Jumat, 24 Juli 2009

Irfan yang Dulu dan Sekarang

Tentu menakjubkan--dan bikin tertawa miris--ketika kita mendapati orang yang dulu pernah kita nasehati, mengingat nasehat-nasehat kita, seolah-olah semua itu adalah hal-hal yang teramat penting.
Aku mengalami hal itu, dua kali, seingatku.

Kali pertama, dengan Dewi. Dia adalah juniorku yang sudah kuanggap adikku sendiri. Apalagi orang tuaku bersahabat dengan orang tuanya. Aku mengenalnya sejak kecil tapi baru benar-benar akrab saat SMA.

Suatu kali, saat di angkot, dia mengirim pesan ke hapeku. Ketika aku membacanya, aku terheran oleh isi sms itu.

"Akang inget nggak?"
Aku menggeleng.
"Masa sih?"
Aku mulai ingat.
"Ini..." aku tak sanggup melanjutkan.
Dewi mengangguk.
"Itu sms dari Akang waktu Dewi ngerasa drop dulu pas mau seleksi 4 besar calon jabar."

Aku menghela nafas. Heran. Itu sudah 4 tahun yang lalu. Dia sudah berkali-kali ganti hape, dan sms itu masih ada? Apa sebenarnya yang dia pikirkan?
Tersanjung? Tentu saja aku tersanjung. Dewi menganggap penting--mungkin--sms dariku sehingga mau tidak mau itu membuatku sadar bahwa aku harus bisa melewati cobaan hidup yang tengah aku hadapi. Bahwa aku harus lebih kuat daripada aku yang sekarang.

Kali kedua, dengan Arif.
Cobaan hidup yang menimpaku sedikit-banyak mempengaruhi kondisi kejiwaanku. Aku mulai menjadi seorang soliter, rendah diri, dan asosial.
Waktu itu, aku mengajak Arif kerjasama dalam sebuah proyek. Proyek pertamaku menerbitkan buku--yang merupakan novel kesukaanku. Lalu, dia bilang, "Akang pernah bilang bahwa cover itu penting bukan?"
Saat itu cover proposal yang kubuat sangat alakadarnya. Aku tertegun. Benar. Selama ini aku mengalami degradasi kestabilan mental.
Di lain waktu, Arif berkata, "Akang pernah bilang ke Arif bahwa kita harus punya target. Dan usahakan target itu lebih tinggi dari apa yang kita pikir mampu kita capai."
Ya, aku berkata.

Saat itu aku kelas 2 dan masih menjadi orang yang tidak suka baca buku. Tapi apa yang dikatakan Arif membuatku berpikir--dan merasa dengan geer--bahwa pada masa kelas 2 itu, aku memang "berhasil" menghasilkan beberapa pemikiran hebat--untuk ukuran orang seusiaku, tentu saja. Dan yang aku sesalkan, aku belum menyukai menulis waktu itu.

Aku ingat saat menjadi motivator bagi teman-teman dan adik angkatanku--seorang sahabatku malah menyebutku guru spiritualnya.

Semua itu membuatku tersanjung, pada awalnya. Tapi semakin lama, semua itu menyesakkanku. Selain karena aku takut jadi sombong karenanya, juga karena kenyataan bahwa aku merasa... 'tidak seperti itu lagi'.

Degradasi mental yang aku rasakan nampaknya memang 'benar-benar' terjadi--tidak hanya dalam imajinasiku saja.

Aku ingat ketika aku menulis bahwa "Irfan yang dulu telah mati". Tapi, "Irfan yang sekarang masih hidup" memiliki beberapa kelebihan dibanding si Irfan yang dulu itu. Yang aku mau adalah penyatuan antara Irfan yang dulu dan sekarang. Seperti halnya penyatuan antara ke-27 kepribadian Billy.

Satu hal yang aku pikir bisa membantuku mewujudkan itu semua adalah: fight for my dreams.


But, love. I thing i need more love to loving me, loving myself.


Hmm,,,


Seiring waktu, aku yakin aku bisa sembuh. Dan seperti halnya Billy, aku harap aku bisa memaafkan mereka dan menerima kenyataan bahwa kelebihanku sekarang juga berkat 'mereka'.


semangat...

Thanks Allah, for everything You gave to me.

For being "Here" with me....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar