dua kategori: sebagai adik, dan sayang-yang-tak-terjemahkan.

Pada Chachaslah sayang-tak-terjemahkan itu.

Aku menyayanginya. Dan dengan sepenuh hati memendam perasaan itu. Berharap waktu mengajariku bagaimana sebenarnya perasaanku padanya. Dan waktu, semakin berlalu, dan aku semakin jauh terperangkap, terpenjara sekaligus terbebaskan, dalam rasa-sayangku padanya. Aku tidak pernah benar–benar jatuh hati lagi, selain pada seorang perempuan berinisial A, adik angkatanku di Paskibra. Yang kini kudefiniskan menjadi: rasa sayang seorang kakak kepada seorang adik yang sama–sama memiliki masa lalu yang sama (kehilangan salah seorang orang tua).

Dan ketika mendengar Chachas baru saja putus, dan kabar-burung bahwa salah satu mantannya kini sedang berusaha mendekatinya lagi, aku pun berlari pontang-panting membeli pulsa-dengan-kredit kepada teman, lalu mengiriminya sms, meneleponnya dan mengatakan semuanya… mengatakan bahwa selama ini aku mencintainya… bahwa aku sering berharap dan berkhayal suatu saat dia akan membangunkanku di tempat tidur sambil membawakan segelas cappuccino dan koran pagi. Oh, indah sekali.

Dan mendengar penolakannya, anehnya, aku sama sekali tak marah ataupun membencinya. Hanya saja yang kupersoalkan adalah: ya Tuhan, aku harus dibotak! Aku bernadzar bahwa jika dia menolakku, maka aku akan mencukur habis rambutku dan menyisakannya hanya satu senti.

Sebenarnya aku sudah yakin dia akan menerimaku, aku sudah menggunakan konsep ilmu dari The Secret, tapi tetap saja, tak mempan….

Tapi begitulah pagi itu, ketika dia bertanya apakah aku ada kuliah, maka kujawab tak ada, dan aku bilang aku berencana pergi ke suatu tempat. Dan tempat itu, tak kuberitahukan padanya.

Karena aku masih bimbang.

Aku masih ragu.

Kemana ku harus pergi menemui kekasihku yang lain. Kekasih yang sudah kucintai sejak aku kecil : kesendirian.

***

Dan berdirilah aku di salah satu sisi jalan, di sebuah gudang tua yang jalan di depannya licin penuh minyak. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan. Benarkah, aku akan pergi ke

Bandung

? Bagaimana jika bisnya tabrakan? Kakakku akan tahu kalau aku berbohong soal kuliah… kakakku akan tahu aku tidak pergi ke bank dan mentransfer uang ke kakakku yang ada di Jakarka.

Dan, di lihat dari sisi manapun, aku adalah pendosa. Pendosa besar. Lantas, apakah seperti ini yang bisa kulakukan untuk membalas semua pengorbanan dan kebaikan kakakku yang di Ciranjang?

Tapi aku harus pergi. Bagaimanapun. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, ketika aku mendapatkan VCD bajakan film ayat-ayat cinta dari Jeni demi menyenangkan kakak-perempuanku yang hamil muda, dan keponakanku yang jatuh cinta pada karya Kang Abik, bahwa aku akan membalas kesalahanku ini dengan menonton langsung film itu di bioskop.

Kulewatkan satu bus yang lewat.

Aku membuka novel Harry Potter And The Half-Blood Prince.

Kering.

Pikiranku terempas sebegitu jauh, entah kemana.

Saat bus berikutnya lewat, aku memutuskan apa yang harus kulakukan: naik. Membaca seluruh doa keselamatan yang aku tahu. Dan berkata pada diri sendiri: ya Tuhan, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, dosa besar, tapi aku juga ingin melaksanakan nadzarku, menebus kesalahanku pada Kang Abik, dan semoga aku mendapatkan semua yang hilang dariku sekarang.

Bus melesat maju dan aku mulai membaca.

Mulai tenang.

Hingga aku sampai di Plaza Dago dan langsung menyerbu lantai ketiga, ke arah bioskop. Penuh sesak. Tentu saja. Nomat dan Ayat-ayat cinta adalah paduan istimewa… seperti conello gratis… seperti magnet yang sangat kuat.

Maka, dengan sedikit gugup dan katro, aku mengikuti salah satu anteran. Yang paling kiri, karena aku mengincar menonton ayat-ayat cinta di studio 1. Sejenak ku perhatikan papan petunjuk jadwal film di depanku, dan kudapati ayat-ayat cinta diputar di tiga studio! Oh, Tuhan… it’s so cool.

Selagi ngantri, pikiranku menerawang, menguraikan, dan menggumamkan sendiri komentar tentang adikarya ayat-ayat cinta.

1. Seperti Laskar Pelangi, Ayat-ayat cinta, ditulis dalam waktu singkat: hanya 10 hari. Anif, adiknya Kang Abik melukiskan Kang Abik seperti orang trance sewaktu menulis novel itu. Kang Abik mengomentarinya, kurang lebih seperti ini, “Aku merasa berada antara hidup dan mati. Aku ingin menyisakan sesuatu sebelum aku mati.” Dan kebaikan itu berbuah ayat-ayat cinta. Ayat-ayat cinta adalah kristalisasi pengalaman Kang Abik selama 7 tahun di Kairo, atau dengan kata lain, risetnya selama 7 tahun kuliah di Al-Azhar Mesir. Maka, tak heran jika penggambaran setting dan kebudayaan Mesir dalam novel ini demikian kuat, membuatku teringat akan orang yang paling kukagumi yang membawaku ke Rumah-Nya : Ayahku.

2. Animo masyarakat terhadap film ini demikian besar. Film ini menyerap banyak segmen penonton yang berbeda : dari ibu–ibu arisan sampai ibu–ibu pengajian… dari teteh–teteh berjilbab panjang sampai yang pake rok mini plus tanktop… dari cowok yang berjenggot sampai yang rock n roll… didorong oleh sebuah rasa penasaran, rasa suka, atau memang telah jatuh hati pada novelnya…. Keren…. Dalam beberapa hari sudah mencapai lebih dari 400 ribu penonton…. Dan nampaknya akan jauh lebih banyak seandainya tak ada vcd bajakannya.

3. Beberapa orang yang tidak pernah baca novelnya, nampak tertarik untuk membaca novelnya. Membuat oplah penjualan novelnya naik lagi, nampaknya. Dan orang yang sudah membaca novelnya mengeluhkan banyak yang hilang dari novel ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa visual. Seharusnya kita lebih objektif, bahasa novel dengan bahasa film tentu akan jauh berbeda. Ekspektasi kita terhadap Mesir, lewat imajinasi kita yang berbeda, walaupun kata–kata yang ditulis Kang Abik tetaplah sama, membuat banyak orang kecewa, karena ekspektasi-Mesir yang begitu tinggi dalam benak kita, tak sesuai dengan setting film yang terbentur soal dana dan perizinan.

Aku sudah mendapatkan tiket : K 19.

Aku masuk ke dalam studio dengan berusaha setenang dan sekalem mungkin. Aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Baiklah, aku memang baru beberapa kali nonton di Bioskop, tapi itu bukan berarti aku ketinggalan zaman, oke?! Puas?!

Aku duduk di dekat seorang perempuan yang nampaknya seusia anak SMA. Putih, pake baju kuning, dan rambutnya lurus, dikepang, hitam. Cantik. Dia bersama teman–temannya di sampingnya, berceloteh, ketawa–ketiwi, ngemil, sebelum film dimulai. Dan aku, mau tak mau harus mengakui sebuah kebenaran sederhana di sini: grogi juga duduk deket perempuan cantik.

Tapi tak masalah. Karena aku menikmati satu hal : kesendirian.

Tak ada orang yang mengenaliku di sini. Aku sendiri. Walaupun aku bersama banyak orang, tapi aku merasa bebas. Tak terbebani. Maka, aku teringat kata–kata ini :

Ketika berdua, aku merasa setengah

Ketika bertiga, aku merasa sepertiga

Dan ketika di tengah kerumunan, aku merasa hilang

Namun, ketika aku sendiri, aku merasa utuh

Aku dapat itu dari sebuah film berjudul The Quiet. Ah, sudahlah. Tak penting membahas itu sekarang. Karena film baru saja dimulai….

Aku menikmati suaranya yang jelas, walaupun karena kesalahan teknis, beberapa kali suara lenyap, yang disertai teriakan protes dari penonton. Bahkan, ketika beberapa saat layar gelap, dan disusul tulisan : MAAF ATAS KETIDAKNYAMANAN INI, para penonton semakin gencar bersorak, dan diantaranya adalah:

“Ah, balikeun siah duit urang….”

“Ah, teu ngeunaheun….”

“Ih bete ih….”

“Aduh, keur aliran euy… pareum listrik….”

Dan begitulah setiap kali suara hilang.

Namun, segera setelah Fahri ditahan… studio nampaknya terbius dalam sedu-sedan kepedihan. Cewek-cakep yang duduk di sebelahku tak henti–hentinya menangis. Ia mendorong badannya sedikit ke depan, menggeleng–gelengkan kepalanya sambil terisak. Ia memiringkan badannya ke arah… bukan, bukan ke arahku, tapi kepada temannya, bersandar, dan menangis lagi.

Marah ketika Noura memfitnah Fahri. Sedih ketika Ibunda Fahri menelepon Aisha. Dan tertawa penuh romantika saat malam pertama Fahri dan Aisha. Tertawa penuh imajinasi saat Fahri bingung harus tidur bersama Aisha ataukah Maria, dan saat kedua istrinya memanggilnya bersamaan….

Dan harus kuakui bahwa, setelah sekian lama…. Aku menangis lagi.

Inilah yang selama ini aku cari.

Aku menemukannya di sini, dalam kesendirian, sama ketika novelnya membuatku terduduk lemas, dengan jantung berdetak agak cepat, menangis tersedu-sedan merenungi jalan hidup yang kupilih. Kekeliruan, kepengecutan, pembohongan, ketidakpedulian, dan kepalsuan.

Lalu teringat almarhum Bapak.

Bagaimanapun, setting ‘arab’-nya membuatku lekat akan pengalamanku sekitar lima tahun silam, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di Bandar-udara yang dipenuhi udara sub-tropik yang panas, dengan dikelilingi begitu banyak gunung-berbatu… saat berdiri membisu menatap pagar yang dijaga para Asykar, yang dibalik pagar itu, dibalik tirai hijau yang menutupnya, berbaring jasad Rasulullah… saat terpaku menatap sesuatu seperti dadu-raksasa yang diselimuti kiswah hitam yang dihiasi kaligrafi emas, bayangannya seperti tersamar oleh awan–awan tipis seperti kabut… ka’bah yang agung….

Aku tak tahan lagi, airmataku mengalir lagi….

Entah bagaimana, namun aku merasa, aku tepat telah memutuskan pergi ke

Bandung

dan menonton ayat-ayat cinta. Bertahun-tahun aku belajar percaya untuk mengikuti intuisi, dan sekarang kepercayaanku kembali terbukti. Sebagai seorang penulis, atau paling tidak, orang yang cinta menulis, intuisi sangatlah penting. Intuisi kadang melahirkan sejuta inspirasi yang mahal. Yang kadang didapat justru saat kita sedang duduk di WC, atau menonton film seperti sekarang…. Menatap Fedi Nuril… Rianti… Carissa… Zaskia… Melani…. Saiful… Paman Eqbal…. Semuanya….

Maka aku menyandarkan kepalaku ke kursi, sedikit serong ke kanan, dan batinku kembali bergemuruh: Aku merasakan sensasi saat Chachas meneleponku dan mengatakan ketidak-siapannya untuk pacaran… saat dia bilang bahwa dia juga sayang padaku… saat dia berusaha menghiburku dan dirinya sendiri….

Anehnya, aku merasa bersyukur Chachas menolakku. Baiklah, ini terkesan seperti pernyataan tak mau kalah, mempertahankan gengsi, atau apapun namanya, tapi, dengan seribu satu alasan yang bisa membuatku memusuhi Chachas, aku malah semakin sayang padanya. Aku sadar, saat aku menyatakan cinta, aku dilanda kegugupan, aku mendefinisikan perasaan ini sebagai: Aku sayang sama Chachas, aku tak ingin dia pacaran sama orang lain, tapi aku tak siap pacaran sama dia…. Maka, jawabannya adalah menjadi sahabat!

Entahlah.

Beberapa penonton memberikan applause saat film usai… sebagian lagi tampak berceloteh dan tangan mereka memegang tissue… Chachas benar saat dia bilang, “Aku udah nonton film ini tiga kali, walaupun kurang sreg, tapi tetep aja bikin berlinang air mata….”

Aku setuju.

Sejak pulang haji-an, aku selalu merasa Allah ‘menghalang–halangi’ku berbuat dosa. Tapi, ini bukan berarti aku tak pernah berbuat dosa, atau Allah pernah gagal menghalang–halangiku sehubungan dengan seabreg dosa yang pernah kulakukan. Tapi ini lebih seperti : ketika Rasulullah dipingsankan, saat dia tertarik untuk mendengarkan suara musik yang didengarnya.

Aku pernah jatuh-hati lagi, seperti yang tadi kubilang, tapi semua orang yang aku sukai, sudah punya pacar. Selalu sudah punya pacar. Giliran mereka putus, aku sudah malas untuk nembak. Atau, ada yang suka padaku di kampus, empat orang, tapi kesemuanya juga sudah punya pacar, dan dari kesemuanya itu hanya dua, paling tidak, yang membuatku tertarik dan itu karena alasan-setan: posturnya semlohai, dan wajahnya menawan.

Hingga, aku harus mengakui, bahwa beberapa hari kemudian, tepatnya hari sabtu, tanggal 8 Maret, aku melihat dia, Chachas, di acara Pop Song GEMPAS. Sumpah. Aku grogi banget. Bagaimanapun, aku tersentak, kaget, tidak menyangka akan bertemu dia di sini, dan lebih parah lagi, tak jauh dari situ ada salah seorang mantannya Chachas: yang kutahu dia juga sedang berusaha mendekati Chachas.

Ribuan pertanyaan sekaan menyerbu, memburuku, menyudutkanku. Berdiri, mematung, dengan wajah merona merah, tegang, menunggu… terus menunggu…. Dan Chachas tidak mendekatiku, mengsmsku, atau menyapaku. Aku bingung. Dia hanya beberapa meter dariku, terhalang beberapa orang yang berdiri, dan aku bisa saja ke

sana

, say hi, dan selanjutnya, dialog akan mengalir sendiri… tak perlu skenario, tak perlu naskah… semuanya akan mengalir dengan sendirinya…

Tapi aku diam.

Tak boleh diam.

Tapi aku… malas… tak berani.

I knew you there… aku mengirimi Chachas sms itu.

Tak ada balasan.

Dan untuk meredam kepanikanku, aku menulis sebuah puisi di ponselku, dalam bahasa inggris, yang aku tak yakin nyambung atau tidak :

And the swallow turn on the wall

Looking life as a simply magically hall

Fucking me, certainly, as a whole

Puisi ini datang begitu saja. Intuisi. Aku tahu ini.

Aku menyadarinya.

Aku, selalu terlambat dalam merespon keadaan. Sewaktu bapakku meninggal, aku tidak terlalu merasa sedih. Aku merasa semua itu hanyalah bohong belaka. Kesedihan melandaku, beberapa bulan, malah beberapa tahun, sesudahnya.

Seperti itukah kini yang terjadi?

Aku tidak marah, tak tersinggung, dan malah merasa lebih mencintai Chachas daripada kapanpun setelah dia menolakku hanya karena sebuah kebenaran sederhana: bahwa perasaanku telat bereaksi?

Aku merasa marah sekarang, merasa enggan, ingin menjauh, melupakan, memutuskan… aku tak mau berbagi terlalu banyak lagi dengannya… tak mau sharing terlalu sering dengannya, hingga dalam ketenggelaman pikiran-aneh ini, aku mendengar lagi apa yang diucapkannya, pagi itu, saat dia menolakku.

“Aku berharap, kita akan tetap bersahabat. Aku berharap, Fan tetap mau jadi sahabatku.”

“Pasti.” Aku bilang. “Pasti.” Aku bilang lagi. “InsyaAllah” aku mulai ragu.

Benarkah perempuan selalu terbelit dalam dilemma ketika ada seorang pria yang jatuh-hati padanya: diterima belum siap, ditolak takut malah ngejauhin, ngemusuhin…. Benarkah?

Tapi aku harus. Aku harus selalu mencintai dan menjadi sahabatnya. Maka, dengarlah apa yang diperbincangkan Fahri dan Maria di depan sungai Nil, yang selalu terngiang, menginspirasi, dan menghanyutkanku dalam alam imajinasi yang meluap-luas, tanpa batas :

Maria : Kamu percaya jodoh, Fahri?

Fahri : (mengangguk, tersenyum) Ya, setiap orang memiliki…

Maria : …jodohnya masing–masing. Itu yang selalu kau bilang. Aku kira, sungai Nil dan Mesir adalah jodoh. Kalau tidak ada sungai Nil, tidak akan ada Mesir. Tidak akan ada peradaban. Seneng ya, kalau kita bisa ketemu jodoh yang diberikan Tuhan dari langit….

Fahri : Bukan dari langit Maria. Tapi dari hati. Dekat sekali.

Aku percaya jodoh.

Ya, lebih mudah menghiburku, lagi–lagi, dengan sebuah kebenaran sederhana yang daya-magisnya luar biasa: kalau jodoh tak akan lari kemana….

Rasa sakitku karena Chachas, mengajariku untuk kembali berpaling pada-Nya. Pada-Nya yang selama ini aku tinggalkan. Teringatku, akan potongan puisi Kang Abik, “Apakah untuk mencintai-Mu… harus sakit dahulu?”

Aku tak keberatan. Karena cinta-Mu melingkupi segala yang hakiki dan maya.

Walaupun, “terdiam ku di sini, teraniaya sepi,”

“kutahu pasti, Kau menemani.”

“Dalam hidupku, kesendirianku….”

Selalu.

5–8 Maret 2008

Mengenang penolakan Chachas, dan biusan ayat-ayat cinta

Rabu, 15 Juli 2009

Euphoria Agustus

Agustus, selalu menyisakan banyak hal bagi kita, selaku bangsa Indonesia. Entah itu yang merasa kuat nasionalismenya, maupun yang sama sekali tidak peduli pada semua itu.
Dalam Laskar Pelangi, Andrea berkisah tentang bagaimana karnaval Agustusan menyisakan euphoria tersendiri bagi rakyat Belitong. SD PN Timah dengan marching band-nya, dan SD Muhammadiyah dengan Mahar sebagai Punggawanya, menampilkan tairan mistis yang menyihir juri dan menyengsarakan badan anak-anak miskin Belitong.
Bagiku, Agustusan berarti mengingat kembali momen paskibrakaku. Baik itu ketika aku masih menjadi Capas dan melihat para seniorku yang lolos jadi paskibraka sedang berlatih. Maupun ketika tiba giliran aku menjadi seorang paskibraka dan juga menjadi pelatih, tepatnya asisten pelatih.
Pada tahun 2006, ketika aku berpikir, aku menyadari bahwa sudah lebih dari 3 tahun aku menjalani Agustusku dengan agenda paskibraka di dalamnya. Entah itu sebagai orang penting maupun hanya sebagai senior yang datang untuk melihat, sebagai bukti kepeduliannya.
Dan, ketika karena suatu sebab yang tak bisa kujelaskan, aku tak bisa melihat teman-temanku para paskibraka beraksi, aku sering merasakan perasaan kehilangan yang begitu besar. Seperti halnya tarian mistik Mahar, agenda paskibra yang formal sering membuatku merasa kehilangan. Merasa tersihir, dan aku gatal-gatal.
Aku harus menemukan cara untuk menyembuhkan gatal-gatal itu, dan kupikir, jika aku tak bisa berdiri langsung selamanya di sana, aku harus menemukan cara lain hingga aku bisa memberikan sumbangsih yang nyata bagi paskibra, paskibraka, dan PPI.
Aku memutuskan untuk menulis. Dan here it is, setelah bertahun-tahun berjuang, novel Hubby La Vita Nova selesai. Perjuangan menerbitkannya memang sulit, terlebih karena aku mengambil keputusan untuk menerbitkan sendiri.
Tapi setiap langkah yang kuambil, setiap tindakan yang aku lakukan, insyaAllah membawaku semakin dekat pada mimpiku itu.

Jika tidak ada aral-melintang, novel ini ingin aku terbitkan tepat tanggal 17 Agustus.

Jika versi cetaknya belum cukup siap, biarlah versi e-booknya yang keluar lebih dulu....

Sabtu, 11 Juli 2009

Paskibra

Saat pertama kali suka menulis, aku selalu berusaha menghindari topik-topik tulisan yang menyangkut Paskibra. Aku membuat essai demi essai, tapi kesemuanya bertemakan essai-essai tentang kegelisahan hidup, tentang pencarian akan hakikat Tuhan dan spiritualitas.
Sampai, terjadi konflik di PPI dan PKC, dan itu membuatku memutuskan untuk menuliskan kegelisahan hatiku akan kondisi yang terjadi: senioritas yang mulai melenceng, absolutisme, dan perebutan kekuasaan dimana junior-junior yang jadi korban.
Aku menulis beberapa judul, dan teman satu korps pelatih Muda, dengan senang hati dan bersedia mengeluarkan uang sendiri, mendanai penyebaran essai-essai itu di kalangan anak-anak Paskibra. Tujuannya satu: menyadari chaos yang terjadi di PPI dan mengajak mereka berkontemplasi, merenung, meretrospeksi semua hal--termasuk absolutisme senior.
Tak ayal ini membuat mereka kebakaran jenggot, dan aku masuk dalam daftar hitam mereka. Tapi aku tak terlalu peduli karena ada senior lain yang mendukung penuh usahaku. Ada orang yang siap melindungiku.

Dan kehidupan terus berjalan.
Aku 'terpaksa' harus mengurangi intensitas keaktifanku di PPI dan PKC karena 'kontrak' dengan salah seorang kakakku, dimana aku berjanji tidak akan aktif di organisasi, dan sepenuhnya fokus membantunya mengurusi perusahaannya--sebagai karyawan biasa, tentu saja.

Kompensasinya, aku diberi gaji bulanan, fasilitas tinggal di rumahnya dan makan sesukanya, dan biaya kuliah--hanya untuk setahun pertama saja, karena sejak tahun kedua, aku kerja keras membiayai kuliahku sendiri.

Untuk mengobati rasa sakit hatiku karena tidak diizinkan mengikuti SPMB, mencoba meraba nasib untuk kuliah di universitas yang berkualitas, aku menulis memoar yang berisi tentang perjalananku selama SMA.

Lebih banyak berisi perjalanan kelas 3-ku, karena memori itu yang paling kuat dalam otakku. Memori kelas 1 dan 2, juga aku tulis, tapi dalam porsi yang kecil.

Disanalah, aku memasukkan paskibra sebagai sebuah latar tak terpisahkan dari kehidupan tokoh-tokoh dalam memoarku.

Saat menulis tentang bagian pemusatan latihan Paskibraka Jawa Barat, aku mendapat sebuah bisikan bahwa aku harus membuat bagian yang ini menjadi novel yang terpisah.

Dan selama 2 tahun, aku bersusah payah menyusun novel itu. Bongkar-pasang, tulis-hapus mewarnai perjalananku itu. Suatu kali pernah, aku sudah menulis sampai bab 9, dan semuanya hilang karena komputerku terkena virus.

Lalu aku merancang lagi draftnya, tokohnya, konfliknya, pesannya, judulnya... aku ragu-ragu memutuskan apakah cerita ini akan dibuat empat buku ataukah hanya satu buku: kisahnya memanjang melebihi yang kupikirkan sebelumnya. Seolah-olah kisah itu menceritakan dirinya sendiri kepadaku dan aku dituntutnya untuk menuliskan semua itu.

Novel pertama sudah selesai dan kini dalam tahap produksi. InsyaAllah bulan Agustus terbit, dan setelah itu, giliranku untuk memperkuat novel keduanya dan merangkai draft kasar novel ketiganya.

Benar-benar kerja keras bagiku, seluruh badanku kelelahan, tapi aku benar-benar menikmatinya.

Waktu berlalu seolah-olah aku baru saja mengedipkan mata.

Terima kasih, Tuhan.

Jumat, 10 Juli 2009

Gedung Sate

membuat novel yang mengambil setting gasibu-gedung sate, menjadi satu kebahagiaan tersendiri bagiku. Aku menyiapkan novel ini selama bertahun-tahun. Membrainstorming ide, menguatkan dan menghidupkan karakter, lalu mengembangkannya menjadi keutuhan cerita yang akan dibagi ke dalam empat buku.
Novel pertama bercerita tentang kehidupan baru yang dijalani, Rafli, tokoh utama dalam novel ini, setelah ia menjalani pemusatan latihan paskibraka Jawa Barat.
Novel kedua, berisi aktualisasi jiwa kepemimpinan dan semangat kebersamaan untuk menghadapi setiap halangan, sesulit apapun halangan itu.
Novel ketiga, akan berbicara tentang spiritualisme. tentang meretrospeksi hidup dalam suatu perjalanan kontemplasi yang melibatkan rasa sakit, cinta, pemujaan, dan kerinduan tak terkatakan.
novel terakhir adalah kilasan perjalanan manusia dari satu masa ke masa lain, dalam satu aliran-hidup-yang berliku-liku, bak meander. dan disanalah ia, setelah mencermati dengan baik meander itu, akan berdiri di hamparan pasir, menatap keindahan sebagai akibat kekacauan: aurora.

Dalam novel pertama, sengajaku mengambil setting gasibu-gedung sate. Selain karena kedua tempat itu terasa begitu intim dan personal bagiku, juga karena kedua tempat itu menawarkan banyak hal kepadaku untukku pelajari.

Menuliskan semua itu berarti kegairahan tersendiri, tapi melakukan risetnya berarti menginjak senti demi senti tempat yang akan ditelanjangi tokoh-tokoh dalam novelku.

kemarin, aku berkunjung ke gedung sate.

Aku berjalan ke ruang pamer Gedung Sate yang berada di ruangan gelap dibawah menara gedung sate. Aku sengaja memasuki ruangan itu melewati susuran tangga dari kayu-cokelat-tua. 10 anak tangga, sepanjang 9 tangga. Ditambah satu susuran-tangga terakhir sebanyak 8 anak tangga.

Setelah 2 susuran-tangga pertama ada sebuah ruangan yang dikunci rapat, entah ruang apa itu.

Kau masuk dari ruang barat, jika menggunakan jalan yang kutempuh kini. Masuk ke ruang souvenir yang sama sekali tidak dijaga, aku memasuki ruang pamer.

Keseluruhan tekstur ruangan ini dipenuhi kayu berwarna cokelat-tua, di beberapa bagian tampak mengilap. Di bagian tengah ruangan ada 'punden-berundak' dari kayu yang berisi hasil-hasil kerajinan Jawa Barat yang seadanya, sama sekali tidak lengkap.

Di sepanjang dinding, terdapat galeri foto yang memperlihatkan segala macam hal tentang jawa Barat, termasuk di kedua sudut sebelah selatan yang memperlihatkan foto Jhon Berger, sang arsitek bangunan berkelas ini.

Melalui studi-buku, aku mendapati kekaguman banyak orang tentang gedung sate. Taman depannya, kontur bangunannya--aku bahkan sengaja seharian berjalan-jalan pelan di Gedung Sate hanya demi mengamati setiap senti dari bangunan ini: lantainya, tangganya, lukisan-lukisannya, lampu-lampu gantungnya, tiang-tiangnya.

Keindahann gedung sate adalah keindahan dari harmonisasi arsitektur barat dengan kearifan lokal. Lihatlah menara gedung sate yang bentuknya mirip pagoda di Thailand atau Puri di Bali. Belum lagi bentuk atapnya yang simetris, pintu sorong kacanya... semakin tua, semakin cantik pula bangunan ini.

Di menara, sengaja aku duduk diam sendirian di sebuah kursi. Aku menyerap segenap perasaan membuncah yang dialami tokohku kala masuk ke ruangan ini. Bisa kurasakan bagaimana perasaan bahagia dan kagumnya terhadap ruangan ini, gedung sate ini, terkontaminasi oleh cerita-memilukan tentang gadis yang disayanginya.

Ini akan membekas dalam benak tokohku itu, seperti halnya begitu membekas di benakku. Aku melihat ia--tokohku itu--berjalan mengelilingi ruangan ini, ragu-ragu mencoba teropong, lalu turun ke beranda menara, dan memandang arakan marching band yang sedang berlatih di areal parkir gedung sate.

Aku memastikan arah barat, utara, timur, dan selatan. Dan aku melihat langit-biru-pudar, awan-awan cirrus, dan aku bisa merasakan pedihnya tokohku yang lain untuk satu hal yang sama dengan dua persepsi yang berbeda.

Bagaimana, tangis karena penolakan cinta, yang secara surficial terlihat sama, ternyata mengandung kepedihan yang berbeda. Adalah si lelaki yang merasa tersinggung dan marah, dan si perempuan yang mengerti betapa ini semua tak bisa diterima: bahwa lelaki itu, kakak tirinya, malah mencintainya sebagai seorang gadis cantik, bukan sebagai seorang adik.

dan konklusi, kehidupan baru yang kujanjikan kepada tokoh-tokoh dalam novelku itu, aku simpan erat-erat dan kutuliskan di bab terakhir yang mengambil setting empat tahun kemudian, dan akan menjadi awal cerita novel ketiga dan keempat. Karena untuk novel yang kedua, akan kupaksa si tokoh utama duduk lagi di susuran-tangga di sekolahnya, hanya demi mengenang kembali masa-masa 3 tahun silam....

Darisanalah perjalanan itu dimulai.....