Jumat, 10 Juli 2009

Gedung Sate

membuat novel yang mengambil setting gasibu-gedung sate, menjadi satu kebahagiaan tersendiri bagiku. Aku menyiapkan novel ini selama bertahun-tahun. Membrainstorming ide, menguatkan dan menghidupkan karakter, lalu mengembangkannya menjadi keutuhan cerita yang akan dibagi ke dalam empat buku.
Novel pertama bercerita tentang kehidupan baru yang dijalani, Rafli, tokoh utama dalam novel ini, setelah ia menjalani pemusatan latihan paskibraka Jawa Barat.
Novel kedua, berisi aktualisasi jiwa kepemimpinan dan semangat kebersamaan untuk menghadapi setiap halangan, sesulit apapun halangan itu.
Novel ketiga, akan berbicara tentang spiritualisme. tentang meretrospeksi hidup dalam suatu perjalanan kontemplasi yang melibatkan rasa sakit, cinta, pemujaan, dan kerinduan tak terkatakan.
novel terakhir adalah kilasan perjalanan manusia dari satu masa ke masa lain, dalam satu aliran-hidup-yang berliku-liku, bak meander. dan disanalah ia, setelah mencermati dengan baik meander itu, akan berdiri di hamparan pasir, menatap keindahan sebagai akibat kekacauan: aurora.

Dalam novel pertama, sengajaku mengambil setting gasibu-gedung sate. Selain karena kedua tempat itu terasa begitu intim dan personal bagiku, juga karena kedua tempat itu menawarkan banyak hal kepadaku untukku pelajari.

Menuliskan semua itu berarti kegairahan tersendiri, tapi melakukan risetnya berarti menginjak senti demi senti tempat yang akan ditelanjangi tokoh-tokoh dalam novelku.

kemarin, aku berkunjung ke gedung sate.

Aku berjalan ke ruang pamer Gedung Sate yang berada di ruangan gelap dibawah menara gedung sate. Aku sengaja memasuki ruangan itu melewati susuran tangga dari kayu-cokelat-tua. 10 anak tangga, sepanjang 9 tangga. Ditambah satu susuran-tangga terakhir sebanyak 8 anak tangga.

Setelah 2 susuran-tangga pertama ada sebuah ruangan yang dikunci rapat, entah ruang apa itu.

Kau masuk dari ruang barat, jika menggunakan jalan yang kutempuh kini. Masuk ke ruang souvenir yang sama sekali tidak dijaga, aku memasuki ruang pamer.

Keseluruhan tekstur ruangan ini dipenuhi kayu berwarna cokelat-tua, di beberapa bagian tampak mengilap. Di bagian tengah ruangan ada 'punden-berundak' dari kayu yang berisi hasil-hasil kerajinan Jawa Barat yang seadanya, sama sekali tidak lengkap.

Di sepanjang dinding, terdapat galeri foto yang memperlihatkan segala macam hal tentang jawa Barat, termasuk di kedua sudut sebelah selatan yang memperlihatkan foto Jhon Berger, sang arsitek bangunan berkelas ini.

Melalui studi-buku, aku mendapati kekaguman banyak orang tentang gedung sate. Taman depannya, kontur bangunannya--aku bahkan sengaja seharian berjalan-jalan pelan di Gedung Sate hanya demi mengamati setiap senti dari bangunan ini: lantainya, tangganya, lukisan-lukisannya, lampu-lampu gantungnya, tiang-tiangnya.

Keindahann gedung sate adalah keindahan dari harmonisasi arsitektur barat dengan kearifan lokal. Lihatlah menara gedung sate yang bentuknya mirip pagoda di Thailand atau Puri di Bali. Belum lagi bentuk atapnya yang simetris, pintu sorong kacanya... semakin tua, semakin cantik pula bangunan ini.

Di menara, sengaja aku duduk diam sendirian di sebuah kursi. Aku menyerap segenap perasaan membuncah yang dialami tokohku kala masuk ke ruangan ini. Bisa kurasakan bagaimana perasaan bahagia dan kagumnya terhadap ruangan ini, gedung sate ini, terkontaminasi oleh cerita-memilukan tentang gadis yang disayanginya.

Ini akan membekas dalam benak tokohku itu, seperti halnya begitu membekas di benakku. Aku melihat ia--tokohku itu--berjalan mengelilingi ruangan ini, ragu-ragu mencoba teropong, lalu turun ke beranda menara, dan memandang arakan marching band yang sedang berlatih di areal parkir gedung sate.

Aku memastikan arah barat, utara, timur, dan selatan. Dan aku melihat langit-biru-pudar, awan-awan cirrus, dan aku bisa merasakan pedihnya tokohku yang lain untuk satu hal yang sama dengan dua persepsi yang berbeda.

Bagaimana, tangis karena penolakan cinta, yang secara surficial terlihat sama, ternyata mengandung kepedihan yang berbeda. Adalah si lelaki yang merasa tersinggung dan marah, dan si perempuan yang mengerti betapa ini semua tak bisa diterima: bahwa lelaki itu, kakak tirinya, malah mencintainya sebagai seorang gadis cantik, bukan sebagai seorang adik.

dan konklusi, kehidupan baru yang kujanjikan kepada tokoh-tokoh dalam novelku itu, aku simpan erat-erat dan kutuliskan di bab terakhir yang mengambil setting empat tahun kemudian, dan akan menjadi awal cerita novel ketiga dan keempat. Karena untuk novel yang kedua, akan kupaksa si tokoh utama duduk lagi di susuran-tangga di sekolahnya, hanya demi mengenang kembali masa-masa 3 tahun silam....

Darisanalah perjalanan itu dimulai.....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar