Smsnya berbunyi : kalau sudah pulang dari mesjid, sms balik ya… maaf nelpon pagi–pagi.
Dan sms itu pun aku balas.
Tak berapa lama, handphoneku berdering.
Sebuah jawaban.
Pastilah itu yang akan aku dapat hari ini.
Jawaban atas pernyataan cintaku padanya. Ah, menggelikan sekali mengenangnya. Tapi begitulah, ketika seseorang terembas dalam persaan terhanyut-larut dan seakan dipenuhi memori-indah cinta. Ah, bukan main indahnya. Bukan main.
Dan yang kudengar pertama kali darinya adalah, “Ini mah curhat…” dan dia bercerita tentang kondisi persaannya. Tentang remuk-redam hatinya. Tentang ketidak-siapannya untuk… sampai di sini aku tahu jawaban yang kuterima adalah : penolakan.
Penolakan pertama dalam seumur hidupku, yang dibalut dalam kata–kata halus, sangat halus. Meruntuhkan apa yang selama ini kubanggakan sebagai rekor tersendiri dalam kisah hidupku : tidak pernah ditolak.
Sewaktu SMP, aku termasuk orang yang begitu populer. Semua orang kenal aku, dan karenanya begitu banyak perempuan yang jatuh hati padaku. Seingatku, dalam tiga tahun itu aku gemar sekali gonta-ganti pacar. Paduan yang tepat : popularitas, kesan-saleh karena anak kiai, jabatan ketua di OSIS, dan baiklah, sedikit narsis : wajah yang rupawan. Hahahaha.
Saat itu, untuk jadian dengan seorang perempuan, aku hanya perlu bilang bahwa aku suka padanya, dan aku sudah yakin bahwa mereka akan menerimaku. Kadang, ada yang berpura–pura tidak mendengar apa yang aku utarakan –nampaknya untuk menambah kesan romantis dan dramatis– dan biasanya, aku akan bilang, “Aku nggak akan ngulangin lagi. Yang tadi juga cukup jelas. Kalau nggak mau ya sudah.” Dan dia akan buru–buru mengiyakan.
Kini.
Setelah belajar perihnya luka-hati, dari seseorang berinisial G, aku tak pernah mau lagi menyakiti perempuan. Terdengar utopis memang. Tapi begitulah yang aku rasakan. Apalagi, ketika salah seorang kakak perempuanku berkata, “Jangan mainin hati perempuan. Lihat, kakakmu banyak yang perempuan, bagaimana kalau mereka juga dipermainkan….” Sebenarnya ucapan itu dimaksudkan pada kakakku yang paling dekat, tapi mau tak mau, aku merasa tersentak, malu, sekaligus takut. Dipenuhi beban-penyesalan.
Maka, moment kelas tiga SMA kulalui dengan kesendirian. Sebuah suasana berbeda ketika aku merasa bebas, tak terbebani, dengan peperangan-batinku yang sedikit berkurang. Namun, kelemahanku –yang konon sebagai bakat-alami yang berhubungan dengan bulan-kelahiranku– terus menggodaku. Tak tanggung–tanggung, saat itu aku jatuh-hati pada 6 gadis. Tujuh, kalau aku memasukkan salah seorang sahabat paskibraka-jabarku ke dalamnya. Dua orang dari enam gadis itu adalah teman sekelasku. Dan 4 orang sisanya, adalah adik angkatanku di Paskibra. Cukup banyak, dan respon keempatnya pun positif. Cool!
Tapi, aku tak lagi seperti aku sewaktu SMP, aku tak bisa seenaknya mendekati mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh hati pada mereka lantas meminta mereka jadi kekasihku. Bagaimanapun, pikiranku sering menyodorkanku pemikiran ini: jangan ulangi kesalahan lagi. Cobalah tengok bagaimana perasaanmu sebenarnya. Jangan terjebak pada perasaan suka-sesaat. Dan ajaibnya, secara perlahan, hal ini membuatku jadi nggak bisa nembak. Nggak bisa ngungkapin perasaan. Aneh saja. Lidahku seperti kelu. Keberanianku musnah. Hilang. Berganti keengganan, keraguan, dan ketakutan. Kini, aku tahu bagaimana rasanya jadi pemuja-rahasia rasanya cinta-dalam-hati.
Maka, dari keenam perempuan itu, aku menemukan hanya dua yang menurutku “baik”. Sesuai. Perfecta. Pada 4 orang sisanya, perasaanku terpecah menjadi : dia mirip seseorang yang aku kagumi atau aku sukai, dan, satu lagi, ah malu sekali aku mengakuinya, karena dia memiliki postur tubuh yang semlohai dan mata yang memabukkan.
Maka, dari 2 orang yang kuberi predikat “baik” dalam hatiku, artinya perasaanku “lebih tulus”, aku membedakannya menjadi dua kategori: sebagai adik, dan sayang-yang-tak-terjemahkan.
Pada Chachaslah sayang-tak-terjemahkan itu.
Aku menyayanginya. Dan dengan sepenuh hati memendam perasaan itu. Berharap waktu mengajariku bagaimana sebenarnya perasaanku padanya. Dan waktu, semakin berlalu, dan aku semakin jauh terperangkap, terpenjara sekaligus terbebaskan, dalam rasa-sayangku padanya. Aku tidak pernah benar–benar jatuh hati lagi, selain pada seorang perempuan berinisial A, adik angkatanku di Paskibra. Yang kini kudefiniskan menjadi: rasa sayang seorang kakak kepada seorang adik yang sama–sama memiliki masa lalu yang sama (kehilangan salah seorang orang tua).
Dan ketika mendengar Chachas baru saja putus, dan kabar-burung bahwa salah satu mantannya kini sedang berusaha mendekatinya lagi, aku pun berlari pontang-panting membeli pulsa-dengan-kredit kepada teman, lalu mengiriminya sms, meneleponnya dan mengatakan semuanya… mengatakan bahwa selama ini aku mencintainya… bahwa aku sering berharap dan berkhayal suatu saat dia akan membangunkanku di tempat tidur sambil membawakan segelas cappuccino dan koran pagi. Oh, indah sekali.
Dan mendengar penolakannya, anehnya, aku sama sekali tak marah ataupun membencinya. Hanya saja yang kupersoalkan adalah: ya Tuhan, aku harus dibotak! Aku bernadzar bahwa jika dia menolakku, maka aku akan mencukur habis rambutku dan menyisakannya hanya satu senti.
Sebenarnya aku sudah yakin dia akan menerimaku, aku sudah menggunakan konsep ilmu dari The Secret, tapi tetap saja, tak mempan….
Tapi begitulah pagi itu, ketika dia bertanya apakah aku ada kuliah, maka kujawab tak ada, dan aku bilang aku berencana pergi ke suatu tempat. Dan tempat itu, tak kuberitahukan padanya.
Karena aku masih bimbang.
Aku masih ragu.
Kemana ku harus pergi menemui kekasihku yang lain. Kekasih yang sudah kucintai sejak aku kecil : kesendirian.
***
Dan berdirilah aku di salah satu sisi jalan, di sebuah gudang tua yang jalan di depannya licin penuh minyak. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan. Benarkah, aku akan pergi ke
Bandung
? Bagaimana jika bisnya tabrakan? Kakakku akan tahu kalau aku berbohong soal kuliah… kakakku akan tahu aku tidak pergi ke bank dan mentransfer uang ke kakakku yang ada di Jakarka.Dan, di lihat dari sisi manapun, aku adalah pendosa. Pendosa besar. Lantas, apakah seperti ini yang bisa kulakukan untuk membalas semua pengorbanan dan kebaikan kakakku yang di Ciranjang?
Tapi aku harus pergi. Bagaimanapun. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, ketika aku mendapatkan VCD bajakan film ayat-ayat cinta dari Jeni demi menyenangkan kakak-perempuanku yang hamil muda, dan keponakanku yang jatuh cinta pada karya Kang Abik, bahwa aku akan membalas kesalahanku ini dengan menonton langsung film itu di bioskop.
Kulewatkan satu bus yang lewat.
Aku membuka novel Harry Potter And The Half-Blood Prince.
Kering.
Pikiranku terempas sebegitu jauh, entah kemana.
Saat bus berikutnya lewat, aku memutuskan apa yang harus kulakukan: naik. Membaca seluruh doa keselamatan yang aku tahu. Dan berkata pada diri sendiri: ya Tuhan, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, dosa besar, tapi aku juga ingin melaksanakan nadzarku, menebus kesalahanku pada Kang Abik, dan semoga aku mendapatkan semua yang hilang dariku sekarang.
Bus melesat maju dan aku mulai membaca.
Mulai tenang.
Hingga aku sampai di Plaza Dago dan langsung menyerbu lantai ketiga, ke arah bioskop. Penuh sesak. Tentu saja. Nomat dan Ayat-ayat cinta adalah paduan istimewa… seperti conello gratis… seperti magnet yang sangat kuat.
Maka, dengan sedikit gugup dan katro, aku mengikuti salah satu anteran. Yang paling kiri, karena aku mengincar menonton ayat-ayat cinta di studio 1. Sejenak ku perhatikan papan petunjuk jadwal film di depanku, dan kudapati ayat-ayat cinta diputar di tiga studio! Oh, Tuhan… it’s so cool.
Selagi ngantri, pikiranku menerawang, menguraikan, dan menggumamkan sendiri komentar tentang adikarya ayat-ayat cinta.
1. Seperti Laskar Pelangi, Ayat-ayat cinta, ditulis dalam waktu singkat: hanya 10 hari. Anif, adiknya Kang Abik melukiskan Kang Abik seperti orang trance sewaktu menulis novel itu. Kang Abik mengomentarinya, kurang lebih seperti ini, “Aku merasa berada antara hidup dan mati. Aku ingin menyisakan sesuatu sebelum aku mati.” Dan kebaikan itu berbuah ayat-ayat cinta. Ayat-ayat cinta adalah kristalisasi pengalaman Kang Abik selama 7 tahun di Kairo, atau dengan kata lain, risetnya selama 7 tahun kuliah di Al-Azhar Mesir. Maka, tak heran jika penggambaran setting dan kebudayaan Mesir dalam novel ini demikian kuat, membuatku teringat akan orang yang paling kukagumi yang membawaku ke Rumah-Nya : Ayahku.
2. Animo masyarakat terhadap film ini demikian besar. Film ini menyerap banyak segmen penonton yang berbeda : dari ibu–ibu arisan sampai ibu–ibu pengajian… dari teteh–teteh berjilbab panjang sampai yang pake rok mini plus tanktop… dari cowok yang berjenggot sampai yang rock n roll… didorong oleh sebuah rasa penasaran, rasa suka, atau memang telah jatuh hati pada novelnya…. Keren…. Dalam beberapa hari sudah mencapai lebih dari 400 ribu penonton…. Dan nampaknya akan jauh lebih banyak seandainya tak ada vcd bajakannya.
3. Beberapa orang yang tidak pernah baca novelnya, nampak tertarik untuk membaca novelnya. Membuat oplah penjualan novelnya naik lagi, nampaknya. Dan orang yang sudah membaca novelnya mengeluhkan banyak yang hilang dari novel ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa visual. Seharusnya kita lebih objektif, bahasa novel dengan bahasa film tentu akan jauh berbeda. Ekspektasi kita terhadap Mesir, lewat imajinasi kita yang berbeda, walaupun kata–kata yang ditulis Kang Abik tetaplah sama, membuat banyak orang kecewa, karena ekspektasi-Mesir yang begitu tinggi dalam benak kita, tak sesuai dengan setting film yang terbentur soal dana dan perizinan.
Aku sudah mendapatkan tiket : K 19.
Aku masuk ke dalam studio dengan berusaha setenang dan sekalem mungkin. Aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Baiklah, aku memang baru beberapa kali nonton di Bioskop, tapi itu bukan berarti aku ketinggalan zaman, oke?! Puas?!
Aku duduk di dekat seorang perempuan yang nampaknya seusia anak SMA. Putih, pake baju kuning, dan rambutnya lurus, dikepang, hitam. Cantik. Dia bersama teman–temannya di sampingnya, berceloteh, ketawa–ketiwi, ngemil, sebelum film dimulai. Dan aku, mau tak mau harus mengakui sebuah kebenaran sederhana di sini: grogi juga duduk deket perempuan cantik.
Tapi tak masalah. Karena aku menikmati satu hal : kesendirian.
Tak ada orang yang mengenaliku di sini. Aku sendiri. Walaupun aku bersama banyak orang, tapi aku merasa bebas. Tak terbebani. Maka, aku teringat kata–kata ini :
Ketika berdua, aku merasa setengah
Ketika bertiga, aku merasa sepertiga
Dan ketika di tengah kerumunan, aku merasa hilang
Namun, ketika aku sendiri, aku merasa utuh
Aku dapat itu dari sebuah film berjudul The Quiet. Ah, sudahlah. Tak penting membahas itu sekarang. Karena film baru saja dimulai….
Aku menikmati suaranya yang jelas, walaupun karena kesalahan teknis, beberapa kali suara lenyap, yang disertai teriakan protes dari penonton. Bahkan, ketika beberapa saat layar gelap, dan disusul tulisan : MAAF ATAS KETIDAKNYAMANAN INI, para penonton semakin gencar bersorak, dan diantaranya adalah:
“Ah, balikeun siah duit urang….”
“Ah, teu ngeunaheun….”
“Ih bete ih….”
“Aduh, keur aliran euy… pareum listrik….”
Dan begitulah setiap kali suara hilang.
Namun, segera setelah Fahri ditahan… studio nampaknya terbius dalam sedu-sedan kepedihan. Cewek-cakep yang duduk di sebelahku tak henti–hentinya menangis. Ia mendorong badannya sedikit ke depan, menggeleng–gelengkan kepalanya sambil terisak. Ia memiringkan badannya ke arah… bukan, bukan ke arahku, tapi kepada temannya, bersandar, dan menangis lagi.
Marah ketika Noura memfitnah Fahri. Sedih ketika Ibunda Fahri menelepon Aisha. Dan tertawa penuh romantika saat malam pertama Fahri dan Aisha. Tertawa penuh imajinasi saat Fahri bingung harus tidur bersama Aisha ataukah Maria, dan saat kedua istrinya memanggilnya bersamaan….
Dan harus kuakui bahwa, setelah sekian lama…. Aku menangis lagi.
Inilah yang selama ini aku cari.
Aku menemukannya di sini, dalam kesendirian, sama ketika novelnya membuatku terduduk lemas, dengan jantung berdetak agak cepat, menangis tersedu-sedan merenungi jalan hidup yang kupilih. Kekeliruan, kepengecutan, pembohongan, ketidakpedulian, dan kepalsuan.
Lalu teringat almarhum Bapak.
Bagaimanapun, setting ‘arab’-nya membuatku lekat akan pengalamanku sekitar lima tahun silam, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di Bandar-udara yang dipenuhi udara sub-tropik yang panas, dengan dikelilingi begitu banyak gunung-berbatu… saat berdiri membisu menatap pagar yang dijaga para Asykar, yang dibalik pagar itu, dibalik tirai hijau yang menutupnya, berbaring jasad Rasulullah… saat terpaku menatap sesuatu seperti dadu-raksasa yang diselimuti kiswah hitam yang dihiasi kaligrafi emas, bayangannya seperti tersamar oleh awan–awan tipis seperti kabut… ka’bah yang agung….
Aku tak tahan lagi, airmataku mengalir lagi….
Entah bagaimana, namun aku merasa, aku tepat telah memutuskan pergi ke
Bandung
dan menonton ayat-ayat cinta. Bertahun-tahun aku belajar percaya untuk mengikuti intuisi, dan sekarang kepercayaanku kembali terbukti. Sebagai seorang penulis, atau paling tidak, orang yang cinta menulis, intuisi sangatlah penting. Intuisi kadang melahirkan sejuta inspirasi yang mahal. Yang kadang didapat justru saat kita sedang duduk di WC, atau menonton film seperti sekarang…. Menatap Fedi Nuril… Rianti… Carissa… Zaskia… Melani…. Saiful… Paman Eqbal…. Semuanya….Maka aku menyandarkan kepalaku ke kursi, sedikit serong ke kanan, dan batinku kembali bergemuruh: Aku merasakan sensasi saat Chachas meneleponku dan mengatakan ketidak-siapannya untuk pacaran… saat dia bilang bahwa dia juga sayang padaku… saat dia berusaha menghiburku dan dirinya sendiri….
Anehnya, aku merasa bersyukur Chachas menolakku. Baiklah, ini terkesan seperti pernyataan tak mau kalah, mempertahankan gengsi, atau apapun namanya, tapi, dengan seribu satu alasan yang bisa membuatku memusuhi Chachas, aku malah semakin sayang padanya. Aku sadar, saat aku menyatakan cinta, aku dilanda kegugupan, aku mendefinisikan perasaan ini sebagai: Aku sayang sama Chachas, aku tak ingin dia pacaran sama orang lain, tapi aku tak siap pacaran sama dia…. Maka, jawabannya adalah menjadi sahabat!
Entahlah.
Beberapa penonton memberikan applause saat film usai… sebagian lagi tampak berceloteh dan tangan mereka memegang tissue… Chachas benar saat dia bilang, “Aku udah nonton film ini tiga kali, walaupun kurang sreg, tapi tetep aja bikin berlinang air mata….”
Aku setuju.
Sejak pulang haji-an, aku selalu merasa Allah ‘menghalang–halangi’ku berbuat dosa. Tapi, ini bukan berarti aku tak pernah berbuat dosa, atau Allah pernah gagal menghalang–halangiku sehubungan dengan seabreg dosa yang pernah kulakukan. Tapi ini lebih seperti : ketika Rasulullah dipingsankan, saat dia tertarik untuk mendengarkan suara musik yang didengarnya.
Aku pernah jatuh-hati lagi, seperti yang tadi kubilang, tapi semua orang yang aku sukai, sudah punya pacar. Selalu sudah punya pacar. Giliran mereka putus, aku sudah malas untuk nembak. Atau, ada yang suka padaku di kampus, empat orang, tapi kesemuanya juga sudah punya pacar, dan dari kesemuanya itu hanya dua, paling tidak, yang membuatku tertarik dan itu karena alasan-setan: posturnya semlohai, dan wajahnya menawan.
Hingga, aku harus mengakui, bahwa beberapa hari kemudian, tepatnya hari sabtu, tanggal 8 Maret, aku melihat dia, Chachas, di acara Pop Song GEMPAS. Sumpah. Aku grogi banget. Bagaimanapun, aku tersentak, kaget, tidak menyangka akan bertemu dia di sini, dan lebih parah lagi, tak jauh dari situ ada salah seorang mantannya Chachas: yang kutahu dia juga sedang berusaha mendekati Chachas.
Ribuan pertanyaan sekaan menyerbu, memburuku, menyudutkanku. Berdiri, mematung, dengan wajah merona merah, tegang, menunggu… terus menunggu…. Dan Chachas tidak mendekatiku, mengsmsku, atau menyapaku. Aku bingung. Dia hanya beberapa meter dariku, terhalang beberapa orang yang berdiri, dan aku bisa saja ke
sana
, say hi, dan selanjutnya, dialog akan mengalir sendiri… tak perlu skenario, tak perlu naskah… semuanya akan mengalir dengan sendirinya…Tapi aku diam.
Tak boleh diam.
Tapi aku… malas… tak berani.
I knew you there… aku mengirimi Chachas sms itu.
Tak ada balasan.
Dan untuk meredam kepanikanku, aku menulis sebuah puisi di ponselku, dalam bahasa inggris, yang aku tak yakin nyambung atau tidak :
And the swallow turn on the wall
Looking life as a simply magically hall
Fucking me, certainly, as a whole
Puisi ini datang begitu saja. Intuisi. Aku tahu ini.
Aku menyadarinya.
Aku, selalu terlambat dalam merespon keadaan. Sewaktu bapakku meninggal, aku tidak terlalu merasa sedih. Aku merasa semua itu hanyalah bohong belaka. Kesedihan melandaku, beberapa bulan, malah beberapa tahun, sesudahnya.
Seperti itukah kini yang terjadi?
Aku tidak marah, tak tersinggung, dan malah merasa lebih mencintai Chachas daripada kapanpun setelah dia menolakku hanya karena sebuah kebenaran sederhana: bahwa perasaanku telat bereaksi?
Aku merasa marah sekarang, merasa enggan, ingin menjauh, melupakan, memutuskan… aku tak mau berbagi terlalu banyak lagi dengannya… tak mau sharing terlalu sering dengannya, hingga dalam ketenggelaman pikiran-aneh ini, aku mendengar lagi apa yang diucapkannya, pagi itu, saat dia menolakku.
“Aku berharap, kita akan tetap bersahabat. Aku berharap, Fan tetap mau jadi sahabatku.”
“Pasti.” Aku bilang. “Pasti.” Aku bilang lagi. “InsyaAllah” aku mulai ragu.
Benarkah perempuan selalu terbelit dalam dilemma ketika ada seorang pria yang jatuh-hati padanya: diterima belum siap, ditolak takut malah ngejauhin, ngemusuhin…. Benarkah?
Tapi aku harus. Aku harus selalu mencintai dan menjadi sahabatnya. Maka, dengarlah apa yang diperbincangkan Fahri dan Maria di depan sungai Nil, yang selalu terngiang, menginspirasi, dan menghanyutkanku dalam alam imajinasi yang meluap-luas, tanpa batas :
Maria : Kamu percaya jodoh, Fahri?
Fahri : (mengangguk, tersenyum) Ya, setiap orang memiliki…
Maria : …jodohnya masing–masing. Itu yang selalu kau bilang. Aku kira, sungai Nil dan Mesir adalah jodoh. Kalau tidak ada sungai Nil, tidak akan ada Mesir. Tidak akan ada peradaban. Seneng ya, kalau kita bisa ketemu jodoh yang diberikan Tuhan dari langit….
Fahri : Bukan dari langit Maria. Tapi dari hati. Dekat sekali.
Aku percaya jodoh.
Ya, lebih mudah menghiburku, lagi–lagi, dengan sebuah kebenaran sederhana yang daya-magisnya luar biasa: kalau jodoh tak akan lari kemana….
Rasa sakitku karena Chachas, mengajariku untuk kembali berpaling pada-Nya. Pada-Nya yang selama ini aku tinggalkan. Teringatku, akan potongan puisi Kang Abik, “Apakah untuk mencintai-Mu… harus sakit dahulu?”
Aku tak keberatan. Karena cinta-Mu melingkupi segala yang hakiki dan maya.
Walaupun, “terdiam ku di sini, teraniaya sepi,”
“kutahu pasti, Kau menemani.”
“Dalam hidupku, kesendirianku….”
Selalu.
5–8 Maret 2008
Mengenang penolakan Chachas, dan biusan ayat-ayat cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar