Senin, 21 September 2009
Angin
grey.
Seperti itu lagi.
Adakah hal lain menggangguku, jika begitu?
Fight, like there's no other choice.
And then, I stand up and freedom.
Seperti kata William Wallace, "Everbody's dies, not everybody really life."
Rabu, 02 September 2009
Catatan Setelah Gempa Tasik 7,3 SR
Yang menjadi menarik adalah, bahwa getaran besar yang bisa bikin roboh gedung-gedung itu, berhasil, (untuk sementara), membuat pecinta pesbuk, menulis dinding tentang hal itu: nggak suka lah, istigfarlah, dan semuanya....
Dan yang menjadikanku sedikit paranoid adalah, kenyataan bahwa gempa ini mengingatkanku akan isi buku “Kiamat 2012”-nya Lawrence E Joseph. Sebagai muslim yang (berusaha) taat, aku tak percaya kiamat akan terjadi pada tahun 2012. Masih banyak tanda kiamat yang belum terjadi, dan itu butuh waktu.
Tapi sebagai seorang manusia rasional, aku percaya bahwa kemungkinan Bumi mengalami (banyak) kehancuran di tahun itu, sangat besar. Sebenarnya, tidak hanya di tahun itu. Tahun ini pun kemungkinannya sangat besar. Hidup adalah ketidakpastian dan kemungkinan.
Dan, melihat Yellowstone mulai semakin panas dan semakin aktif, aku pikir, adalah wajar, jika kita waspada, jika kita berjaga-jaga, sadar bahwa suatu hari dia pasti meledak—yang ledakannnya diperkirakan akan setara dengan ledakan yang terjadi pada Danau Toba 65ribu tahun yang lalu. Efeknya? ¾ makhluk Bumi PUNAH!
Apa yang bisa kita pelajari dari sini?
Lihatlah, tipologi manusia zaman kita adalah kumpulan dari tipologi manusia pada zaman nabi Nuh yang diwakili oleh Kan’an (anak yang durhaka), tipologi manusia zaman nabi Luth (homoseksual), tipologi Kabil (membunuh saudara—perang saudara), tipologi manusia era firaun (sihir, santet), tipologi masa zahiliyyah (menyembah berhala—uang, dst....). Adalah wajar, ketika Tuhan menimpakan azab kepada umat yang durhaka, karena begitulah sunnah-Nya. Tapi karena kecintaan-Nya kepada nabi Muhammad, Allah sengaja mengulur waktu, memberi kesempatan begitu luas bagi manusia untuk bertobat, untuk kembali ke pangkuan-Nya. Dikutip dengan indah oleh Leo Tolstoy, “Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu”.
Tapi apa lacur, jika orang-orang malah semakin jauh. Yang nggak puasa, berani terang-terangan makan di luar (bahkan bangga?), kehidupan cinta sudah dipenuhi seks bebas, perang saudara dimana-mana, hedonisme, sekularitas... alasan apa lagi yang hendak kita utarakan kepada-Nya, hanya demi Dia berkenan menangguhkan azab-Nya?
Bahwa, ya, memang masih banyak orang yang taat padanya. Bahwa, ya, memang masih banyak orang yang sadar dan patuh pada-Nya. Tapi apalah artinya itu semua, jika bukan kita yang ambil bagian di dalamnya? Karena, hanya dengan menjadi bagian dari semua itulah—manusia-manusia taat—kita—jika pun mati karena bencana di dunia—akan dihidupkan kembali dalam ridho dan cinta-Nya. Insya Allah.
Senin, 31 Agustus 2009
Miracle is Me
Hubby La Vita Nova adalah keajaiban bagiku. Karena kelahirannya adalah proses panjang yang melibatkan rasa sakit hati, kelelahan, tapi nothing to lose karena Allah selalu membisikiku, menuntun langkah-langkahku.
Dengan keyakinan yang kupancarkan ke semesta, satu demi satu pahlawan datang ke dalam hidupku, mewarnai perjuanganku, turut serta membantu proses kelahiran ini lebih mudah.
Adalah kakak perempuanku, Ai Nurmaliah, yang percaya penuh kepadaku... mendukungku secara finansial dan moral dengan begitu luar biasa--tanpa bertanya untuk apa. Sofi, yang tanpa dukungannya sejak awal, aku nyaris tenggelam, kembali ke dalam ketidakyakinan akan mimpi. Lantas, Arif, yang membuat aku semakin yakin bahwa intuisiku tak mengkhianatiku.
Kehadirannya membuatku kembali bersemangat, kembali merevisi mimpiku yang ku sengaja biarkan tak terlalu tinggi. "Akang selalu bilang bahwa kita harus memasang target yang jauh lebih tinggi daripada kemampuan kita," dan hanya dengan kalimat itu, aku seperti ditampar untuk menyadari self devaluation yang menyerangku, dan aku terduduk, sadar bahwa aku harus bangkit. Sekarang. Tak ada kapan-kapan lagi.
Tentu saja, banyak kendala yang menghadang, yang merupakan nuansa-nuansa seru dalam perjuangan meraih mimpi--ibarat pohon-pohon dan semak belukar, yang menggores kulit kita selama pendakian dan penaklukan gunung.
Bantuan demi bantuan datang. Ari, sahabat kecilku, bersedia dengan sungguh untuk mendesain coverku tanpa bayaran (hasilnya luar biasa memuaskan, demi Tuhan). Kang Unus, dengan rendah hati, rela aku repotkan untuk melay out novel itu.
Keajaiban paling memukau adalah hadirnya "Beruang 17". Ini semakin mengukuhkanku bahwa aku adalah keajaiban. Keajaiban akan hadir, laksana pertolongan-pertolongan tak terduga saat pahlawan kita terdesak antara hidup dan mati.
Barangkali karena perasaan positif yang aku lemparkan ke semesta, atau karena rasa nothing to lose yang membuatku yakin bahwa 'apapun yang terjadi, semua akan berakhir dengan bahagia, sesuai dengan apa yang aku inginkan'.
It's not about my fight, it's all about God help.
Allah memelukku, mengantarkanku berjalan sejauh ini, sejauh langkah yang tak pernah kusadari akan tiba jua kepadaku, yang memimpikannya sedari dulu.
Jadi, jika kau punya mimpi. Yakini, berjuang, dan lihatlah apa yang akan terjadi. Seperti itulah proses kelahiran Hubby La Vita Nova bagiku.
Miracle is me, miracle is you, miracle is us, miracle is everyone else.
Selasa, 28 Juli 2009
Takdir
Semasa kecil, aku mencerap titah mereka dan karenanya aku seringkali paranoid jika pertanyaan demi pertanyaan tentang konsep takdir menyerbu benakku, membuatku mengalami perang batin, semacam gangguan auditorial.
Bertahun-tahun pertanyaan-pertanyaan itu menyeruak, tenggelam, kembali ke permukaan, lalu tenggelam lagi. Seperti ombak. Hingga, ketika pertanyaan-pertanyaan itu kembali menyeruak, aku menangkapnya, dan bertekad menghadapinya.
Selama berjam-jam aku berdiskusi dan berdebat tentang konsep takdir dan nasib dengan kakak iparku yang seorang guru-ngaji. Ayahku seorang kiai sebenarnya, tapi beliau sudah 5 tahun lalu meninggal. Aku tak sempat menanyakan hal ini.
Akhirnya, aku menemukan sebuah jawaban--yang paling tidak--memberiku ketentraman batin dan pemahaman untuk saat ini. Suatu kondisi yang membuatku melihat dengan mata batinku, betapa Maha Jeniusnya Allahku. Betapa Mahakuasanya Tuhanku itu.
Jadi, jika Jostein Gaarder bilang bahwa takdir itu mirip bunga kol. Aku ingin bilang bahwa takdir seperti akar. Akar yang bercecabang yang tiap cecabangnya memiliki cecabang demi cecabang lagi, begitu seterusnya, tak hingga jumlahnya, dan semuanya menjurus ke satu titik akhir: kematian.
Dan manusia, menurutku, adalah air yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk memilih lewat cecabang mana ia ingin lewat. Sesekali, memang, ia seperti 'dipaksa' untuk melalui satu cecabang akar tertentu, namun di ujung cecabang itu, Allah kembali memberinya kekuasaan untuk memilih lewat cecabang mana ia akan melanjutkan.
Karena itu, ada kalanya, mungkin, terjadi kondisi dimana manusia ditakdirkan secara 'paksa' untuk menjadi seorang pembunuh. Seperti si pembunuh Umar bin Khattab r.a. Jika sejak zaman azali dia memang sudah ditakdirkan Allah untuk menjadi pembunuh, itu artinya dia dipaksa melalui kekuatan takdir untuk menjadi pembunuh.
Tapi, di 'ujung' takdir itu, Allah kembali memberi manusia itu kebebasan untuk memilih lewat cecabang mana dia akan melanjutkan hidupnya. Ada cecabang yang dimulai dengan taubat dan ada cecabang lain yang dimulai dengan kebahagiaan setelah melakukan perbuatan dzalim.
Itulah kenapa, menurut hematku, rangkaian kausalitas dalam hidup memang benar-benar berlaku. Ini juga menunjukkan kekuatan manusia--lewat kebeban yang dianugerahkan Allah--dalam memilih dan menentukan nasibnya sendiri.
Jadi, pada dasarnya, Allah tidak menciptakan satu takdir bagi kita. Tapi tak-hingga takdir. Dia meletakkan kita di titik awal takdir--saat lahir--dan memberi kebebasan kepada kita untuk memilih takdir mana yang ingin kita pilih untuk hidup kita.
Jadi, jangan salahkan Tuhan jika hidup Anda tidak bahagia.
Wallahu a'lam bis shawab.
Jumat, 24 Juli 2009
Irfan yang Dulu dan Sekarang
Aku mengalami hal itu, dua kali, seingatku.
Kali pertama, dengan Dewi. Dia adalah juniorku yang sudah kuanggap adikku sendiri. Apalagi orang tuaku bersahabat dengan orang tuanya. Aku mengenalnya sejak kecil tapi baru benar-benar akrab saat SMA.
Suatu kali, saat di angkot, dia mengirim pesan ke hapeku. Ketika aku membacanya, aku terheran oleh isi sms itu.
"Akang inget nggak?"
Aku menggeleng.
"Masa sih?"
Aku mulai ingat.
"Ini..." aku tak sanggup melanjutkan.
Dewi mengangguk.
"Itu sms dari Akang waktu Dewi ngerasa drop dulu pas mau seleksi 4 besar calon jabar."
Aku menghela nafas. Heran. Itu sudah 4 tahun yang lalu. Dia sudah berkali-kali ganti hape, dan sms itu masih ada? Apa sebenarnya yang dia pikirkan?
Tersanjung? Tentu saja aku tersanjung. Dewi menganggap penting--mungkin--sms dariku sehingga mau tidak mau itu membuatku sadar bahwa aku harus bisa melewati cobaan hidup yang tengah aku hadapi. Bahwa aku harus lebih kuat daripada aku yang sekarang.
Kali kedua, dengan Arif.
Cobaan hidup yang menimpaku sedikit-banyak mempengaruhi kondisi kejiwaanku. Aku mulai menjadi seorang soliter, rendah diri, dan asosial.
Waktu itu, aku mengajak Arif kerjasama dalam sebuah proyek. Proyek pertamaku menerbitkan buku--yang merupakan novel kesukaanku. Lalu, dia bilang, "Akang pernah bilang bahwa cover itu penting bukan?"
Saat itu cover proposal yang kubuat sangat alakadarnya. Aku tertegun. Benar. Selama ini aku mengalami degradasi kestabilan mental.
Di lain waktu, Arif berkata, "Akang pernah bilang ke Arif bahwa kita harus punya target. Dan usahakan target itu lebih tinggi dari apa yang kita pikir mampu kita capai."
Ya, aku berkata.
Saat itu aku kelas 2 dan masih menjadi orang yang tidak suka baca buku. Tapi apa yang dikatakan Arif membuatku berpikir--dan merasa dengan geer--bahwa pada masa kelas 2 itu, aku memang "berhasil" menghasilkan beberapa pemikiran hebat--untuk ukuran orang seusiaku, tentu saja. Dan yang aku sesalkan, aku belum menyukai menulis waktu itu.
Aku ingat saat menjadi motivator bagi teman-teman dan adik angkatanku--seorang sahabatku malah menyebutku guru spiritualnya.
Semua itu membuatku tersanjung, pada awalnya. Tapi semakin lama, semua itu menyesakkanku. Selain karena aku takut jadi sombong karenanya, juga karena kenyataan bahwa aku merasa... 'tidak seperti itu lagi'.
Degradasi mental yang aku rasakan nampaknya memang 'benar-benar' terjadi--tidak hanya dalam imajinasiku saja.
Aku ingat ketika aku menulis bahwa "Irfan yang dulu telah mati". Tapi, "Irfan yang sekarang masih hidup" memiliki beberapa kelebihan dibanding si Irfan yang dulu itu. Yang aku mau adalah penyatuan antara Irfan yang dulu dan sekarang. Seperti halnya penyatuan antara ke-27 kepribadian Billy.
Satu hal yang aku pikir bisa membantuku mewujudkan itu semua adalah: fight for my dreams.
But, love. I thing i need more love to loving me, loving myself.
Hmm,,,
Seiring waktu, aku yakin aku bisa sembuh. Dan seperti halnya Billy, aku harap aku bisa memaafkan mereka dan menerima kenyataan bahwa kelebihanku sekarang juga berkat 'mereka'.
semangat...
Thanks Allah, for everything You gave to me.
For being "Here" with me....
Kontemplasi di K 19 Ayat-ayat Cinta
Smsnya berbunyi : kalau sudah pulang dari mesjid, sms balik ya… maaf nelpon pagi–pagi.
Dan sms itu pun aku balas.
Tak berapa lama, handphoneku berdering.
Sebuah jawaban.
Pastilah itu yang akan aku dapat hari ini.
Jawaban atas pernyataan cintaku padanya. Ah, menggelikan sekali mengenangnya. Tapi begitulah, ketika seseorang terembas dalam persaan terhanyut-larut dan seakan dipenuhi memori-indah cinta. Ah, bukan main indahnya. Bukan main.
Dan yang kudengar pertama kali darinya adalah, “Ini mah curhat…” dan dia bercerita tentang kondisi persaannya. Tentang remuk-redam hatinya. Tentang ketidak-siapannya untuk… sampai di sini aku tahu jawaban yang kuterima adalah : penolakan.
Penolakan pertama dalam seumur hidupku, yang dibalut dalam kata–kata halus, sangat halus. Meruntuhkan apa yang selama ini kubanggakan sebagai rekor tersendiri dalam kisah hidupku : tidak pernah ditolak.
Sewaktu SMP, aku termasuk orang yang begitu populer. Semua orang kenal aku, dan karenanya begitu banyak perempuan yang jatuh hati padaku. Seingatku, dalam tiga tahun itu aku gemar sekali gonta-ganti pacar. Paduan yang tepat : popularitas, kesan-saleh karena anak kiai, jabatan ketua di OSIS, dan baiklah, sedikit narsis : wajah yang rupawan. Hahahaha.
Saat itu, untuk jadian dengan seorang perempuan, aku hanya perlu bilang bahwa aku suka padanya, dan aku sudah yakin bahwa mereka akan menerimaku. Kadang, ada yang berpura–pura tidak mendengar apa yang aku utarakan –nampaknya untuk menambah kesan romantis dan dramatis– dan biasanya, aku akan bilang, “Aku nggak akan ngulangin lagi. Yang tadi juga cukup jelas. Kalau nggak mau ya sudah.” Dan dia akan buru–buru mengiyakan.
Kini.
Setelah belajar perihnya luka-hati, dari seseorang berinisial G, aku tak pernah mau lagi menyakiti perempuan. Terdengar utopis memang. Tapi begitulah yang aku rasakan. Apalagi, ketika salah seorang kakak perempuanku berkata, “Jangan mainin hati perempuan. Lihat, kakakmu banyak yang perempuan, bagaimana kalau mereka juga dipermainkan….” Sebenarnya ucapan itu dimaksudkan pada kakakku yang paling dekat, tapi mau tak mau, aku merasa tersentak, malu, sekaligus takut. Dipenuhi beban-penyesalan.
Maka, moment kelas tiga SMA kulalui dengan kesendirian. Sebuah suasana berbeda ketika aku merasa bebas, tak terbebani, dengan peperangan-batinku yang sedikit berkurang. Namun, kelemahanku –yang konon sebagai bakat-alami yang berhubungan dengan bulan-kelahiranku– terus menggodaku. Tak tanggung–tanggung, saat itu aku jatuh-hati pada 6 gadis. Tujuh, kalau aku memasukkan salah seorang sahabat paskibraka-jabarku ke dalamnya. Dua orang dari enam gadis itu adalah teman sekelasku. Dan 4 orang sisanya, adalah adik angkatanku di Paskibra. Cukup banyak, dan respon keempatnya pun positif. Cool!
Tapi, aku tak lagi seperti aku sewaktu SMP, aku tak bisa seenaknya mendekati mereka dan mengatakan bahwa aku jatuh hati pada mereka lantas meminta mereka jadi kekasihku. Bagaimanapun, pikiranku sering menyodorkanku pemikiran ini: jangan ulangi kesalahan lagi. Cobalah tengok bagaimana perasaanmu sebenarnya. Jangan terjebak pada perasaan suka-sesaat. Dan ajaibnya, secara perlahan, hal ini membuatku jadi nggak bisa nembak. Nggak bisa ngungkapin perasaan. Aneh saja. Lidahku seperti kelu. Keberanianku musnah. Hilang. Berganti keengganan, keraguan, dan ketakutan. Kini, aku tahu bagaimana rasanya jadi pemuja-rahasia rasanya cinta-dalam-hati.
Maka, dari keenam perempuan itu, aku menemukan hanya dua yang menurutku “baik”. Sesuai. Perfecta. Pada 4 orang sisanya, perasaanku terpecah menjadi : dia mirip seseorang yang aku kagumi atau aku sukai, dan, satu lagi, ah malu sekali aku mengakuinya, karena dia memiliki postur tubuh yang semlohai dan mata yang memabukkan.
Maka, dari 2 orang yang kuberi predikat “baik” dalam hatiku, artinya perasaanku “lebih tulus”, aku membedakannya menjadi dua kategori: sebagai adik, dan sayang-yang-tak-terjemahkan.
Pada Chachaslah sayang-tak-terjemahkan itu.
Aku menyayanginya. Dan dengan sepenuh hati memendam perasaan itu. Berharap waktu mengajariku bagaimana sebenarnya perasaanku padanya. Dan waktu, semakin berlalu, dan aku semakin jauh terperangkap, terpenjara sekaligus terbebaskan, dalam rasa-sayangku padanya. Aku tidak pernah benar–benar jatuh hati lagi, selain pada seorang perempuan berinisial A, adik angkatanku di Paskibra. Yang kini kudefiniskan menjadi: rasa sayang seorang kakak kepada seorang adik yang sama–sama memiliki masa lalu yang sama (kehilangan salah seorang orang tua).
Dan ketika mendengar Chachas baru saja putus, dan kabar-burung bahwa salah satu mantannya kini sedang berusaha mendekatinya lagi, aku pun berlari pontang-panting membeli pulsa-dengan-kredit kepada teman, lalu mengiriminya sms, meneleponnya dan mengatakan semuanya… mengatakan bahwa selama ini aku mencintainya… bahwa aku sering berharap dan berkhayal suatu saat dia akan membangunkanku di tempat tidur sambil membawakan segelas cappuccino dan koran pagi. Oh, indah sekali.
Dan mendengar penolakannya, anehnya, aku sama sekali tak marah ataupun membencinya. Hanya saja yang kupersoalkan adalah: ya Tuhan, aku harus dibotak! Aku bernadzar bahwa jika dia menolakku, maka aku akan mencukur habis rambutku dan menyisakannya hanya satu senti.
Sebenarnya aku sudah yakin dia akan menerimaku, aku sudah menggunakan konsep ilmu dari The Secret, tapi tetap saja, tak mempan….
Tapi begitulah pagi itu, ketika dia bertanya apakah aku ada kuliah, maka kujawab tak ada, dan aku bilang aku berencana pergi ke suatu tempat. Dan tempat itu, tak kuberitahukan padanya.
Karena aku masih bimbang.
Aku masih ragu.
Kemana ku harus pergi menemui kekasihku yang lain. Kekasih yang sudah kucintai sejak aku kecil : kesendirian.
***
Dan berdirilah aku di salah satu sisi jalan, di sebuah gudang tua yang jalan di depannya licin penuh minyak. Aku memikirkan apa yang akan kulakukan. Benarkah, aku akan pergi ke
Bandung
? Bagaimana jika bisnya tabrakan? Kakakku akan tahu kalau aku berbohong soal kuliah… kakakku akan tahu aku tidak pergi ke bank dan mentransfer uang ke kakakku yang ada di Jakarka.Dan, di lihat dari sisi manapun, aku adalah pendosa. Pendosa besar. Lantas, apakah seperti ini yang bisa kulakukan untuk membalas semua pengorbanan dan kebaikan kakakku yang di Ciranjang?
Tapi aku harus pergi. Bagaimanapun. Aku sudah berjanji pada diri sendiri, ketika aku mendapatkan VCD bajakan film ayat-ayat cinta dari Jeni demi menyenangkan kakak-perempuanku yang hamil muda, dan keponakanku yang jatuh cinta pada karya Kang Abik, bahwa aku akan membalas kesalahanku ini dengan menonton langsung film itu di bioskop.
Kulewatkan satu bus yang lewat.
Aku membuka novel Harry Potter And The Half-Blood Prince.
Kering.
Pikiranku terempas sebegitu jauh, entah kemana.
Saat bus berikutnya lewat, aku memutuskan apa yang harus kulakukan: naik. Membaca seluruh doa keselamatan yang aku tahu. Dan berkata pada diri sendiri: ya Tuhan, aku tahu aku telah melakukan kesalahan besar, dosa besar, tapi aku juga ingin melaksanakan nadzarku, menebus kesalahanku pada Kang Abik, dan semoga aku mendapatkan semua yang hilang dariku sekarang.
Bus melesat maju dan aku mulai membaca.
Mulai tenang.
Hingga aku sampai di Plaza Dago dan langsung menyerbu lantai ketiga, ke arah bioskop. Penuh sesak. Tentu saja. Nomat dan Ayat-ayat cinta adalah paduan istimewa… seperti conello gratis… seperti magnet yang sangat kuat.
Maka, dengan sedikit gugup dan katro, aku mengikuti salah satu anteran. Yang paling kiri, karena aku mengincar menonton ayat-ayat cinta di studio 1. Sejenak ku perhatikan papan petunjuk jadwal film di depanku, dan kudapati ayat-ayat cinta diputar di tiga studio! Oh, Tuhan… it’s so cool.
Selagi ngantri, pikiranku menerawang, menguraikan, dan menggumamkan sendiri komentar tentang adikarya ayat-ayat cinta.
1. Seperti Laskar Pelangi, Ayat-ayat cinta, ditulis dalam waktu singkat: hanya 10 hari. Anif, adiknya Kang Abik melukiskan Kang Abik seperti orang trance sewaktu menulis novel itu. Kang Abik mengomentarinya, kurang lebih seperti ini, “Aku merasa berada antara hidup dan mati. Aku ingin menyisakan sesuatu sebelum aku mati.” Dan kebaikan itu berbuah ayat-ayat cinta. Ayat-ayat cinta adalah kristalisasi pengalaman Kang Abik selama 7 tahun di Kairo, atau dengan kata lain, risetnya selama 7 tahun kuliah di Al-Azhar Mesir. Maka, tak heran jika penggambaran setting dan kebudayaan Mesir dalam novel ini demikian kuat, membuatku teringat akan orang yang paling kukagumi yang membawaku ke Rumah-Nya : Ayahku.
2. Animo masyarakat terhadap film ini demikian besar. Film ini menyerap banyak segmen penonton yang berbeda : dari ibu–ibu arisan sampai ibu–ibu pengajian… dari teteh–teteh berjilbab panjang sampai yang pake rok mini plus tanktop… dari cowok yang berjenggot sampai yang rock n roll… didorong oleh sebuah rasa penasaran, rasa suka, atau memang telah jatuh hati pada novelnya…. Keren…. Dalam beberapa hari sudah mencapai lebih dari 400 ribu penonton…. Dan nampaknya akan jauh lebih banyak seandainya tak ada vcd bajakannya.
3. Beberapa orang yang tidak pernah baca novelnya, nampak tertarik untuk membaca novelnya. Membuat oplah penjualan novelnya naik lagi, nampaknya. Dan orang yang sudah membaca novelnya mengeluhkan banyak yang hilang dari novel ketika dialihbahasakan ke dalam bahasa visual. Seharusnya kita lebih objektif, bahasa novel dengan bahasa film tentu akan jauh berbeda. Ekspektasi kita terhadap Mesir, lewat imajinasi kita yang berbeda, walaupun kata–kata yang ditulis Kang Abik tetaplah sama, membuat banyak orang kecewa, karena ekspektasi-Mesir yang begitu tinggi dalam benak kita, tak sesuai dengan setting film yang terbentur soal dana dan perizinan.
Aku sudah mendapatkan tiket : K 19.
Aku masuk ke dalam studio dengan berusaha setenang dan sekalem mungkin. Aku tidak mau mempermalukan diriku sendiri. Baiklah, aku memang baru beberapa kali nonton di Bioskop, tapi itu bukan berarti aku ketinggalan zaman, oke?! Puas?!
Aku duduk di dekat seorang perempuan yang nampaknya seusia anak SMA. Putih, pake baju kuning, dan rambutnya lurus, dikepang, hitam. Cantik. Dia bersama teman–temannya di sampingnya, berceloteh, ketawa–ketiwi, ngemil, sebelum film dimulai. Dan aku, mau tak mau harus mengakui sebuah kebenaran sederhana di sini: grogi juga duduk deket perempuan cantik.
Tapi tak masalah. Karena aku menikmati satu hal : kesendirian.
Tak ada orang yang mengenaliku di sini. Aku sendiri. Walaupun aku bersama banyak orang, tapi aku merasa bebas. Tak terbebani. Maka, aku teringat kata–kata ini :
Ketika berdua, aku merasa setengah
Ketika bertiga, aku merasa sepertiga
Dan ketika di tengah kerumunan, aku merasa hilang
Namun, ketika aku sendiri, aku merasa utuh
Aku dapat itu dari sebuah film berjudul The Quiet. Ah, sudahlah. Tak penting membahas itu sekarang. Karena film baru saja dimulai….
Aku menikmati suaranya yang jelas, walaupun karena kesalahan teknis, beberapa kali suara lenyap, yang disertai teriakan protes dari penonton. Bahkan, ketika beberapa saat layar gelap, dan disusul tulisan : MAAF ATAS KETIDAKNYAMANAN INI, para penonton semakin gencar bersorak, dan diantaranya adalah:
“Ah, balikeun siah duit urang….”
“Ah, teu ngeunaheun….”
“Ih bete ih….”
“Aduh, keur aliran euy… pareum listrik….”
Dan begitulah setiap kali suara hilang.
Namun, segera setelah Fahri ditahan… studio nampaknya terbius dalam sedu-sedan kepedihan. Cewek-cakep yang duduk di sebelahku tak henti–hentinya menangis. Ia mendorong badannya sedikit ke depan, menggeleng–gelengkan kepalanya sambil terisak. Ia memiringkan badannya ke arah… bukan, bukan ke arahku, tapi kepada temannya, bersandar, dan menangis lagi.
Marah ketika Noura memfitnah Fahri. Sedih ketika Ibunda Fahri menelepon Aisha. Dan tertawa penuh romantika saat malam pertama Fahri dan Aisha. Tertawa penuh imajinasi saat Fahri bingung harus tidur bersama Aisha ataukah Maria, dan saat kedua istrinya memanggilnya bersamaan….
Dan harus kuakui bahwa, setelah sekian lama…. Aku menangis lagi.
Inilah yang selama ini aku cari.
Aku menemukannya di sini, dalam kesendirian, sama ketika novelnya membuatku terduduk lemas, dengan jantung berdetak agak cepat, menangis tersedu-sedan merenungi jalan hidup yang kupilih. Kekeliruan, kepengecutan, pembohongan, ketidakpedulian, dan kepalsuan.
Lalu teringat almarhum Bapak.
Bagaimanapun, setting ‘arab’-nya membuatku lekat akan pengalamanku sekitar lima tahun silam, saat aku pertama kali menjejakkan kaki di Bandar-udara yang dipenuhi udara sub-tropik yang panas, dengan dikelilingi begitu banyak gunung-berbatu… saat berdiri membisu menatap pagar yang dijaga para Asykar, yang dibalik pagar itu, dibalik tirai hijau yang menutupnya, berbaring jasad Rasulullah… saat terpaku menatap sesuatu seperti dadu-raksasa yang diselimuti kiswah hitam yang dihiasi kaligrafi emas, bayangannya seperti tersamar oleh awan–awan tipis seperti kabut… ka’bah yang agung….
Aku tak tahan lagi, airmataku mengalir lagi….
Entah bagaimana, namun aku merasa, aku tepat telah memutuskan pergi ke
Bandung
dan menonton ayat-ayat cinta. Bertahun-tahun aku belajar percaya untuk mengikuti intuisi, dan sekarang kepercayaanku kembali terbukti. Sebagai seorang penulis, atau paling tidak, orang yang cinta menulis, intuisi sangatlah penting. Intuisi kadang melahirkan sejuta inspirasi yang mahal. Yang kadang didapat justru saat kita sedang duduk di WC, atau menonton film seperti sekarang…. Menatap Fedi Nuril… Rianti… Carissa… Zaskia… Melani…. Saiful… Paman Eqbal…. Semuanya….Maka aku menyandarkan kepalaku ke kursi, sedikit serong ke kanan, dan batinku kembali bergemuruh: Aku merasakan sensasi saat Chachas meneleponku dan mengatakan ketidak-siapannya untuk pacaran… saat dia bilang bahwa dia juga sayang padaku… saat dia berusaha menghiburku dan dirinya sendiri….
Anehnya, aku merasa bersyukur Chachas menolakku. Baiklah, ini terkesan seperti pernyataan tak mau kalah, mempertahankan gengsi, atau apapun namanya, tapi, dengan seribu satu alasan yang bisa membuatku memusuhi Chachas, aku malah semakin sayang padanya. Aku sadar, saat aku menyatakan cinta, aku dilanda kegugupan, aku mendefinisikan perasaan ini sebagai: Aku sayang sama Chachas, aku tak ingin dia pacaran sama orang lain, tapi aku tak siap pacaran sama dia…. Maka, jawabannya adalah menjadi sahabat!
Entahlah.
Beberapa penonton memberikan applause saat film usai… sebagian lagi tampak berceloteh dan tangan mereka memegang tissue… Chachas benar saat dia bilang, “Aku udah nonton film ini tiga kali, walaupun kurang sreg, tapi tetep aja bikin berlinang air mata….”
Aku setuju.
Sejak pulang haji-an, aku selalu merasa Allah ‘menghalang–halangi’ku berbuat dosa. Tapi, ini bukan berarti aku tak pernah berbuat dosa, atau Allah pernah gagal menghalang–halangiku sehubungan dengan seabreg dosa yang pernah kulakukan. Tapi ini lebih seperti : ketika Rasulullah dipingsankan, saat dia tertarik untuk mendengarkan suara musik yang didengarnya.
Aku pernah jatuh-hati lagi, seperti yang tadi kubilang, tapi semua orang yang aku sukai, sudah punya pacar. Selalu sudah punya pacar. Giliran mereka putus, aku sudah malas untuk nembak. Atau, ada yang suka padaku di kampus, empat orang, tapi kesemuanya juga sudah punya pacar, dan dari kesemuanya itu hanya dua, paling tidak, yang membuatku tertarik dan itu karena alasan-setan: posturnya semlohai, dan wajahnya menawan.
Hingga, aku harus mengakui, bahwa beberapa hari kemudian, tepatnya hari sabtu, tanggal 8 Maret, aku melihat dia, Chachas, di acara Pop Song GEMPAS. Sumpah. Aku grogi banget. Bagaimanapun, aku tersentak, kaget, tidak menyangka akan bertemu dia di sini, dan lebih parah lagi, tak jauh dari situ ada salah seorang mantannya Chachas: yang kutahu dia juga sedang berusaha mendekati Chachas.
Ribuan pertanyaan sekaan menyerbu, memburuku, menyudutkanku. Berdiri, mematung, dengan wajah merona merah, tegang, menunggu… terus menunggu…. Dan Chachas tidak mendekatiku, mengsmsku, atau menyapaku. Aku bingung. Dia hanya beberapa meter dariku, terhalang beberapa orang yang berdiri, dan aku bisa saja ke
sana
, say hi, dan selanjutnya, dialog akan mengalir sendiri… tak perlu skenario, tak perlu naskah… semuanya akan mengalir dengan sendirinya…Tapi aku diam.
Tak boleh diam.
Tapi aku… malas… tak berani.
I knew you there… aku mengirimi Chachas sms itu.
Tak ada balasan.
Dan untuk meredam kepanikanku, aku menulis sebuah puisi di ponselku, dalam bahasa inggris, yang aku tak yakin nyambung atau tidak :
And the swallow turn on the wall
Looking life as a simply magically hall
Fucking me, certainly, as a whole
Puisi ini datang begitu saja. Intuisi. Aku tahu ini.
Aku menyadarinya.
Aku, selalu terlambat dalam merespon keadaan. Sewaktu bapakku meninggal, aku tidak terlalu merasa sedih. Aku merasa semua itu hanyalah bohong belaka. Kesedihan melandaku, beberapa bulan, malah beberapa tahun, sesudahnya.
Seperti itukah kini yang terjadi?
Aku tidak marah, tak tersinggung, dan malah merasa lebih mencintai Chachas daripada kapanpun setelah dia menolakku hanya karena sebuah kebenaran sederhana: bahwa perasaanku telat bereaksi?
Aku merasa marah sekarang, merasa enggan, ingin menjauh, melupakan, memutuskan… aku tak mau berbagi terlalu banyak lagi dengannya… tak mau sharing terlalu sering dengannya, hingga dalam ketenggelaman pikiran-aneh ini, aku mendengar lagi apa yang diucapkannya, pagi itu, saat dia menolakku.
“Aku berharap, kita akan tetap bersahabat. Aku berharap, Fan tetap mau jadi sahabatku.”
“Pasti.” Aku bilang. “Pasti.” Aku bilang lagi. “InsyaAllah” aku mulai ragu.
Benarkah perempuan selalu terbelit dalam dilemma ketika ada seorang pria yang jatuh-hati padanya: diterima belum siap, ditolak takut malah ngejauhin, ngemusuhin…. Benarkah?
Tapi aku harus. Aku harus selalu mencintai dan menjadi sahabatnya. Maka, dengarlah apa yang diperbincangkan Fahri dan Maria di depan sungai Nil, yang selalu terngiang, menginspirasi, dan menghanyutkanku dalam alam imajinasi yang meluap-luas, tanpa batas :
Maria : Kamu percaya jodoh, Fahri?
Fahri : (mengangguk, tersenyum) Ya, setiap orang memiliki…
Maria : …jodohnya masing–masing. Itu yang selalu kau bilang. Aku kira, sungai Nil dan Mesir adalah jodoh. Kalau tidak ada sungai Nil, tidak akan ada Mesir. Tidak akan ada peradaban. Seneng ya, kalau kita bisa ketemu jodoh yang diberikan Tuhan dari langit….
Fahri : Bukan dari langit Maria. Tapi dari hati. Dekat sekali.
Aku percaya jodoh.
Ya, lebih mudah menghiburku, lagi–lagi, dengan sebuah kebenaran sederhana yang daya-magisnya luar biasa: kalau jodoh tak akan lari kemana….
Rasa sakitku karena Chachas, mengajariku untuk kembali berpaling pada-Nya. Pada-Nya yang selama ini aku tinggalkan. Teringatku, akan potongan puisi Kang Abik, “Apakah untuk mencintai-Mu… harus sakit dahulu?”
Aku tak keberatan. Karena cinta-Mu melingkupi segala yang hakiki dan maya.
Walaupun, “terdiam ku di sini, teraniaya sepi,”
“kutahu pasti, Kau menemani.”
“Dalam hidupku, kesendirianku….”
Selalu.
5–8 Maret 2008
Mengenang penolakan Chachas, dan biusan ayat-ayat cinta
Rabu, 15 Juli 2009
Euphoria Agustus
Dalam Laskar Pelangi, Andrea berkisah tentang bagaimana karnaval Agustusan menyisakan euphoria tersendiri bagi rakyat Belitong. SD PN Timah dengan marching band-nya, dan SD Muhammadiyah dengan Mahar sebagai Punggawanya, menampilkan tairan mistis yang menyihir juri dan menyengsarakan badan anak-anak miskin Belitong.
Bagiku, Agustusan berarti mengingat kembali momen paskibrakaku. Baik itu ketika aku masih menjadi Capas dan melihat para seniorku yang lolos jadi paskibraka sedang berlatih. Maupun ketika tiba giliran aku menjadi seorang paskibraka dan juga menjadi pelatih, tepatnya asisten pelatih.
Pada tahun 2006, ketika aku berpikir, aku menyadari bahwa sudah lebih dari 3 tahun aku menjalani Agustusku dengan agenda paskibraka di dalamnya. Entah itu sebagai orang penting maupun hanya sebagai senior yang datang untuk melihat, sebagai bukti kepeduliannya.
Dan, ketika karena suatu sebab yang tak bisa kujelaskan, aku tak bisa melihat teman-temanku para paskibraka beraksi, aku sering merasakan perasaan kehilangan yang begitu besar. Seperti halnya tarian mistik Mahar, agenda paskibra yang formal sering membuatku merasa kehilangan. Merasa tersihir, dan aku gatal-gatal.
Aku harus menemukan cara untuk menyembuhkan gatal-gatal itu, dan kupikir, jika aku tak bisa berdiri langsung selamanya di sana, aku harus menemukan cara lain hingga aku bisa memberikan sumbangsih yang nyata bagi paskibra, paskibraka, dan PPI.
Aku memutuskan untuk menulis. Dan here it is, setelah bertahun-tahun berjuang, novel Hubby La Vita Nova selesai. Perjuangan menerbitkannya memang sulit, terlebih karena aku mengambil keputusan untuk menerbitkan sendiri.
Tapi setiap langkah yang kuambil, setiap tindakan yang aku lakukan, insyaAllah membawaku semakin dekat pada mimpiku itu.
Jika tidak ada aral-melintang, novel ini ingin aku terbitkan tepat tanggal 17 Agustus.
Jika versi cetaknya belum cukup siap, biarlah versi e-booknya yang keluar lebih dulu....
Sabtu, 11 Juli 2009
Paskibra
Sampai, terjadi konflik di PPI dan PKC, dan itu membuatku memutuskan untuk menuliskan kegelisahan hatiku akan kondisi yang terjadi: senioritas yang mulai melenceng, absolutisme, dan perebutan kekuasaan dimana junior-junior yang jadi korban.
Aku menulis beberapa judul, dan teman satu korps pelatih Muda, dengan senang hati dan bersedia mengeluarkan uang sendiri, mendanai penyebaran essai-essai itu di kalangan anak-anak Paskibra. Tujuannya satu: menyadari chaos yang terjadi di PPI dan mengajak mereka berkontemplasi, merenung, meretrospeksi semua hal--termasuk absolutisme senior.
Tak ayal ini membuat mereka kebakaran jenggot, dan aku masuk dalam daftar hitam mereka. Tapi aku tak terlalu peduli karena ada senior lain yang mendukung penuh usahaku. Ada orang yang siap melindungiku.
Dan kehidupan terus berjalan.
Aku 'terpaksa' harus mengurangi intensitas keaktifanku di PPI dan PKC karena 'kontrak' dengan salah seorang kakakku, dimana aku berjanji tidak akan aktif di organisasi, dan sepenuhnya fokus membantunya mengurusi perusahaannya--sebagai karyawan biasa, tentu saja.
Kompensasinya, aku diberi gaji bulanan, fasilitas tinggal di rumahnya dan makan sesukanya, dan biaya kuliah--hanya untuk setahun pertama saja, karena sejak tahun kedua, aku kerja keras membiayai kuliahku sendiri.
Untuk mengobati rasa sakit hatiku karena tidak diizinkan mengikuti SPMB, mencoba meraba nasib untuk kuliah di universitas yang berkualitas, aku menulis memoar yang berisi tentang perjalananku selama SMA.
Lebih banyak berisi perjalanan kelas 3-ku, karena memori itu yang paling kuat dalam otakku. Memori kelas 1 dan 2, juga aku tulis, tapi dalam porsi yang kecil.
Disanalah, aku memasukkan paskibra sebagai sebuah latar tak terpisahkan dari kehidupan tokoh-tokoh dalam memoarku.
Saat menulis tentang bagian pemusatan latihan Paskibraka Jawa Barat, aku mendapat sebuah bisikan bahwa aku harus membuat bagian yang ini menjadi novel yang terpisah.
Dan selama 2 tahun, aku bersusah payah menyusun novel itu. Bongkar-pasang, tulis-hapus mewarnai perjalananku itu. Suatu kali pernah, aku sudah menulis sampai bab 9, dan semuanya hilang karena komputerku terkena virus.
Lalu aku merancang lagi draftnya, tokohnya, konfliknya, pesannya, judulnya... aku ragu-ragu memutuskan apakah cerita ini akan dibuat empat buku ataukah hanya satu buku: kisahnya memanjang melebihi yang kupikirkan sebelumnya. Seolah-olah kisah itu menceritakan dirinya sendiri kepadaku dan aku dituntutnya untuk menuliskan semua itu.
Novel pertama sudah selesai dan kini dalam tahap produksi. InsyaAllah bulan Agustus terbit, dan setelah itu, giliranku untuk memperkuat novel keduanya dan merangkai draft kasar novel ketiganya.
Benar-benar kerja keras bagiku, seluruh badanku kelelahan, tapi aku benar-benar menikmatinya.
Waktu berlalu seolah-olah aku baru saja mengedipkan mata.
Terima kasih, Tuhan.
Jumat, 10 Juli 2009
Gedung Sate
Novel pertama bercerita tentang kehidupan baru yang dijalani, Rafli, tokoh utama dalam novel ini, setelah ia menjalani pemusatan latihan paskibraka Jawa Barat.
Novel kedua, berisi aktualisasi jiwa kepemimpinan dan semangat kebersamaan untuk menghadapi setiap halangan, sesulit apapun halangan itu.
Novel ketiga, akan berbicara tentang spiritualisme. tentang meretrospeksi hidup dalam suatu perjalanan kontemplasi yang melibatkan rasa sakit, cinta, pemujaan, dan kerinduan tak terkatakan.
novel terakhir adalah kilasan perjalanan manusia dari satu masa ke masa lain, dalam satu aliran-hidup-yang berliku-liku, bak meander. dan disanalah ia, setelah mencermati dengan baik meander itu, akan berdiri di hamparan pasir, menatap keindahan sebagai akibat kekacauan: aurora.
Dalam novel pertama, sengajaku mengambil setting gasibu-gedung sate. Selain karena kedua tempat itu terasa begitu intim dan personal bagiku, juga karena kedua tempat itu menawarkan banyak hal kepadaku untukku pelajari.
Menuliskan semua itu berarti kegairahan tersendiri, tapi melakukan risetnya berarti menginjak senti demi senti tempat yang akan ditelanjangi tokoh-tokoh dalam novelku.
kemarin, aku berkunjung ke gedung sate.
Aku berjalan ke ruang pamer Gedung Sate yang berada di ruangan gelap dibawah menara gedung sate. Aku sengaja memasuki ruangan itu melewati susuran tangga dari kayu-cokelat-tua. 10 anak tangga, sepanjang 9 tangga. Ditambah satu susuran-tangga terakhir sebanyak 8 anak tangga.
Setelah 2 susuran-tangga pertama ada sebuah ruangan yang dikunci rapat, entah ruang apa itu.
Kau masuk dari ruang barat, jika menggunakan jalan yang kutempuh kini. Masuk ke ruang souvenir yang sama sekali tidak dijaga, aku memasuki ruang pamer.
Keseluruhan tekstur ruangan ini dipenuhi kayu berwarna cokelat-tua, di beberapa bagian tampak mengilap. Di bagian tengah ruangan ada 'punden-berundak' dari kayu yang berisi hasil-hasil kerajinan Jawa Barat yang seadanya, sama sekali tidak lengkap.
Di sepanjang dinding, terdapat galeri foto yang memperlihatkan segala macam hal tentang jawa Barat, termasuk di kedua sudut sebelah selatan yang memperlihatkan foto Jhon Berger, sang arsitek bangunan berkelas ini.
Melalui studi-buku, aku mendapati kekaguman banyak orang tentang gedung sate. Taman depannya, kontur bangunannya--aku bahkan sengaja seharian berjalan-jalan pelan di Gedung Sate hanya demi mengamati setiap senti dari bangunan ini: lantainya, tangganya, lukisan-lukisannya, lampu-lampu gantungnya, tiang-tiangnya.
Keindahann gedung sate adalah keindahan dari harmonisasi arsitektur barat dengan kearifan lokal. Lihatlah menara gedung sate yang bentuknya mirip pagoda di Thailand atau Puri di Bali. Belum lagi bentuk atapnya yang simetris, pintu sorong kacanya... semakin tua, semakin cantik pula bangunan ini.
Di menara, sengaja aku duduk diam sendirian di sebuah kursi. Aku menyerap segenap perasaan membuncah yang dialami tokohku kala masuk ke ruangan ini. Bisa kurasakan bagaimana perasaan bahagia dan kagumnya terhadap ruangan ini, gedung sate ini, terkontaminasi oleh cerita-memilukan tentang gadis yang disayanginya.
Ini akan membekas dalam benak tokohku itu, seperti halnya begitu membekas di benakku. Aku melihat ia--tokohku itu--berjalan mengelilingi ruangan ini, ragu-ragu mencoba teropong, lalu turun ke beranda menara, dan memandang arakan marching band yang sedang berlatih di areal parkir gedung sate.
Aku memastikan arah barat, utara, timur, dan selatan. Dan aku melihat langit-biru-pudar, awan-awan cirrus, dan aku bisa merasakan pedihnya tokohku yang lain untuk satu hal yang sama dengan dua persepsi yang berbeda.
Bagaimana, tangis karena penolakan cinta, yang secara surficial terlihat sama, ternyata mengandung kepedihan yang berbeda. Adalah si lelaki yang merasa tersinggung dan marah, dan si perempuan yang mengerti betapa ini semua tak bisa diterima: bahwa lelaki itu, kakak tirinya, malah mencintainya sebagai seorang gadis cantik, bukan sebagai seorang adik.
dan konklusi, kehidupan baru yang kujanjikan kepada tokoh-tokoh dalam novelku itu, aku simpan erat-erat dan kutuliskan di bab terakhir yang mengambil setting empat tahun kemudian, dan akan menjadi awal cerita novel ketiga dan keempat. Karena untuk novel yang kedua, akan kupaksa si tokoh utama duduk lagi di susuran-tangga di sekolahnya, hanya demi mengenang kembali masa-masa 3 tahun silam....
Darisanalah perjalanan itu dimulai.....
Jumat, 26 Juni 2009
Han Xin Strategy
Saya mencoba teknik itu, dan sepenuhnya yakin, bahwa hukum tarik-menarik ini memang ada. Kita bisa saja membayangkan untuk meraih "A", harus melalui "B", dan "C", sehingga saat semesta 'mengarahkan' kita ke "D" kita lantas frustasi. Padahal, bisa jadi "D" adalah jalan alternatif yang lebih cepat untuk sampai ke "A", sekali lagi asal kita yakin.
Saya membuktikannya.
Waktu itu, saya janjian dengan Sofi untuk nonton Laskar Pelangi. Saya memvisualisasikan event itu dalam benak saya, hingga seluruh sel dalam tubuh saya dapat merasakan perjalanan itu, serunya saat nanti ketemu Sofi di Bogor dan nonton Laskar Pelangi. Agar semuanya lancar, saya memastikan jam 8 harus sudah berangkat.
Tapi pukul 8, ada mobil kayu datang ke toko dimana saya bekerja. Dan sampai jam 11, saya tidak bisa izin keluar karena harus nunggu selesai bongkar kayu. Sekalipun kakak ipar saya adalah pemilik toko itu, tapi mindsetnya tetap layaknya seorang enterpreneur, saya dididik untuk mau mengorbankan waktu dan tenaga.
Saya kecewa, pada awalnya. Tapi saya berusaha mengubah mindset dan yakin bahwa mungkin ini adalah jalan lain yang lebih praktis dan cepat agar tujuan yang saya visualisasikan tercapai. Alhasil, jam 11 saya cabut. Dan begitu sampai di jalan-raya, bus-AC yang saya visualisasikan datang, dan perjalanan pun tak terhambat macet. Semuanya lancar, sampai pakaian Sofi yang 'matching' dengan pakaian saya. Kecuali satu hal memang, yaitu Sofi ketiduran sehingga saya harus nunggu sekitar setengah jam. Well, tak apalah. Toh saya memanfaatkan waktu tunggu itu untuk shalat.
Kemudian, saya bertemu dengan quantum ikhlas-nya Erbe Sentanu yang 'mengislamkan' The Secretnya Rhonda Byrne. Quantum ikhlas lebih sejalan dengan keimanan saya sebagai seorang muslim, dan CD Brainwavenya membantu saya untuk bisa lebih ikhlas, terutama ikhlas pada kondisi sekarang, dan yakin bahwa apa yang kita inginkan bisa terwujud.
Tapi, kemudian, saya terjebak menjadi passive-person. Dimana saya menunggu 'alam semesta' menyediakan jalan sehingga saya bisa berjalan. Saya tahu ini bukan ikhlas. Ikhlas adalah menerima kondisi, lalu berikhtiar dengan keyakinan teguh bahwa kita hanya berkuasa pada proses dan hasil Tuhanlah yang menentukan. Rupa-rupanya dalam poin tawakkal ini saya terjebak hingga tak bisa terlalu mengaplikasikan teori Erbe Sentanu. Saya masih 'takut' gagal meraih mimpi. Tawakkal saya tercemar.
Lalu saya bertemu Mas J dalam The Power of Kepepet. Inilah tamparan bagi saya untuk mengubah posisi menjadi proaktif person, seperti memang dimaui kedua buku yang saya bahas sebelumnya (the secret dan quantum ikhlas). Teknik atau action yang diajarkannya mengingatkan saya pada strategi Han Xin dalam memenangkan perang. Dimana mereka mundur ke sungai, agar mereka hanya memiliki dua peluang: mundur dan mati di makan buaya, atau maju dan berpeluang memenangkan perang.
Mereka maju dan menang!
The power of kepepet ini yang terkejawantah dalam semangat MERDEKA ATAU MATI... HIDUP MULIA ATAU MATI SYAHID... dan semangat perang bubutan. Bahwa sukses adalah harga mati, bahwa impian kita sudah disiapkan Allah, dan kita harus mengambilnya, bahwa tujuan adalah posisi aman kita, jika tidak ingin mati sebagai no body.
Ini menjadi suntikan semangat bagi saya untuk merintis kembali semuanya. Intuisi itu saya percayai betul, dan aksi adalah poin fundamental dari ide-ide yang meletup-letup dalam benak saya.
Pertama-tama saya harus siap kalah. Harus siap gagal.
Kedua, saya harus siap menang.
Ketiga, apapun hasilnya, yang penting prosesnya.
Lahaula... bismillahi tawakkaltu 'alalloh...
Kamis, 11 Juni 2009
Tuhan Itu Maha Baik
Sebaliknya, kejatuhan dan kegagalan itu adalah cara Tuhan agar kita bisa mendapatkan segala sesuatu sesuai (bahkan lebih indah) daripada yang kita inginkan.
Kesuksesan paling berkesan, adalah kesuksesan yang penuh dengan semangat perjuangan.
Kadangkala, kegagalan itu juga merupakan cara Tuhan mempersiapkan kita meraih kesuksesan. Setiap orang mungkin merasa dirinya siap untuk sukses, tapi Tuhan Tahu bawa tidak semua dari kita siap menghadapi semua konsekuensi dari kesuksesan yang kita raih. Dengan kegagalan itu, Tuhan melatih dan mempersiapkan kita.
Saya selalu yakin, bahwa Allah menjamin kesuksesan dan keberhasilan kita, yang karenanya Dia mengatakan bahwa kewajiban kita manusia adalah ikhtiar, doa, dan tawakkal. Itu saja. Jangan stres oleh hasil yang ingin dipakai. Yakini saja hasil itu, fokus pada ikhtiar, maksimalkan kualitas doa, dan sisanya serahkan pada Allah.
Kunci penggerak utama semesta adalah ikhlas, dan tawakkal adalah kerangka ikhlas yang sesungguhnya.
Salam....
Jumat, 01 Mei 2009
Karma
Bertahun-tahun yang lalu, di sebuah keluarga, ada seorang pembantu perempuan yang begitu disayangi, sampai dianggap sebagai bagian dari keluarga sendiri. Ia bertugas mengasuh anak cikal dari keluarga tersebut yang saat itu masih kelas 1 SD. Di sebuah SD islam yang terkenal.
Pembantu itu, anggap saja, namanya Alen. Atau Al, sudah bekerja lebih dari setahun di rumah itu. Dan tak pernah ada skandal apapun. Kerjanya nyaris tanpa cela. Mulai dari cara dia mengasuh Si Anak Cikal, sampai kebersihan lantai dan makanan yang dia buat. Semuanya sempurna. She do the best and give the best.
Ada tiga orang pembantu di keluarga itu, masing-masing dengan tugas yang berbeda. Al yang bertugas mengurus anak cikal, De yang mengurus anak kedua, dan Ti yang bertugas memasak. Walau begitu, mereka mengerjakan tugas itu dengan fleksibel, saling membantu, dan jarang sekali terjadi konflik.
Sampai suatu ketika, entah bagaimana, tapi muncul gelagat yang aneh dari si Al ini. Setelah Sang Nyonya rumah melakukan beberapa kali 'pengamatan', sadarlah ia bahwa si Al sedang 'melet' suaminya.
Di kamarnya, ia menemukan 'buku harian' Al yang bertulisan, "Semua lelaki yang kini dekat denganku hanyalah boneka. Tujuanku bukanlah mereka, tapi "dia", sayangnya ada penghalang, tapi aku akan mengenyahkannya."
Nyonya-rumah yang pikirannya sudah dipenuhi prasangka bahwa Al menyukai suaminya langsung kalap. Ia langsung saja melakukan sidak, dan sore harinya, ia mengusir Al keluar rumah.
Besoknya, sopir disuruh mengantarkan Al pulang ke rumah.
Dan lama kemudian tak ada kabar.
Tapi di rumah itu beredar spekulasi-spekulasi. Diantaranya: tingkah Al karena pengaruh sihir yang 'dikirmkan' oleh mertua-perempuan Nyonya-rumah, yang benci ke si Nyonya-rumah, karena takut harta kekayaan keluarga itu akan jatuh ke anak-anak si Nyonya-rumah.
Di sisi lain, sang suami tak percaya sihir, dan karenanya Nyonya-rumah tak berani membicarakannya. Ia memendam sendiri kemarahannya itu, kebenciannya itu, sampai....
bertahun-tahun kemudian, Al dengan nama samaran mengirimiku sms. Aku tahu perkara itu, dan mungkin lebih tahu daripada Al sendiri. Al menceritakan bahwa ia dipaksa putus dengan pacarnya dan dinikahkan paksa dengan orang Jakarta. Menurut Al, sampai sekarang dia belum bisa melayani suaminya.
Mau tak mau saya berpikir, mungkinkah ini karma atas ulah Al bertahun-tahun yang lalu? Tuhan Tahu Tapi Menunggu....
Gila
“Hore! Hore! Hore!” Seru sebagian
Mereka pun berjalan kea rah halaman rumah sakit. Di
Seorang memegang balon berbentuk bebek, kemudian loncat dengan
Sang dokter melihat itu dengan mata kagum dan bahagia, seperti seorang ibu melihat anak-anaknya bermain. Tapi matanya tercekat ketika di salah satu sisi kolam, seorang pasien pria hanya duduk termangu tak bersemangat. Dari sorot matanya bahkan terlihat menyepelekan, menghina pada apa yang dilakukan teman-temannya sebangsa
Sang dokter lebih kagum dan bahagia lagi melihat hal itu. Akhirnya! Serunya dalam hati, girang. Terimakasih Tuhan! Dia menengadah langit, mengatupkan tanga, bersyukur atas anugerah itu.
Sudah 57 tahun 4 bulan 3 hari 2 jam kariernya sebagai dokter rumah sakit jiwa (atau psikiater), dan ini adalah keberhasilan perdananya. Seorang pasien sembuh! Ini bahkan lebih fantastic daripada saat Torres menjadikan Spanyol juara piala Eropa setelah puluhan tahun hanya bisa memandanginya.
Ia tak mau kehilangan momen. Ia harus bergegas. Ia berlari kea rah si pasien tersebut, sambil tak sabar untuk merecokinya dengan ucapan selamat dan pertanyaan-pertanyaan standar seperti, “Siapa suami Dewi Perssik?” Lho? Rupanya sang psikiater ini korban infotainment.
Ia berdiri beberapa senti dari si pasien. Jantungnya dagdigdug tak karuan menanggungkan momen paling agung selama hidupnya. Oh Tuhan, nyatakah ini semuah? Oh, terimakasih… jerit hatinya, sendu dan parau.
“Mas,” ujar si psikiater kepada si (mantan) pasien gila itu. Si pasien melirik kea rah si psikiater dengan pandangan melecehkan juga. Siapa sih? Begitu artinya.
Sang dokter bahagia. Ini respon positif. Tidak mudah memahami realita bagi
“Uhm,” dia berdehem. “Kenapa nggak ikut renang, Mas?” Sang psikiater mencoba bijak. Ia cengangas-cengenges seperti sedang iklan pasta gigi, sambil mengatur nafas, menunggu moment paling agung itu.
Tapi si pasien hanya memandangi sang psikiater dengan sorot mata kosong. Mulutnya diam seribu bahasa. Tapi kemudian tangan
Sang psikiater mulai tersenyum lebar. Ya, ya, katakana padaku, katakana bahwa yang mereka lakukan itu gila, ayo katakana. Ujar hatinya. Kini ia kembali memandang sang psikiater dan dengan telunjuk masih tetap menunjuk kea rah kolam renang, ia berkata, “Airnya dingin.”
Ia lalu berbalik, menekuk lutut lalu memeluknya, dan dengan keras menggermutukkan giginya. Kedinginan.
Kacamata... Oh No, I Blind!
Survei membuktikan banyak
Walaun lensa kontak mulai ngetren waktu itu, toh fenomena kacamata masih megang di rating tertinggi mengalahkan Tersanjung dan Cinta Fitri 3. Data didapatkan dari
Aku baru pulang naik haji saat itu. Usiaku menjelang 15 tahun.
Sebenarnya, sewaktu
Aku membeli satu untuk ibuku. Kacamata itu bisa dilipat. Aku begitu senang setelah membelinya dan beberapa kali aku mencobanya. Tapi… selalu tidak cocok.
Saat aku kembali mengunjungi satu lapak penjual kacamata, dan mencoba beberapa (bahkan memaksakan diri untuk mencoba kacamata yang lensanya
Wow, nggak matching euy!
Akhirnya, aku memutuskan tidak membeli kacamata.
Dan, saat kembali ke Tanah Air tercintah, hasrat memiliki kacamata itu datang lagi. Aku mengeluh pada ayahku bahwa mataku perih saat membaca. “Mungkin sudah saatnya aku pake kacamata,” ujarku menutup pidato promosiku kepada ayahku.
Akhirnya, aku dibawa ke dokter mata. Pak Agam Gambiro. Di
Tapi karena aku seorang bocah yang baik, aku jujur saja membaca huruf-huruf itu. Dan hasilnya, “Mata Adek baik-baik saja. Rasa perih saat baca itu Cuma iritasi.
Aku pulang dengan nelangsa karena mimpiku akan memakai kacamata runtuh oleh hasil analisa dokter
Tapi, setelah seminggu setelah masa obat tetes itu habis, aku merasa pusing tiap kali membaca terlalu banyak. Aku mengadukan ini kepada ayahku, dan akhirnya, aku dikirim ke dokter mata di
Konon, menurut keterangan yang diterima hingga saat ini, dokter tersebut adalah salah satu dokter mata terbaik di
Dan akhirnya aku diperiksa, dan dokter itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Setelah selesai, dokter itu berkata, “Mata Adek baik-baik saja. Hanya kena kotoran.
“Apa perlu pake kacamata, dok?” Tanya kakakku yang mengantarku ke dokter tersebut.
“Ah, tidak
Untuk kedua kalinya, aku pulang dengan kekalahan. Aku menarik kakiku dan mencoba menguat-nguatkannya karena mimpiku kini hancur berkeping-keping dilanda tsunami.
Tapi aku adalah anak yang baik, seperti yang kalian semua tahu. Aku setia menggunakan obat tetes dari professor itu. Dan di suatu malam, saat aku tertidur setelah sebelumnya menggunakan obat tetes mata itu, aku terbangun dan kaget karena aku tak bisa melihat apapun! APAPUN!
Semuanya
Aku membelalak-belalakkan mataku dan semuanya tetap
Tidak. Aku tidak mau menjadi buta. Aku tidak mau… AKU TIDAK MAU BUTA…!
Aku hamper menangis saat aku mencoba meraih gorden untuk meraih ke luar jendela—siapa tahu aku bisa melihat pemandangan di luar—tapi semuanya
Jam berapa ini? Di mana aku ini? Ya Tuhan… aku baru 15 tahun… aku membatin. Aku berteriak-teriak memanggil ibuku, juga kakak-kakakku, yang segera saja memegangiku sambil berkata, “Aya naon, Fan? Aya naon, Fan?”
“Ari ieu jam sabaraha? Ari ieu dimana?
…tepat pada saat itu lampu menyala.
“Alhamdulillah,” ujar ibuku. “Ti jam 10, lampu teh pareum.”
Rice...Yes... I Want RIce
Kami punya kebiasaan menyisihkan uang jajan selama bulan Ramadhan, untuk dibuka dan dibagikan kembali di detik-detik terakhir menjelang lebaran. Biasanya, kami akan pergi bersama ke suatu tempat makan di Cianjur untuk buka bersama. Atau, bila tidak diizinkan, pada hari lebarannya (atau hari kedua lebaran, jika pada hari pertama, kami harus berkeliling kampong, dari rumah ke rumah, bersilaturahmi) kami akan pergi ke Toserba Selamat untuk main Timezone.
Pada bulan Ramadhan saat itu, usiaku sekitar 12 atau 13 tahun, dan sudah masuk SMP. Seperti biasa, mereka semua, teman-teman bermainku di kampong, mempercayakan uang mereka untuk disimpan padaku. Dengan kata lain, aku adalah bank yang kredibilitasnya tidak perlu diragukan, yang walaupun tidak memberi bunga sebagai kompensasi kegiatan menabung mereka, tapi toh aku tidak melakukan pemotongan tabungan untuk biaya-penjagaan.
Seringkali memang aku dibuat repot oleh kegiatan itu, walaupun harus aku akui, ini lucu dan menyenangkan juga. Biasanya, sehabis maghrib, setelah
Nah, pada saat tanggal 30 Ramadhan tiba, aku membagikan semua tabungan mereka. Luar biasa senangnya kami, karena uang seribu-dua ribu yang kami sisihkan tiap hari itu, kini jadi nominal yang besar dan bisa kami pakai ‘bersenang-senang’ di hari lebaran.
“Kita ke toserba lagi, yuk.” Ujar salah seorang.
“Ah, bosen.”
“Eh, teu nyaoheun. Aya CFC siateh! Anyar dibuka.”
Dan mereka terlibat dalam perdebatan yang seru. Aku memerhatikannya dengan tersenyum, dan akhirnya diperoleh kesepakatan: kami akan makan bersama di CFC yang belum genap 1 bulan buka di Cianjur.
Kami berangkat bersama, mengenakan pakaian lebaran masing-masing ke lokasi, pada hari yang bersejarah itu. Kami duduk diam selama dalam perjalanan. Rupanya, kami semua tegang karena sebentar lagi akan makan di tempat yang biasanya hanya kami lihat di iklan-iklan di televise—dimana salah seorang pengunjung membeli burger atau paket-paket yang tidak kami pahami.
Sesampainya di
Di pintu masuk, kami terlibat sedikit perdebatan di antara kami sendiri.
“Kamu dulu yang masuk.”
“Nggak. Kamu dulu.”
Seperti biasa, aku lah yang dikorbankan. Aku harus berjalan paling depan, dengan alasan yang mereka buat-buat: (1) aku paling tinggi, (2) aku paling fasih bahasa Inggris, (3) aku paling bisa berkomunikasi dengan ‘dunia luar’.
Mendekati counter dengan beberapa pramusaji yang cantik dan ramah, aku dilanda nervouse. Aku membaca papan di belakang pramusaji yang menyajikan data makanan dan minuman yang disediakan di sini—dan semuanya dalam bahasa Inggris! Untuk mempertahankan harga diriku di depan teman-temanku, aku berkata dengan sok calm.
“Kalian mau pesan apa?”
Tapi mereka malah pucat. Mereka saling memandang, dan berpura-pura tidak tegang—bersikap seolah mereka sudah biasa berada di lingkungan seperti ini.
“Gimana kamu aja, Fan.”
Sialan.
Justru itu aku nanya, aku juga bingung, ujarku dalam hati. Dengan semangat sok-karismatik, aku berkata, “Oh, sebentar. Aku lihat-lihat menunya dulu.”
Aku membaca satu per satu makanan di papan itu. Salah seorang temanku yang kondisi ekonominya paling tinggi diantara kami menunjuk ke papan dan meminta kepadaku agar memesankannya sejenis soup. Corn-soup. Aku mengangguk, dan kupikir, aku juga mau nyoba soup itu.
“Sini, mana uang kalian.”
Dan mereka menyetor uang mereka kepadaku. Sebetulnya, tidak benar-benar penting karena aku hanya mengulur-ulur waktu sambil mencari alternative menu yang bisa kami pesan dengan mudah. Kenapa tidak ada program paket-paketan kayak di iklan sih? Aku membatin.
Dan saat aku berbalik, seorang pramusaji yang cantik itu berkata ramah kepadaku. “Mau pesen apa, Dek?”
“Oh, umm. Oh, umm.” Aku bingung. Karena semua nama makanan di papan itu dalam bahasa Inggris, tentulah aku harus memesan dalam bahasa Inggris pula. Itulah kenapa aku disuruh jadi mediator, aku yang paling jago bahasa Inggris di sini.
Sebentar, apa bahasa Inggrisnya, nasi? Hmm, aha! Rice, yes, rice. “Mau pesen, rice, yes, rice.”
“Oh, nasi.”
“Yes, rice.” Aku keukeuh menggunakan bahasa Inggris.
“Berapa?”
Aku menghitung jumlah temanku, dan kubilang, “Enam.” Untuk menjawab ini aku sengaja tak memakai bahasa Inggris. Mau tahu kenapa? Aku ini tipikal
“Sama apa lagi?”
“Chest 3,” aku mencari-cari bahasa Inggris paha, tapi otakku nge-blank. Aku berbalik menghadap teman-temanku, berpura-pura mau menanyakan apa yang mau mereka pesan—karena terlampau gugup oleh tatapan si pramusaji—tapi, saat aku berbalik semua temanku tidak ada.
Aku mesti berjingkat dan mengedarkan pandangan, sebelum aku lihat mereka tersenyum tanpa dosa dan melambaikan tangan kepadaku, sambil duduk di salah satu bangku di ujung ruangan.
Aku membalas senyuman mereka dengan putus asa.
Benar-benar anak udik semua.
“Dada 3, sama apa lagi?”
Akhirnya, aku menyerah.
“Paha, 2. Wing 1.”
“Paha 2, sayap 1,” si pramusaji mengulangi.
Aku juga memesan corn-soup yang dipesan salah seorang temanku tadi. Tujuannya jelas: ingin terlihat lebih saja daripada yang lain—seolah-olah aku ini sudah terbiasa dengan kondisi seperti tadi.
Setelah semuanya siap, aku memanggil mereka untuk membantuku membawa baki yang berisi makanan yang telah kami pesan, lengkap dengan minumannya, tentu saja.
Dan, luar biasa, aku masih bisa mempertahankan kesan sok-karismatikku di hadapan mereka. Dan mereka masih bisa tetap menganggapku demikian. Aneh, dunia memang aneh.
Kami makan dengan tertib.
“Enak nggak, Fan, soupnya?” Tanya salah seorang temanku yang lain.
Aku belum mencicipinya sejak tadi. Aku memandang kea rah soup dan hatiku berdebar-debar mengantisipasi segala kemungkinan rasa yang akan aku temukan—seperti apa
Aku menyeruputnya, dan…
“Gimana?”
“Enak. Enak.” Aku mengangguk-angguk. Mencoba berpromosi. Jadi ingat iklan salah satu produk mie, yang pada saat itu belum ada: soal kata, lidah bisa bohong, soal rasa, lidah nggak bisa bohong.
“Sini coba,” ujarnya penuh semangat.
Saat dia mencoba, ia langsung menggernyitkan kening, lalu menertawaiku karena memesan makanan yang tidak enak atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan lidah kami yang cocoknya makan ulen dan obrek. Aku membatin dalam hati, betapa soknya anak ini menertawaiku, padahal dia sendiri nggak ada nyali. Dasar. Dasar kau.
Tadinya ingin aku kutuk dia, tapi karena masih dalam semangat lebaran, akhirnya aku ikhlas memaafkan dia. Temanku yang kaya mah, nggak terpengaruh, ia tetep aja makan, dan saat ia bilang enak, yang lain pun tak ada yang berkomentar—mungkin memaklumi lidah-kayanya itu. Ah, begitulah.
Setelah selesai makan dan tak lupa berdoa dan mengucap syukur kami pun berdiri dan membasuh tangan di wastafel di restoran ini, lalu berjalan keluar dari toko ini. Kecuali si anak yang menertawaiku tadi yang masih sibuk cuci tangan.
Kami sedang asyik ngobrol di pelataran parker, ketika aku
***
Intinya?
Jadilah diri sendiri. Walaupun klasik dan klise, tapi pengalaman membuktikan, kata-kata itu lebih dari sekedar ampuh dan mujarab. Dan tentu saja, lebih mudah untuk mengatakan atau menulis itu—yang karenanya aku memilih melakukannya, hehehe.
Sekarang sih, ya, ikutin aja beberapa clue di sini untuk menjadi diri sendiri. Oke?
1. Kenali sifat, sikap, dan karakter kita. Karakter adalah diri kita dalam kegelapan. Artinya, sesuatu tak kasat mata yang
2. Kenali kelebihan dan kelemahanmu. Seperti motto samurai, siapa yang tidak bisa mengendalikan kelemahannya, akan dikuasai oleh musuhnya.
3. Melihat dunia yang terus berubah, kita memang juga harus berubah. Tapi, berubah di sini harus seperti air yang berpindah wadah. Dia tetap air, hanya bentuknya saja yang berubah. Jadi,
4. Hindari copycat. Dalam mencari jati diri, kita memang cenderung belajar dan mencari dengan cara meniru
Adzan
Aku tahu aku punya bakat menyanyi. Paling tidak, walaupun suaraku tak bagus-bagus amat, aku sadar nada. Aku terbiasa melakukan improvisasi nada yang terkadang nyeleneh namun tidak false. Tapi itu tetap saja tak membuatku berani untuk adzan.
Walaupun pada saat kecil, adzan pernah ‘mewabah’ di kalangan teman-teman sebayaku, toh itu tak membuatku berani untuk adzan. Herdilan, misalnya, dia yang suaranya bagus, malah ikut lomba adzan dan dapet juara 2. Di setiap waktu shalat, teman-temanku selalu menunggu dan berebutan untuk adzan. Malah, kadang, mereka duet saat adzan.
Tapi aku selalu sebagai tokoh ketiga di luar cerita. Semacam penonton bagi pertunjukkan itu. Hingga… aku pindah ke rumah kakakku di Ciranjang.
Suatu ketika, saat aku sedang I’tikaf di mesjid sampai isya’, dan waktu isya tiba, tak ada seorangpun yang (mau) adzan. Muadzin yang biasa adzan belum datang. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk adzan dengan alasan (1) kalaupun jelek, tak ada seorangpun yang mengenalku yang tahu, (2) tidak ada salahnya mencoba, (3) fiuuuh….
Akhirnya, aku adzan… dan… untuk pengalaman pertama, well, cukuplah, lumayan. Aku meniru ragam adzan Arab walaupun tidak terlalu bagus, ditambah dengan timbre suaraku yang bass dan tidak ‘cempreng’.
Tapi pengalaman pertama itu membuatku yakin bahwa aku bisa adzan. Bahwa adzan tidaklah sesulit yang aku bayangkan. Dan begitulah, di hari-hari berikutnya, jika si muadzin tidak ada, aku adzan.
Sampai suatu ketika, keponakanku yang masih kelas 3 SD ikut I’tikaf di mesjid. Saat waktu isya tiba, aku kembali didaulat untuk adzan. Keponakanku itu tertawa-tawa. Ia tidak tahu bahwa aku bisa adzan.
Kini aku tidak terlalu gugup lagi saat adzan. Aku bahkan sudah bisa mengatur saat-saat yang tepat untuk mengambil dan mengeluarkan nafas, serta mengimprove nada-nada saat adzan, tanpa melanggar amanah suci yang tertuang di dalamnya.
Saat selesai adzan, aku berbalik dari dekat mimbar, dan ketika melihat keponakanku, ia bertepuk tangan sambil tersenyum.
Bagus.
Lalu, ia menyuruhku menunduk agar ia bisa membisikkan sesuatu kepadaku. Dan aku menunduk, ia mendekatkan mulutnya ke telingaku, dan kemudian berbisik, “Mang, suara Amang mirip dangdut.”