Penjelasan yang tidak holistik, pilihan cari aman yang diambil oleh para guru-ngajiku, membuatku sering berpikir dan bertanya-tanya soal takdir. "Yakini saja," seringkali guru-ngajiku berkata, "Tidak perlu terlalu mendalami. Bisi malah membuat kita kufur dan murtad."
Semasa kecil, aku mencerap titah mereka dan karenanya aku seringkali paranoid jika pertanyaan demi pertanyaan tentang konsep takdir menyerbu benakku, membuatku mengalami perang batin, semacam gangguan auditorial.
Bertahun-tahun pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak, tenggelam, kembali ke permukaan, lalu tenggelam lagi. Seperti ombak. Hingga, ketika pertanyaan-pertanyaan itu kembali menyeruak, aku menangkapnya, dan bertekad menghadapinya.
Selama berjam-jam aku berdiskusi dan berdebat tentang konsep takdir dan nasib dengan kakak iparku yang seorang guru-ngaji. Ayahku seorang kiai sebenarnya, tapi beliau sudah 5 tahun lalu meninggal. Aku tak sempat menanyakan hal ini.
Akhirnya, aku menemukan sebuah jawaban--yang paling tidak--memberiku ketentraman batin dan pemahaman untuk saat ini. Suatu kondisi yang membuatku melihat dengan mata batinku, betapa Maha Jeniusnya Allahku. Betapa Mahakuasanya Tuhanku itu.
Jadi, jika Jostein Gaarder bilang bahwa takdir itu mirip bunga kol. Aku ingin bilang bahwa takdir seperti akar. Akar yang bercecabang yang tiap cecabangnya memiliki cecabang demi cecabang lagi, begitu seterusnya, tak hingga jumlahnya, dan semuanya menjurus ke satu titik akhir: kematian.
Dan manusia, menurutku, adalah air yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memilih lewat cecabang mana ia ingin lewat. Sesekali, memang, ia seperti 'dipaksa' untuk melalui satu cecabang akar tertentu, namun di ujung cecabang itu, Allah kembali memberinya kekuasaan untuk memilih lewat cecabang mana ia akan melanjutkan.
Karena itu, ada kalanya, mungkin, terjadi kondisi dimana manusia ditakdirkan secara 'paksa' untuk menjadi seorang pembunuh. Seperti si pembunuh Umar bin Khattab r.a. Jika sejak zaman azali dia memang sudah ditakdirkan Allah untuk menjadi pembunuh, itu artinya dia dipaksa melalui kekuatan takdir untuk menjadi pembunuh.
Tapi, di 'ujung' takdir itu, Allah kembali memberi manusia itu kebebasan untuk memilih lewat cecabang mana dia akan melanjutkan hidupnya. Ada cecabang yang dimulai dengan taubat dan ada cecabang lain yang dimulai dengan kebahagiaan setelah melakukan perbuatan dzalim.
Itulah kenapa, menurut hematku, rangkaian kausalitas dalam hidup memang benar-benar berlaku. Ini juga menunjukkan kekuatan manusia--lewat kebeban yang dianugerahkan Allah--dalam memilih dan menentukan nasibnya sendiri.
Jadi, pada dasarnya, Allah tidak menciptakan satu takdir bagi kita. Tapi tak-hingga takdir. Dia meletakkan kita di titik awal takdir--saat lahir--dan memberi kebebasan kepada kita untuk memilih takdir mana yang ingin kita pilih untuk hidup kita.
Jadi, jangan salahkan Tuhan jika hidup Anda tidak bahagia.
Wallahu a'lam bis shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar