Bagiku, ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, maka ia dihadapkan pada tiga sikap: menyalahkan Tuhan, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan diri sendiri.
Anggap saja kamu mendapatkan suatu masalah tertentu, maka, biasanya ada orang yang berkata seperti ini, “Ya Allah, perasaan aku ibadah terus kepada-Mu. Perasaan aku baik deh. Tapi kenapa kok aku dikasih masalah kayak begini!”
Sinyal kuat: menyalahkan Tuhan.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara dia. Coba kalau dia nggak datang telat, pasti kita udah, bla, bla, bla, bla. Dasar orang nggak tahu diuntung. Jadi aja semuanya kena masalah.”
Wow, sinyal kuat: menyalahkan orang lain.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara aku. Seharusnya aku tidak meminjaminya buku itu. Seharusnya aku mencegahnya. Seharusnya aku bersikap lebih baik.”
Hmm, sinyal kuat: menyalahkan diri sendiri.
Potensi perbaikan: positif!
Mari kita lakukan analisa kecil-kecilan: ketika kita menyalahkan Tuhan, kita memancarkan gelombang negatif, sehingga justru akan mendatangkan hal-hal negatif yang lain. Sebenarnya, Tuhan telah menciptakan sistem kerja alam semesta yang demikian agung dan seimbangnya, kitalah sendiri yang dungu dalam menggunakannya. Tambah dungu lagi kalau menyalahkan-Nya.
Bagaimana dengan menyalahkan orang lain?
Ha!
Menyalahkan orang lain tidak akan pernah membantu menyelesaikan masalah. Jika dosen-dosen dan mahasiswa bergelut dalam sikap menyalahkan orang lain (dalam hal ini pemerintah) tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki negeri ini, maka semua omongannya yang membusa tidak akan mengubah apa-apa. Ketika kita saling menyalahkan dan tidak mau introspeksi, biasanya yang mengambil alih diri kita adalah nafsu kita, dan hati kita tenggelam, redup, nyaris mati!
Suatu ketika, persahabatan yang dijalin oleh tiga orang perempuan mengalami benturan. Si A dan si B merasa si C adalah orang yang tinggi hati, sombong, sok kaya, dan bullshit abeez (yup, with doble “e” and “z”). Si A dan si B ini berkomplot untuk mengeluarkan si C dari gengnya tersebut. Kepada siapapun yang mau mendengarkan, secara tidak langsung, si A dan si B, menyalahkan si C untuk banyak hal yang terjadi kepada mereka bertiga.
Di sisi lain, si C, yang rupanya, bukan seorang yang introspektif, juga menyalahkan si A dan si B yang nggak bener, mau menang sendiri, kalau ngomong suka nyakitin hati orang, munafik, dan lain sebagainya.
Akibat sikap saling menyalahkan itu, jangankan mendapatkan kemungkinan untuk menemukan titik temu agar permasalahan selesai dan silaturahmi kembali terjalin. Yang ada malah dendam tersembunyi, suatu perasaan terdzalimi dalam hati masing-masing yang tak berujung. Kacau.
Apa jadinya jika mereka mengambil sikap menyalahkan diri sendiri?
Si A dan si B mungkin akan lebih toleran terhadap sikap si C dengan menyadari bahwa mereka pun bukan tipikal sahabat yang sempurna. Bahwa si C pun bukanlah dan tidak mungkin bisa menjadi sempurna. Tapi mereka, dengan kearifan masing-masing, jika mau menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin, bisa membuat persahabatan yang sempurna.
Si C juga akan introspeksi terhadap kesalahannya. Akan lebih toleran dan mau menerima sikap si A dan si B. Bahkan, dia bisa saja, malah meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat masalah itu terjadi. Jika, semuanya ditanggapi dengan hati lapang dan jauh dari emosi negatif dan kemarahan yang kotor, maka, suatu jalin persahabatan yang lebih kokoh dan lebih tulus insya Allah akan terjalin.
Ilustrasinya seperti ini: ketika kita menyalahkan orang lain, maka kita seolah ‘menyerahkan’ penyelesaian masalah tersebut kepada orang lain, sehingga kita hanya menunggu orang lain menyelesaikan masalah kita. Menunggu, kawan. Hanya menunggu! Seperti menunggu tangga yang kamu injak menjadi escalator yang bisa berjalan sendiri dan mengantarkanmu ke penyelesaian masalah—uuh! Kapan?
Tapi jika kita menyalahkan diri sendiri, itu artinya, kita mengambil tindakan yang sangat krusial. Kita tidak menyerahkan diri kita untuk menunggu tangga yang kita injak itu menjadi escalator, tapi kita menaiki sendiri tangga itu, sehingga kita bisa mengefisienkan waktu, karena kita melakukan aksi! Bukan menjadi reaksi!
Apa itu artinya menyalahkan diri sendiri adalah sikap terbaik?
Tidak juga. Selama sikap ini masih dalam kadar yang wajar, dalam artian sikap menyalahkan diri sendiri ini melahirkan efek introspeksi yang bagus, membuat kita sadar untuk memperbaiki diri dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan masalah kita, maka sikap ini adalah sikap yang baik.
Tapi jika sikap ini sudah melampaui batas yang wajar, dalam artian, malah membuat kita menjadi paranoid dan jadi terlalu menyalahkan diri sendiri sehingga merasa depresi dan frustasi karena merasa diri selalu berbuat salah dan tidak pernah mampu berbuat baik, maka sikap ini juga jadi salah dan tidak baik.
Artinya?
Yah, kalau menurutku sih, segala sesuatunya memang harus seimbang dan tidak berlebihan. Jadi, pandai-pandailah membaca diri dan gejala dari kedua jenis sikap menyalahkan diri sendiri tersebut di atas. Demikian. Terimakasih. Chayo. Hehe.
Tanpa Secangkir Kopi (Sebuah Catatan Ringan Tentang Kehidupan)
Let's Share!
Sabtu, 02 Oktober 2010
Berpikir Kreatif
Tekadku sudah bulat.
Aku hanya akan mengikuti pelatihan ini sampai materi kedua selesai, atau dengan kata lain, sampai waktu istirahat shalat tiba. Lagipula, aku harus bergegas ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam, yang telah melewati batas akhir pengembalian.
Dan materi keduapun selesai. Aku sampai berpikir ingin mengajak pemateri itu menulis buku, karena materi yang dibawakannya cukup menarik, dan memiliki cakrawala pandang yang luas. Well, aku berjalan ke belakang, duduk dengan beberapa teman, sambil mencari momen yang tepat untuk keluar dari ruangan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada panitia pelatihan.
Tapi rupanya pemateri ketiga berkata lain.
Di luar hujan deras dan panitia mencoba bernegosiasi dengan pemateri agar berkenan menunggu barang 20 menit agar peserta bisa shalat dzuhur. Pak Pemateri berkata, “Kasih opsi saja pada peserta. Mereka mau istirahat dulu untuk shalat, ataukah saya ngasih materi dulu, nggak akan lama, paling sampai 40 atau 45 menit, sambil menunggu hujan reda.”
Walaupun voting yang dilakukan berakhir dengan hasil untuk istirahat terlebih dahulu, tapi rupanya, Pak Pemateri berkehendak lain. Ia berjalan ke depan ruangan dan dengan menggunakan otoritasnya sebagai salah seorang dosen di kampusku, ia berkata, “Baiklah, saya minta izin sekitar 25 menit untuk memberikan materi—saya ada urusan penting setelah ini. Saya harap kalian maklum.”
Ia mempersingkat jangka waktu pemberian materi sampai hanya 25 menit. Akhirnya, mau tidak mau, kami pun setuju. Hallow, apakah aku terlalu bertele-tele? Baiklah, apa kaitannya dengan buku ini?
Kawan, Pak Pemateri itu memberikan uraian tentang berpikir kreatif.
Trus?
Beliau membagikan hand out materi kepada setiap peserta, dan sambil mendengarkan, aku membaca hand out tersebut sambil kesal karena rencanaku ke perpustakaan daerah terhambat karena keegoisan Pak Pemateri ini.
Aku membuka halaman kedua dengan malas, lalu… “AHA! Tidak, tidak mungkin. Tapi, oh, great! Haha. Yes!” Hatiku bahagia tak terkira. Mendadak rasa kesalku berubah menjadi rasa syukur karena di sana, di halaman kedua hand out tersebut, aku menemukan satu bagian yang menjelaskan urutan tahapan berpikir kreatif itu, lalu menyadari satu hal… apa yang tertulis di sana, sesuai dengan buku ini—buku yang sedang kukerjakan!
Oke, oke, langsung ke intinya—I got it, I got it. Thank you.
Jadi, kita bisa menyelesaikan masalah kita, dengan menggunakan cara berpikir yang kreatif, sehingga menghasilkan solusi yang kreatif, yang fresh, yang baru, yang mudah-mudahan bisa membuat masalah kita bisa lebih cepat dan mudah teratasi tanpa menghasilkan efek domino yang parah.
Apa saja tahapan itu? Inilah dia….
1. Orientasi : rumuskan dan identifikasi masalah kita. Aku pikir, aku sudah menjelaskan banyak tentang ini, jadi bagaimana kalau aku langsung saja menginjak ke poin 2? Baiklah, terima kasih….
2. Preparasi : kumpulkan semua informasi yang berkenaan dengan masalah kita. Untuk memperjelas masalah, agar bisa diuraikan sehingga bisa terlihat mana akar masalahnya; bisa melihat sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan lain sebagainya yang penting untuk mencari alternatif terbaik dari masalah tersebut.
3. Inkubasi : terkadang kita menemui hambatan dan jalan buntu, sehingga titik terang dari masalah itu, tak kunjung terlihat. Kita berusaha terus mencari solusi, dan pada satu titik, kita merasa otak kita sudah demikian ‘panas’ hingga rasanya mau ‘pecah’. Di sinilah, kamu perlu mengambil waktu untuk ‘mengistirahatkan’ otakmu. Lalu, bagaimana dengan masalah kita kalau tidak cepat diselesaikan? Tenang. Sewaktu otak sadarmu beristirahat, problem solving process masih terus berjalan di otak bawah sadarmu, sampai….
4. Iluminasi : “Eureka!” kamu mendapatkan pencerahan, solusi kreatif, insight, yang terang-benderang, yang mengurai simpul rumit dari jerat masalah yang kamu hadapi. Maka jangan heran, bila tiba-tiba pada saat sedang ‘pup’, kamu mendapatkan solusi kreatif dari masalah yang sedang kamu hadapi—itu artinya, kamu sedang mengalami proses iluminasi. Saranku hanya satu: jangan lupa bersih-bersih dulu dan pakai celana sebelum kamu keluar dari kamar mandi, oke?
5. Verifikasi : Hmm, well, tidak selalu hasil dari proses iluminasi itu benar secara sempurna. Sehingga, kita masih tetap harus melakukan pengujian, analisis, dan pengevaluasian terhadap hasil dari pencerahan yang kamu dapatkan itu. Jika hasilnya positif, maka ‘mari dukung terus, lanjutkan!’ Haha. Dan jika negatif, mari duduk sejenak, dan biarkan pikiran kreatif kita menuntun kita kepada pencerahan yang lebih positif, yang lebih bisa memberikan penyelesaian terbaik dengan risiko minim.
Sampai pada akhirnya aku berhasil keluar dari ruang pelatihan itu, aku bergegas ke perpustakaan daerah, setelah shalat dzuhur terlebih dahulu, tentu saja. Sesampainya di sana, aku menemukan pintu perpustakaan sudah tutup. Pagarnya pun sudah dikunci. Aku terlambat. Sial!
Sejenak aku memerhatikan seorang gadis, anak SMP, sedang berdiri—sepertinya sedang menunggu seseorang—sambil memainkan hapenya—hmm, cantik juga, hehe. Sempat terlintas dalam benakku untuk sekedar menanyakan ima nanji desu ka?¬—jam berapa sekarang?—tapi aku tahu, inspirasi yang datang pada saat pelatihan tadi, menyuruhku untuk cepat-cepat pulang—hei, lagipula, buat apa menggoda gadis itu, eh? Aku takut ia tak bisa sekolah keesokan harinya karena demam jika aku mendekatinya.
Aku hanya akan mengikuti pelatihan ini sampai materi kedua selesai, atau dengan kata lain, sampai waktu istirahat shalat tiba. Lagipula, aku harus bergegas ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam, yang telah melewati batas akhir pengembalian.
Dan materi keduapun selesai. Aku sampai berpikir ingin mengajak pemateri itu menulis buku, karena materi yang dibawakannya cukup menarik, dan memiliki cakrawala pandang yang luas. Well, aku berjalan ke belakang, duduk dengan beberapa teman, sambil mencari momen yang tepat untuk keluar dari ruangan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada panitia pelatihan.
Tapi rupanya pemateri ketiga berkata lain.
Di luar hujan deras dan panitia mencoba bernegosiasi dengan pemateri agar berkenan menunggu barang 20 menit agar peserta bisa shalat dzuhur. Pak Pemateri berkata, “Kasih opsi saja pada peserta. Mereka mau istirahat dulu untuk shalat, ataukah saya ngasih materi dulu, nggak akan lama, paling sampai 40 atau 45 menit, sambil menunggu hujan reda.”
Walaupun voting yang dilakukan berakhir dengan hasil untuk istirahat terlebih dahulu, tapi rupanya, Pak Pemateri berkehendak lain. Ia berjalan ke depan ruangan dan dengan menggunakan otoritasnya sebagai salah seorang dosen di kampusku, ia berkata, “Baiklah, saya minta izin sekitar 25 menit untuk memberikan materi—saya ada urusan penting setelah ini. Saya harap kalian maklum.”
Ia mempersingkat jangka waktu pemberian materi sampai hanya 25 menit. Akhirnya, mau tidak mau, kami pun setuju. Hallow, apakah aku terlalu bertele-tele? Baiklah, apa kaitannya dengan buku ini?
Kawan, Pak Pemateri itu memberikan uraian tentang berpikir kreatif.
Trus?
Beliau membagikan hand out materi kepada setiap peserta, dan sambil mendengarkan, aku membaca hand out tersebut sambil kesal karena rencanaku ke perpustakaan daerah terhambat karena keegoisan Pak Pemateri ini.
Aku membuka halaman kedua dengan malas, lalu… “AHA! Tidak, tidak mungkin. Tapi, oh, great! Haha. Yes!” Hatiku bahagia tak terkira. Mendadak rasa kesalku berubah menjadi rasa syukur karena di sana, di halaman kedua hand out tersebut, aku menemukan satu bagian yang menjelaskan urutan tahapan berpikir kreatif itu, lalu menyadari satu hal… apa yang tertulis di sana, sesuai dengan buku ini—buku yang sedang kukerjakan!
Oke, oke, langsung ke intinya—I got it, I got it. Thank you.
Jadi, kita bisa menyelesaikan masalah kita, dengan menggunakan cara berpikir yang kreatif, sehingga menghasilkan solusi yang kreatif, yang fresh, yang baru, yang mudah-mudahan bisa membuat masalah kita bisa lebih cepat dan mudah teratasi tanpa menghasilkan efek domino yang parah.
Apa saja tahapan itu? Inilah dia….
1. Orientasi : rumuskan dan identifikasi masalah kita. Aku pikir, aku sudah menjelaskan banyak tentang ini, jadi bagaimana kalau aku langsung saja menginjak ke poin 2? Baiklah, terima kasih….
2. Preparasi : kumpulkan semua informasi yang berkenaan dengan masalah kita. Untuk memperjelas masalah, agar bisa diuraikan sehingga bisa terlihat mana akar masalahnya; bisa melihat sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan lain sebagainya yang penting untuk mencari alternatif terbaik dari masalah tersebut.
3. Inkubasi : terkadang kita menemui hambatan dan jalan buntu, sehingga titik terang dari masalah itu, tak kunjung terlihat. Kita berusaha terus mencari solusi, dan pada satu titik, kita merasa otak kita sudah demikian ‘panas’ hingga rasanya mau ‘pecah’. Di sinilah, kamu perlu mengambil waktu untuk ‘mengistirahatkan’ otakmu. Lalu, bagaimana dengan masalah kita kalau tidak cepat diselesaikan? Tenang. Sewaktu otak sadarmu beristirahat, problem solving process masih terus berjalan di otak bawah sadarmu, sampai….
4. Iluminasi : “Eureka!” kamu mendapatkan pencerahan, solusi kreatif, insight, yang terang-benderang, yang mengurai simpul rumit dari jerat masalah yang kamu hadapi. Maka jangan heran, bila tiba-tiba pada saat sedang ‘pup’, kamu mendapatkan solusi kreatif dari masalah yang sedang kamu hadapi—itu artinya, kamu sedang mengalami proses iluminasi. Saranku hanya satu: jangan lupa bersih-bersih dulu dan pakai celana sebelum kamu keluar dari kamar mandi, oke?
5. Verifikasi : Hmm, well, tidak selalu hasil dari proses iluminasi itu benar secara sempurna. Sehingga, kita masih tetap harus melakukan pengujian, analisis, dan pengevaluasian terhadap hasil dari pencerahan yang kamu dapatkan itu. Jika hasilnya positif, maka ‘mari dukung terus, lanjutkan!’ Haha. Dan jika negatif, mari duduk sejenak, dan biarkan pikiran kreatif kita menuntun kita kepada pencerahan yang lebih positif, yang lebih bisa memberikan penyelesaian terbaik dengan risiko minim.
Sampai pada akhirnya aku berhasil keluar dari ruang pelatihan itu, aku bergegas ke perpustakaan daerah, setelah shalat dzuhur terlebih dahulu, tentu saja. Sesampainya di sana, aku menemukan pintu perpustakaan sudah tutup. Pagarnya pun sudah dikunci. Aku terlambat. Sial!
Sejenak aku memerhatikan seorang gadis, anak SMP, sedang berdiri—sepertinya sedang menunggu seseorang—sambil memainkan hapenya—hmm, cantik juga, hehe. Sempat terlintas dalam benakku untuk sekedar menanyakan ima nanji desu ka?¬—jam berapa sekarang?—tapi aku tahu, inspirasi yang datang pada saat pelatihan tadi, menyuruhku untuk cepat-cepat pulang—hei, lagipula, buat apa menggoda gadis itu, eh? Aku takut ia tak bisa sekolah keesokan harinya karena demam jika aku mendekatinya.
Quantum Solver
Dalam buku Quantum Quotient, Ir. Agus Nggermanto, menjelaskan tentang dimensi-dimensi dari AQ dan bagaimana cara mengembangkannya (hlm. 85), yang kayaknya sih ya, cocok untuk kita jadikan bahan masukan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah.
Aku tidak akan menuliskan di sini apa saja dimensi AQ dan bagaimana cara mengembangkannya itu, namun, berpijak pada teori-teorinya, aku akan menjelaskan padamu, bagaimana cara menyelesaikan masalah secara quantum. Inilah dia:
Ketika suatu masalah, suatu kesulitan, suatu persoalan datang padamu, maka:
1. Pahami seberapa besar kontrol kamu terhadap masalah itu. Apakah kamu cukup kuat untuk menghadapinya seorang diri ataukah kamu perlu bantuan. Dengan memahami seberapa besar kontrol kamu ini, kamu akan dibantu, untuk menentukan strategi dan teknik terbaik untuk menghadapi masalahmu ini.
2. Tentukan penyebab masalah. Apakah itu datang dari luar ataukah justru dari dalam dirimu sendiri? Apakah ini disebabkan oleh tindakan orang lain ataukah tindakanmu sendiri?
3. Jika kamu sudah berhasil mengidentifikasikan masalahmu (dan penyebabnya, tentu saja), sekarang identifikasi juga bagaimana akibat, efek, atau pengaruh masalah ini terhadap kehidupan kamu (apakah masalah ini membuatmu tidak ingin sekolah? Marah-marah ke siapa saja? Atau…?).
4. Nah, sekarang perkirakan, berapa lama kira-kira masalah ini akan berlangsung? Berapa lama kira-kira penyebab masalah ini akan berlangsung? Ooh, tentu saja akan terus berlangsung kalau masalah ini belum segera diselesaikan! Ah, baiklah kalau begitu, mari berlanjut ke poin lima.
5. Sekarang dengarkan, rasakan, dan temukan apa sebenarnya yang salah. Cobalah untuk mengakui dan jujur terhadap diri sendiri, untuk menemukan akar permasalahan.
6. Gali peran kamu dalam timbulnya masalah ini. Apakah kamu penyebab utama ataukah hanya orang yang ‘menarik’ saja?
7. Sekarang, ayo kita temukan sebanyak mungkin informasi dan alternatif penyelesaian lalu kita analisa dan uji informasi dan alternatif penyelesaian tersebut sehingga kita bisa mendapatkan alternatif penyelesaian yang terbaik.
8. Lakukanlah tindakan yang nyata. Karena hanya dengan begitu, masalahmu bisa selesai.
Aku tidak akan menuliskan di sini apa saja dimensi AQ dan bagaimana cara mengembangkannya itu, namun, berpijak pada teori-teorinya, aku akan menjelaskan padamu, bagaimana cara menyelesaikan masalah secara quantum. Inilah dia:
Ketika suatu masalah, suatu kesulitan, suatu persoalan datang padamu, maka:
1. Pahami seberapa besar kontrol kamu terhadap masalah itu. Apakah kamu cukup kuat untuk menghadapinya seorang diri ataukah kamu perlu bantuan. Dengan memahami seberapa besar kontrol kamu ini, kamu akan dibantu, untuk menentukan strategi dan teknik terbaik untuk menghadapi masalahmu ini.
2. Tentukan penyebab masalah. Apakah itu datang dari luar ataukah justru dari dalam dirimu sendiri? Apakah ini disebabkan oleh tindakan orang lain ataukah tindakanmu sendiri?
3. Jika kamu sudah berhasil mengidentifikasikan masalahmu (dan penyebabnya, tentu saja), sekarang identifikasi juga bagaimana akibat, efek, atau pengaruh masalah ini terhadap kehidupan kamu (apakah masalah ini membuatmu tidak ingin sekolah? Marah-marah ke siapa saja? Atau…?).
4. Nah, sekarang perkirakan, berapa lama kira-kira masalah ini akan berlangsung? Berapa lama kira-kira penyebab masalah ini akan berlangsung? Ooh, tentu saja akan terus berlangsung kalau masalah ini belum segera diselesaikan! Ah, baiklah kalau begitu, mari berlanjut ke poin lima.
5. Sekarang dengarkan, rasakan, dan temukan apa sebenarnya yang salah. Cobalah untuk mengakui dan jujur terhadap diri sendiri, untuk menemukan akar permasalahan.
6. Gali peran kamu dalam timbulnya masalah ini. Apakah kamu penyebab utama ataukah hanya orang yang ‘menarik’ saja?
7. Sekarang, ayo kita temukan sebanyak mungkin informasi dan alternatif penyelesaian lalu kita analisa dan uji informasi dan alternatif penyelesaian tersebut sehingga kita bisa mendapatkan alternatif penyelesaian yang terbaik.
8. Lakukanlah tindakan yang nyata. Karena hanya dengan begitu, masalahmu bisa selesai.
Menangis Itu Gratis
Menangis.
Salahkah kalau kita menangis?
Sewaktu kecil, kalau aku menangis, kakakku suka berkata, “suuut, jangan nangis. ‘Tar ada yang ngikutin. ‘Tar disamperin jurig—tong nangis ah, cengeng!” Dan jika saat bermain bersama teman-temanku, juga sewaktu kecil, dan karena suatu sebab aku menangis, mereka biasanya berkata, “Ey, babarian.”
Semua pandangan di atas, apa yang disampaikan kakakku dan teman-teman kecilku, adalah pandangan negatif tentang menangis: bahwa menangis hanyalah pekerjaan anak-anak cengeng yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri! Bahwa orang-orang kuat dan berani tidak pernah menangis. Bahwa laki-laki pantang untuk menangis.
Benarkah?
Jeanne Webster, C.P.C, menulis dalam bukunya Young, Rich, ‘n Famous, bahwa kalau kita mendapat masalah, kita berhak menangisi keadaan kita sebagai akibat dari adanya masalah tersebut namun tetap harus memiliki batasan waktu.
Oke, biar kuperjelas.
Kembali aku ingatkan bahwa ketika kita mendapat masalah, kita sebenarnya—paling tidak—mendapatkan dua hal: masalah itu sendiri dan efek psikologis dari masalah tersebut. Misal, kamu belum sempat mengerjakan tugas.
Masalah: tugas yang belum dikerjakan.
Efek psikologisnya: rasa takut dan malas untuk sekolah. Tegang. Deg-degan. Apalagi kalau gurunya killer.
Betul?
Nah, seperti kita ketahui, untuk mengatasi masalah, kita butuh ketenangan, butuh fokus terhadap akar masalah, dan butuh pikiran yang jernih, serta alam bawah sadar yang ‘berfungsi baik’.
Semua itu bisa kita dapatkan, jika kita mampu mengatasi terlebih dahulu efek psikologis dari masalah tersebut. Kadang malah, efek psikologis yang kita rasakan, jauh lebih ‘parah’ dari masalah intinya sendiri.
Yah, jangan jauh-jauh deh, orang yang ada masalah sama pacarnya biasanya gitu tuh. Masalahnya sepele, eh sakit hatinya (di)gede(-gedein). Repot dah.
Lantas, apa kaitannya dengan menangis?
Menangis, paling nggak, bisa membantu kita mengeluarkan efek psikologis itu dari dalam diri kita. Menangis terbukti bisa membuat kita lebih relax dan plong. Ketika kita sedih, lewat tangisan, kita sebenarnya sedang mengeluarkan rasa sedih itu agar tidak menyesaki hati dan dada kita. Jadi, kenapa mesti ditahan kalau emang mau nangis?
Setali tiga uang dengan menangis, kegiatan yang sifatnya mengeluarkan tenaga juga baik lho dalam mengeluarkan efek psikologis tersebut. Misal, daripada kemarahan kita nggak tersalur dengan benar, mending mukul-mukul bantal deh: kemarahan kita tersalurkan, dan tidak perlu ada korban!
Jangan mukul barang pecah, kaca, apalagi barang-barang mahal. Selain karena akan ada yang terluka (tangan kamu misalnya, jadi berdarah), khusus untuk barang-barang mahal, kantong kamu akan mengalami krisis. Jadi, kasihanilah kantongmu juga. Taatilah program orangtuamu dalam memerangi krisis. Setuju?
Biasanya, jika aku sedang mengalami masalah, aku akan sedikit memanjakan diriku. Aku pergi ke toko atau minimarket, membeli cola, cokelat, atau apapun yang kuinginkan pada saat itu. Tidak masalah jika uang yang aku keluarkan agak sedikit melebihi anggaran harianku—aku tahu jiwaku membutuhkan sedikit penyegaran.
Setelah itu, aku akan berdiam diri di kamar, lalu menyesap colaku dengan nikmat. Menghayatinya seperti tokoh utama dalam film-film atau sinetron saat mereka tengah galau, saat mereka tengah merenungi kehidupan. Lalu memakan cokelat. Atau sambil mendengarkan musik. Aku membuat suasana serileks mungkin, sambil berusaha menganalisis masalahku.
Hasilnya?
Kalaupun aku tidak mendapatkan solusi yang tepat pada saat itu, paling tidak efek psikologis dari masalah itu sedikit banyak berkurang, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih.
Dan itu menyenangkan.
Suatu hari, aku juga pernah mengalami turbulen (gangguan, keresahan) dalam hidup dimana aku merasa sangat-sangat sendirian. Karena perasaan itu menyesakkan dadaku sepanjang malam, pagi harinya setelah shalat subuh, aku mematikan lampu dan sambil mendengarkan lagu Letto, “Sebelum Cahaya”, aku menangis tersedu-sedan. Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bahwa: dalam keadaan gelap pun, dalam keadaan banyak masalahpun, Tuhan selalu ada, lewat begitu banyak anugerahnya yang—sayangnya—seringkali tidak mampu kita lihat.
Pada saat itu aku menangis karena menanggungkan rindu yang teramat berat pada Tuhan, pada kebahagiaan sejati yang mestinya aku miliki, andai saja aku lebih banyak bersyukur dan melapangkan hatiku dengan ikhlas dan keyakinan yang teguh.
Fiuh… kembali ke bahasan.
Tapi, seperti kata Jeanne Webster, kita mesti memberikan batasan waktu untuk ‘having fun n cry’ itu. Tarolah, sehari atau dua hari, sejam atau dua jam, kita alokasikan untuk ‘menangisi masalah’. Tapi setelah itu, kamu harus komit untuk bangkit lagi! Jangan jadi berlarut-larut.
Kalau jadi berlarut-larut, menangis yang asalnya baik, bakal seperti air hujan yang datang terus-menerus ke daerah yang got dan sungainya penuh sampah: banjir! Kamu malah akan mengundang masalah lain. Jadi double deh.
Salahkah kalau kita menangis?
Sewaktu kecil, kalau aku menangis, kakakku suka berkata, “suuut, jangan nangis. ‘Tar ada yang ngikutin. ‘Tar disamperin jurig—tong nangis ah, cengeng!” Dan jika saat bermain bersama teman-temanku, juga sewaktu kecil, dan karena suatu sebab aku menangis, mereka biasanya berkata, “Ey, babarian.”
Semua pandangan di atas, apa yang disampaikan kakakku dan teman-teman kecilku, adalah pandangan negatif tentang menangis: bahwa menangis hanyalah pekerjaan anak-anak cengeng yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri! Bahwa orang-orang kuat dan berani tidak pernah menangis. Bahwa laki-laki pantang untuk menangis.
Benarkah?
Jeanne Webster, C.P.C, menulis dalam bukunya Young, Rich, ‘n Famous, bahwa kalau kita mendapat masalah, kita berhak menangisi keadaan kita sebagai akibat dari adanya masalah tersebut namun tetap harus memiliki batasan waktu.
Oke, biar kuperjelas.
Kembali aku ingatkan bahwa ketika kita mendapat masalah, kita sebenarnya—paling tidak—mendapatkan dua hal: masalah itu sendiri dan efek psikologis dari masalah tersebut. Misal, kamu belum sempat mengerjakan tugas.
Masalah: tugas yang belum dikerjakan.
Efek psikologisnya: rasa takut dan malas untuk sekolah. Tegang. Deg-degan. Apalagi kalau gurunya killer.
Betul?
Nah, seperti kita ketahui, untuk mengatasi masalah, kita butuh ketenangan, butuh fokus terhadap akar masalah, dan butuh pikiran yang jernih, serta alam bawah sadar yang ‘berfungsi baik’.
Semua itu bisa kita dapatkan, jika kita mampu mengatasi terlebih dahulu efek psikologis dari masalah tersebut. Kadang malah, efek psikologis yang kita rasakan, jauh lebih ‘parah’ dari masalah intinya sendiri.
Yah, jangan jauh-jauh deh, orang yang ada masalah sama pacarnya biasanya gitu tuh. Masalahnya sepele, eh sakit hatinya (di)gede(-gedein). Repot dah.
Lantas, apa kaitannya dengan menangis?
Menangis, paling nggak, bisa membantu kita mengeluarkan efek psikologis itu dari dalam diri kita. Menangis terbukti bisa membuat kita lebih relax dan plong. Ketika kita sedih, lewat tangisan, kita sebenarnya sedang mengeluarkan rasa sedih itu agar tidak menyesaki hati dan dada kita. Jadi, kenapa mesti ditahan kalau emang mau nangis?
Setali tiga uang dengan menangis, kegiatan yang sifatnya mengeluarkan tenaga juga baik lho dalam mengeluarkan efek psikologis tersebut. Misal, daripada kemarahan kita nggak tersalur dengan benar, mending mukul-mukul bantal deh: kemarahan kita tersalurkan, dan tidak perlu ada korban!
Jangan mukul barang pecah, kaca, apalagi barang-barang mahal. Selain karena akan ada yang terluka (tangan kamu misalnya, jadi berdarah), khusus untuk barang-barang mahal, kantong kamu akan mengalami krisis. Jadi, kasihanilah kantongmu juga. Taatilah program orangtuamu dalam memerangi krisis. Setuju?
Biasanya, jika aku sedang mengalami masalah, aku akan sedikit memanjakan diriku. Aku pergi ke toko atau minimarket, membeli cola, cokelat, atau apapun yang kuinginkan pada saat itu. Tidak masalah jika uang yang aku keluarkan agak sedikit melebihi anggaran harianku—aku tahu jiwaku membutuhkan sedikit penyegaran.
Setelah itu, aku akan berdiam diri di kamar, lalu menyesap colaku dengan nikmat. Menghayatinya seperti tokoh utama dalam film-film atau sinetron saat mereka tengah galau, saat mereka tengah merenungi kehidupan. Lalu memakan cokelat. Atau sambil mendengarkan musik. Aku membuat suasana serileks mungkin, sambil berusaha menganalisis masalahku.
Hasilnya?
Kalaupun aku tidak mendapatkan solusi yang tepat pada saat itu, paling tidak efek psikologis dari masalah itu sedikit banyak berkurang, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih.
Dan itu menyenangkan.
Suatu hari, aku juga pernah mengalami turbulen (gangguan, keresahan) dalam hidup dimana aku merasa sangat-sangat sendirian. Karena perasaan itu menyesakkan dadaku sepanjang malam, pagi harinya setelah shalat subuh, aku mematikan lampu dan sambil mendengarkan lagu Letto, “Sebelum Cahaya”, aku menangis tersedu-sedan. Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bahwa: dalam keadaan gelap pun, dalam keadaan banyak masalahpun, Tuhan selalu ada, lewat begitu banyak anugerahnya yang—sayangnya—seringkali tidak mampu kita lihat.
Pada saat itu aku menangis karena menanggungkan rindu yang teramat berat pada Tuhan, pada kebahagiaan sejati yang mestinya aku miliki, andai saja aku lebih banyak bersyukur dan melapangkan hatiku dengan ikhlas dan keyakinan yang teguh.
Fiuh… kembali ke bahasan.
Tapi, seperti kata Jeanne Webster, kita mesti memberikan batasan waktu untuk ‘having fun n cry’ itu. Tarolah, sehari atau dua hari, sejam atau dua jam, kita alokasikan untuk ‘menangisi masalah’. Tapi setelah itu, kamu harus komit untuk bangkit lagi! Jangan jadi berlarut-larut.
Kalau jadi berlarut-larut, menangis yang asalnya baik, bakal seperti air hujan yang datang terus-menerus ke daerah yang got dan sungainya penuh sampah: banjir! Kamu malah akan mengundang masalah lain. Jadi double deh.
Hati-hati: Nyaman dalam Masalah
Judul sub-bab ini memang sedikit ambigu. Di satu sisi, nyaman dalam (menghadapi) masalah tentu penting agar kita bisa fokus terhadap penyelesaian masalah dan bukannya terpuruk oleh efek-efek dari masalah yang ditimbulkan. Kenyamanan dalam kasus ini lebih mengarah kepada ketenangan diri dan jiwa. Ketenangan batin. Ketenangan dalam alam bawah sadar.
Sedangkan kenyamanan dalam masalah yang aku imbau untuk diwaspadai adalah rasa nyaman dalam gelimang masalah, dalam rasa kesal akan masalah, dalam rasa menjadi korban untuk setiap nasib buruk yang menimpa. Kenyamanan yang membuatnya bisa lari dan sembunyi dari kewajiban alamiahnya untuk menyelesaikan masalah. Kenyamanan jenis ini harus ‘diobati’.
Kenyamanan jenis ini membuat dia menjadi benci terhadap hidup. Tak peduli lagi pada semua hal. Ia menyalurkan rasa frustasinya terhadap masalah hidup dengan kesenangan sesaat yang ditawarkan narkoba dan minuman keras. Yang ditawarkan seks bebas.
Ia, karena rasa nyaman terhadap nasib buruk yang menimpanya, tanpa ia sadari, cenderung mengaplikasikan kemarahannya itu ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Jalan untuk keluar dari masalah itu biasanya masih terbuka lebar. Atau paling tidak masih ada. Tapi ia sendiri yang ‘memilih’ untuk tidak membukanya. Untuk tidak mau menyelesaikan masalah.
Ia memilih ‘menghancurkan’ dirinya gara-gara masalah itu daripada menyelesaikan akar masalahnya dan membuat hidupnya lebih baik. Dan ini semua, disadari atau tidak, adalah karena adanya rasa nyaman menerima masalah itu. Atau ‘mensyukuri’ masalah tersebut.
Salah seorang temanku berinisial M (laki-laki, 21 tahun) jarang masuk kuliah belakangan ini (akhir tahun 2008). Sekalinya masuk, ia lebih nyeleneh dan membangkang daripada biasanya. Air mukanya selalu kusut. Ia seperti orang mabuk. Tingkahnya seperti orang frustasi. Tapi ia jadi lebih sering tertawa. Terlalu riang gembira untuk menyadari bahwa dirinya sebenarnya tengah bermasalah.
Masalah dia adalah dia diputuskan oleh pacarnya—yah, terdengar cengeng memang. Lebih menyakitkan lagi, pacarnya itu selingkuh dengan orang yang notabenenya lebih kaya daripada dia. Tak terima dengan hal ini, dia langsung ‘menyerang’ dirinya sendiri selain juga menyebarkan ‘teror’ untuk mantan pacarnya itu.
Ia pernah meminta saran kepadaku bagaimana cara untuk melupakan mantannya itu, dan aku memberinya saran seperti yang biasa aku berikan: berusahalah untuk jujur, untuk menerima, dan jangan berusaha melupakannya karena ini justru akan membuatmu tambah susah melupakannya—karena apa yang kita tolak justru akan bertahan, seperti kata Carl Jung.
Ia tak menanggapi usulanku dengan serius. Kondisinya, dalam pandanganku dengan analisa asal-asalanku tentunya, justru bertambah buruk. Ketika aku, sekali lagi melakukan observasi tanpa ia sadari, aku menyadari bahwa pangkal dari sikapnya yang tambah buruk itu adalah: keinginannya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa ia hancur gara-gara mantan pacarnya tersebut!
Sepertinya, sikap itu memberikan kenyamanan tersendiri kepada dirinya, sehingga ia malah menutup sendiri semua kemungkinan jalan keluar dari masalahnya tersebut. Ia bangga dengan kehancuran dirinya. Ia bangga melihat mantan pacarnya serba salah (atau pura-pura serba salah?), karena hanya dengan begitu, ia merasa sudah ‘membalas dendam’ terhadap kejahatan ‘nasib buruk’ yang sudah menimpanya.
Mari kita pikirkan, apakah baik merasa (dan berlaku) seperti itu?
Aku pernah merasakan itu. Tapi jika kita ubah pola pandang kita, maka kita akan mendapati diri kita mendapatkan kerugian yang berlipat ganda. Pertama, kita sudah dicampakkan. Kedua, kita menyiksa diri kita sendiri. Ketiga, kita menghancurkan masa depan kita sendiri. Keempat, apakah itu juga akan menghancurkan masa depan mantan pacar kita? Belum tentu, bukan? Bukankah itu sama sekali tidak keren? Bukankah lebih baik kita hadapi saja masalah ini, akui dengan lapang dada, tersenyum untuk rasa sakit, dan selalu berusaha melihat sisi positifnya?
Berusaha sekuat tenaga untuk menjadi diri kita apa adanya. Jangan ada usaha untuk membuktikan diri lebih baik dari pacar baru mantan pacarmu itu karena itu sama buruknya dengan usaha untuk menghancurkan diri sendiri. Kamu akan menyeret diri kamu sendiri dalam suatu persaingan tidak sehat, dimana kamu akan selalu merasa di belakang, merasa kalah, dan bisa membuatmu terlalu sibuk untuk meniru pacar baru mantan pacarmu sehingga kamu lupa akan esensi hidup kamu untuk menjadi diri kamu sendiri.
Putus cinta itu memang sakit, tapi sebenarnya, ini sama sekali tidak rumit.
Sedangkan kenyamanan dalam masalah yang aku imbau untuk diwaspadai adalah rasa nyaman dalam gelimang masalah, dalam rasa kesal akan masalah, dalam rasa menjadi korban untuk setiap nasib buruk yang menimpa. Kenyamanan yang membuatnya bisa lari dan sembunyi dari kewajiban alamiahnya untuk menyelesaikan masalah. Kenyamanan jenis ini harus ‘diobati’.
Kenyamanan jenis ini membuat dia menjadi benci terhadap hidup. Tak peduli lagi pada semua hal. Ia menyalurkan rasa frustasinya terhadap masalah hidup dengan kesenangan sesaat yang ditawarkan narkoba dan minuman keras. Yang ditawarkan seks bebas.
Ia, karena rasa nyaman terhadap nasib buruk yang menimpanya, tanpa ia sadari, cenderung mengaplikasikan kemarahannya itu ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Jalan untuk keluar dari masalah itu biasanya masih terbuka lebar. Atau paling tidak masih ada. Tapi ia sendiri yang ‘memilih’ untuk tidak membukanya. Untuk tidak mau menyelesaikan masalah.
Ia memilih ‘menghancurkan’ dirinya gara-gara masalah itu daripada menyelesaikan akar masalahnya dan membuat hidupnya lebih baik. Dan ini semua, disadari atau tidak, adalah karena adanya rasa nyaman menerima masalah itu. Atau ‘mensyukuri’ masalah tersebut.
Salah seorang temanku berinisial M (laki-laki, 21 tahun) jarang masuk kuliah belakangan ini (akhir tahun 2008). Sekalinya masuk, ia lebih nyeleneh dan membangkang daripada biasanya. Air mukanya selalu kusut. Ia seperti orang mabuk. Tingkahnya seperti orang frustasi. Tapi ia jadi lebih sering tertawa. Terlalu riang gembira untuk menyadari bahwa dirinya sebenarnya tengah bermasalah.
Masalah dia adalah dia diputuskan oleh pacarnya—yah, terdengar cengeng memang. Lebih menyakitkan lagi, pacarnya itu selingkuh dengan orang yang notabenenya lebih kaya daripada dia. Tak terima dengan hal ini, dia langsung ‘menyerang’ dirinya sendiri selain juga menyebarkan ‘teror’ untuk mantan pacarnya itu.
Ia pernah meminta saran kepadaku bagaimana cara untuk melupakan mantannya itu, dan aku memberinya saran seperti yang biasa aku berikan: berusahalah untuk jujur, untuk menerima, dan jangan berusaha melupakannya karena ini justru akan membuatmu tambah susah melupakannya—karena apa yang kita tolak justru akan bertahan, seperti kata Carl Jung.
Ia tak menanggapi usulanku dengan serius. Kondisinya, dalam pandanganku dengan analisa asal-asalanku tentunya, justru bertambah buruk. Ketika aku, sekali lagi melakukan observasi tanpa ia sadari, aku menyadari bahwa pangkal dari sikapnya yang tambah buruk itu adalah: keinginannya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa ia hancur gara-gara mantan pacarnya tersebut!
Sepertinya, sikap itu memberikan kenyamanan tersendiri kepada dirinya, sehingga ia malah menutup sendiri semua kemungkinan jalan keluar dari masalahnya tersebut. Ia bangga dengan kehancuran dirinya. Ia bangga melihat mantan pacarnya serba salah (atau pura-pura serba salah?), karena hanya dengan begitu, ia merasa sudah ‘membalas dendam’ terhadap kejahatan ‘nasib buruk’ yang sudah menimpanya.
Mari kita pikirkan, apakah baik merasa (dan berlaku) seperti itu?
Aku pernah merasakan itu. Tapi jika kita ubah pola pandang kita, maka kita akan mendapati diri kita mendapatkan kerugian yang berlipat ganda. Pertama, kita sudah dicampakkan. Kedua, kita menyiksa diri kita sendiri. Ketiga, kita menghancurkan masa depan kita sendiri. Keempat, apakah itu juga akan menghancurkan masa depan mantan pacar kita? Belum tentu, bukan? Bukankah itu sama sekali tidak keren? Bukankah lebih baik kita hadapi saja masalah ini, akui dengan lapang dada, tersenyum untuk rasa sakit, dan selalu berusaha melihat sisi positifnya?
Berusaha sekuat tenaga untuk menjadi diri kita apa adanya. Jangan ada usaha untuk membuktikan diri lebih baik dari pacar baru mantan pacarmu itu karena itu sama buruknya dengan usaha untuk menghancurkan diri sendiri. Kamu akan menyeret diri kamu sendiri dalam suatu persaingan tidak sehat, dimana kamu akan selalu merasa di belakang, merasa kalah, dan bisa membuatmu terlalu sibuk untuk meniru pacar baru mantan pacarmu sehingga kamu lupa akan esensi hidup kamu untuk menjadi diri kamu sendiri.
Putus cinta itu memang sakit, tapi sebenarnya, ini sama sekali tidak rumit.
Ketika Air Tidak Mengalir
Kebalikan dari orang yang terlalu mengumbar masalahnya, sampai-sampai orang yang tidak dikenal pun tahu, adalah orang-orang introvert. Orang-orang yang tertutup dan menyimpan sendiri masalahnya.
Ia lebih senang terlihat tegar dan (seolah) tak punya masalah. Bisa jadi ia memang benar-benar tegar, tapi bisa juga ia pura-pura tegar, mencoba lari dari masalah yang malah membuat masalahnya menjadi bertambah banyak.
Orang-orang yang menyimpan sendiri masalahnya, kekesalan hatinya, kedongkolannya tanpa ada saluran ‘pembuangan’ yang tepat, akan tampak seperti air yang tersumbat: air terus mengalir ke bak itu, namun karena tidak ada saluran pembuangan, lama-kelamaan, ketika volume bak tidak mampu lagi menampung volume air, air itu akan meluap dan tumpah. (Terbuang dengan sia-sia.)
Karena airnya tersumbat, maka ketika satu-persatu kotoran masuk ke sana, jentik nyamuk berkembang biak di sana, air akan berubah menjadi kotor dan tidak sehat.
Apa kamu pernah dengar ada kasus pembunuhan, misalnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘dikenal sangat baik dan saleh’? Apa kamu pernah mendengar bahwa kemarahan orang pendiam seringkali lebih berbahaya daripada kemarahan orang yang pemarah? Nah, begitulah….
Ketika seseorang menyimpan sendiri masalahnya, maka:
1. Pada suatu titik ketika masalahnya bertambah banyak, ia akan meledak seperti gunung merapi yang melelehkan pohon-pohon di sepanjang lerengnya, membuat sungai lahar yang panas. Tentu saja, kemarahannya akan langsung berupa ledakan yang sangat dahsyat, karena ini merupakan akumulasi dari kekesalan-kekesalannya yang bergumpal dalam dadanya (air yang tumpah dan meluap).
2. Hal ini juga akan menganggu fungsi kerja organ tubuhnya, terutama jantung. Karena masalah membuatnya stres, maka kerja jantung dalam mensuplai darah ke seluruh tubuh dan ke otak jadi tidak optimal. Akibatnya, orang tersebut rentan terkena penyakit (air jadi kotor).
Kadang-kadang kemarahannya pun tidak terkontrol dan bisa kepada siapa saja, bahkan orang yang tidak berdosa sekalipun. Akibatnya adalah kita telah menyakiti orang yang tidak bersalah yang bisa berpotensi pada terputusnya hubungan pertemanan dan persahabatan, bisa memperburuk silaturahmi.
Apa yang kamu rasakan jika tiba-tiba saja temanmu marah kepadamu tanpa alasan yang jelas? Apa yang kamu rasakan jika orangtuamu memarahimu hanya karena mereka stres terhadap rekan kerja mereka? Terhadap pekerjaan mereka?
Sakit bukan? Itulah kawan, itulah yang aku maksudkan!
Orang yang terbiasa menyimpan sendiri masalahnya tanpa ada usaha untuk menyalurkannya ke saluran yang tepat, sebenarnya sedang merusak dirinya sendiri, tanpa ia sadari. Karena, seringkali efek dari suatu masalah, mengendap dalam otak bawah sadar yang bisa menciptakan suatu trauma, suatu ketegangan psikis, yang bisa berakibat buruk terhadap masa depan orang tersebut.
Karena itulah, terlebih jika kamu termasuk orang yang pendiam dan suka menyimpan sendiri masalahmu, aku menyarankan untuk banyak-banyak menulis. Bersyukurlah kalian yang suka menulis diary, yang suka menulis catatan harian. Karena, walaupun sebagian orang meremehkan kegiatan ini, tapi survei membuktikan bahwa para ilmuwan, para penulis terkenal, para pemikir, para orang-orang besar, selalu menuliskan buah pikiran mereka, selalu menuliskan pencerahan yang mereka dapatkan, selalu menuliskan kegiatan keseharian mereka.
Soe Hok Gie, tahukah kau, yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar dan diperankan oleh Nicholas Saputra, adalah salah seorang pemikir dan pejuang Indonesia yang jenius. Seorang idealis yang kukuh memegang prinsip. Kita tentu tidak akan membahas kenyataan bahwa sebagian pemikirannya mungkin tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut, tidak sesuai dengan pemahaman kita, karena manusiawi jika seseorang salah atau memiliki prinsip hidup dan paradigma yang berbeda dengan kita.
Yang ingin aku tekankan adalah, dia juga menuliskan kisah hidupnya dalam catatan hariannya. Dalam diary-nya. Dan, surprise, menulis ternyata bisa membuat kita awet muda, bisa membantu kita menyelesaikan masalah kita. Kenapa? Karena, paling tidak, dengan menulis, kita menyalurkan rasa kalut dan kesal akibat masalah yang kita hadapi. Lewat menulis kita juga dilatih untuk menghadapi rasa takut, kesal, dan masalah kita.
Penelitian membuktikan, orang yang menuliskan masalahnya, bahkan masalah yang terberat sekalipun, cenderung memiliki daya tahan yang lebih terhadap permasalahan.
Menurut Dr. Pennebacker, orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh.
Kenapa? Karena ketika menulis, kita melepaskan emosi kita. Membuat suasana hati kita lebih baik, pandangan kita lebih positif, dan kesehatan fisik kita membaik.
Bukankah suasana hati yang buruk, gangguan-gangguan psikologis, sering menganggu kerja jantung dan sistem peredaran darah dan yang membuat banyak fungsi organ tubuh terganggu, sehingga membuat kita rentan terkena penyakit?
Menulis menjernihkan pikiran, membantu mendapatkan dan mengingat informasi yang baru, membantu menyelesaikan masalah. Dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Ia lebih senang terlihat tegar dan (seolah) tak punya masalah. Bisa jadi ia memang benar-benar tegar, tapi bisa juga ia pura-pura tegar, mencoba lari dari masalah yang malah membuat masalahnya menjadi bertambah banyak.
Orang-orang yang menyimpan sendiri masalahnya, kekesalan hatinya, kedongkolannya tanpa ada saluran ‘pembuangan’ yang tepat, akan tampak seperti air yang tersumbat: air terus mengalir ke bak itu, namun karena tidak ada saluran pembuangan, lama-kelamaan, ketika volume bak tidak mampu lagi menampung volume air, air itu akan meluap dan tumpah. (Terbuang dengan sia-sia.)
Karena airnya tersumbat, maka ketika satu-persatu kotoran masuk ke sana, jentik nyamuk berkembang biak di sana, air akan berubah menjadi kotor dan tidak sehat.
Apa kamu pernah dengar ada kasus pembunuhan, misalnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘dikenal sangat baik dan saleh’? Apa kamu pernah mendengar bahwa kemarahan orang pendiam seringkali lebih berbahaya daripada kemarahan orang yang pemarah? Nah, begitulah….
Ketika seseorang menyimpan sendiri masalahnya, maka:
1. Pada suatu titik ketika masalahnya bertambah banyak, ia akan meledak seperti gunung merapi yang melelehkan pohon-pohon di sepanjang lerengnya, membuat sungai lahar yang panas. Tentu saja, kemarahannya akan langsung berupa ledakan yang sangat dahsyat, karena ini merupakan akumulasi dari kekesalan-kekesalannya yang bergumpal dalam dadanya (air yang tumpah dan meluap).
2. Hal ini juga akan menganggu fungsi kerja organ tubuhnya, terutama jantung. Karena masalah membuatnya stres, maka kerja jantung dalam mensuplai darah ke seluruh tubuh dan ke otak jadi tidak optimal. Akibatnya, orang tersebut rentan terkena penyakit (air jadi kotor).
Kadang-kadang kemarahannya pun tidak terkontrol dan bisa kepada siapa saja, bahkan orang yang tidak berdosa sekalipun. Akibatnya adalah kita telah menyakiti orang yang tidak bersalah yang bisa berpotensi pada terputusnya hubungan pertemanan dan persahabatan, bisa memperburuk silaturahmi.
Apa yang kamu rasakan jika tiba-tiba saja temanmu marah kepadamu tanpa alasan yang jelas? Apa yang kamu rasakan jika orangtuamu memarahimu hanya karena mereka stres terhadap rekan kerja mereka? Terhadap pekerjaan mereka?
Sakit bukan? Itulah kawan, itulah yang aku maksudkan!
Orang yang terbiasa menyimpan sendiri masalahnya tanpa ada usaha untuk menyalurkannya ke saluran yang tepat, sebenarnya sedang merusak dirinya sendiri, tanpa ia sadari. Karena, seringkali efek dari suatu masalah, mengendap dalam otak bawah sadar yang bisa menciptakan suatu trauma, suatu ketegangan psikis, yang bisa berakibat buruk terhadap masa depan orang tersebut.
Karena itulah, terlebih jika kamu termasuk orang yang pendiam dan suka menyimpan sendiri masalahmu, aku menyarankan untuk banyak-banyak menulis. Bersyukurlah kalian yang suka menulis diary, yang suka menulis catatan harian. Karena, walaupun sebagian orang meremehkan kegiatan ini, tapi survei membuktikan bahwa para ilmuwan, para penulis terkenal, para pemikir, para orang-orang besar, selalu menuliskan buah pikiran mereka, selalu menuliskan pencerahan yang mereka dapatkan, selalu menuliskan kegiatan keseharian mereka.
Soe Hok Gie, tahukah kau, yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar dan diperankan oleh Nicholas Saputra, adalah salah seorang pemikir dan pejuang Indonesia yang jenius. Seorang idealis yang kukuh memegang prinsip. Kita tentu tidak akan membahas kenyataan bahwa sebagian pemikirannya mungkin tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut, tidak sesuai dengan pemahaman kita, karena manusiawi jika seseorang salah atau memiliki prinsip hidup dan paradigma yang berbeda dengan kita.
Yang ingin aku tekankan adalah, dia juga menuliskan kisah hidupnya dalam catatan hariannya. Dalam diary-nya. Dan, surprise, menulis ternyata bisa membuat kita awet muda, bisa membantu kita menyelesaikan masalah kita. Kenapa? Karena, paling tidak, dengan menulis, kita menyalurkan rasa kalut dan kesal akibat masalah yang kita hadapi. Lewat menulis kita juga dilatih untuk menghadapi rasa takut, kesal, dan masalah kita.
Penelitian membuktikan, orang yang menuliskan masalahnya, bahkan masalah yang terberat sekalipun, cenderung memiliki daya tahan yang lebih terhadap permasalahan.
Menurut Dr. Pennebacker, orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh.
Kenapa? Karena ketika menulis, kita melepaskan emosi kita. Membuat suasana hati kita lebih baik, pandangan kita lebih positif, dan kesehatan fisik kita membaik.
Bukankah suasana hati yang buruk, gangguan-gangguan psikologis, sering menganggu kerja jantung dan sistem peredaran darah dan yang membuat banyak fungsi organ tubuh terganggu, sehingga membuat kita rentan terkena penyakit?
Menulis menjernihkan pikiran, membantu mendapatkan dan mengingat informasi yang baru, membantu menyelesaikan masalah. Dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Pembuang Sampah Sembarangan
Jika seseorang mendapat masalah, tekanan, rasa kesal, mereka cenderung bereaksi sesuai dengan karakternya masing-masing: ada yang membicarakannya dengan sangat antusias kepada siapa saja yang mau mendengarkan, ada yang membicarakannya kepada orang-orang tertentu saja, dan ada yang memendamnya sendiri sampai membuatnya sakit.
Nah, karena orang yang dijadikan tempat curhat biasanya diistilahkan sebagai ‘tempat sampah’, maka orang yang suka membicarakan semua masalahnya ke sebanyak mungkin orang adalah tipikal orang yang suka membuang sampah sembarangan.
Sedangkan orang yang membicarakan masalahnya dengan orang-orang tertentu saja, ia adalah tipikal orang yang membuang sampah pada tempatnya, bahkan disesuaikan dengan kekhususannya: untuk plastik atau kertas? Kering atau basah?
Dan orang yang lebih suka memendam sendiri masalahnya, dia lebih suka membuat sendiri tempat sampahnya. Bahkan tak jarang membuat kawan imajiner sebagai tempat curhatnya.
Dalam hal menghadapi masalah, terlebih bagi kamu yang sedang menjalani masa puber, godaan untuk mengungkapkan masalahmu itu sangat besar. Temanku memiliki masalah di keluarganya. Ia menceritakannya kepadaku dan beberapa orang teman di angkot dengan suara yang keras saking semangat dan bernafsunya, sampai-sampai si sopir angkot dan penumpang lain pun tahu.
Tentu saja ini tidak baik.
Umpan balik dari rahasia yang kita umbar kepada orang lain bisa menjadi bumerang yang menyerang kita. Misal, jika kamu punya masalah dengan keluarga kamu dan kamu menceritakannya kepada orang lain, kepada siapapun yang ingin mendengarkan, maka ini bisa saja membuat orang lain yang mengenal keluargamu akan antipati terhadap keluargamu. Mereka mungkin juga menjadi antipati terhadapmu, karena kelakukanmu, dalam benak mereka, ‘pasti’ tidak jauh berbeda dengan keluargamu yang kamu umbar keburukannya.
Akhirnya, kamu sendiri yang akan kena getahnya. Pada akhirnya kamu sendiri yang diserang oleh sikapmu ini. Bagai menepuk air didulang, kata orang tua zaman dulu—mau tidak mau, kamu akan kecipratan airnya juga!
Tapi ini bukan berarti kamu tidak boleh curhat kepada siapapun. Curhat itu sah-sah saja, aku anjurkan malah. Tapi kita mesti lihat dulu kepada siapa kita akan curhat. Usahakan orang yang kita jadikan tempat curhat adalah orang yang dewasa, dapat dipercaya, dan bisa memberikan solusi, atau paling tidak, memberikan perhatian penuh saat kamu sedang curhat.
Kamu bisa memilih orangtuamu, guru BP di sekolahmu, wali kelasmu, kakakmu, dan siapapun yang kamu rasa memenuhi kriteria di atas. Sekali lagi aku tekankan, jangan membicarakan masalahmu kepada semua orang karena itu bisa menjadi bumerang terhadapmu.
Seringkali masalah yang terlalu diumbar kepada terlalu banyak orang justru akan mendatangkan masalah lain dan masalah lain lagi terhadapmu—bagaimana jika ternyata orang yang kamu curhati tentang salah seorang temanmu yang rese itu, adalah sohib temanmu yang rese itu, trus dia ngasih tauin curhatan kamu ke temenmu yang rese itu yang bisa membuat masalah kamu sama temen kamu yang rese itu tambah runyam? Hayoh.
Belum lagi kemungkinan adanya kesalahan penyampaian sehingga cerita kamu jadi berkembang nggak karuan, jadi nggak sesuai dengan apa yang sebenarnya kamu pengen sampein. Jadi berabe ‘kan? Tambah bete nggak sih kalau gitu, eh?
Jadi, seperti kata salah seorang temanku, lebih baik ketahui semua yang kita ceritakan daripada menceritakan semua hal yang kita ketahui. Ada sebagian kisah yang sebaiknya dibiarkan tetap menjadi rahasia.
Nah, karena orang yang dijadikan tempat curhat biasanya diistilahkan sebagai ‘tempat sampah’, maka orang yang suka membicarakan semua masalahnya ke sebanyak mungkin orang adalah tipikal orang yang suka membuang sampah sembarangan.
Sedangkan orang yang membicarakan masalahnya dengan orang-orang tertentu saja, ia adalah tipikal orang yang membuang sampah pada tempatnya, bahkan disesuaikan dengan kekhususannya: untuk plastik atau kertas? Kering atau basah?
Dan orang yang lebih suka memendam sendiri masalahnya, dia lebih suka membuat sendiri tempat sampahnya. Bahkan tak jarang membuat kawan imajiner sebagai tempat curhatnya.
Dalam hal menghadapi masalah, terlebih bagi kamu yang sedang menjalani masa puber, godaan untuk mengungkapkan masalahmu itu sangat besar. Temanku memiliki masalah di keluarganya. Ia menceritakannya kepadaku dan beberapa orang teman di angkot dengan suara yang keras saking semangat dan bernafsunya, sampai-sampai si sopir angkot dan penumpang lain pun tahu.
Tentu saja ini tidak baik.
Umpan balik dari rahasia yang kita umbar kepada orang lain bisa menjadi bumerang yang menyerang kita. Misal, jika kamu punya masalah dengan keluarga kamu dan kamu menceritakannya kepada orang lain, kepada siapapun yang ingin mendengarkan, maka ini bisa saja membuat orang lain yang mengenal keluargamu akan antipati terhadap keluargamu. Mereka mungkin juga menjadi antipati terhadapmu, karena kelakukanmu, dalam benak mereka, ‘pasti’ tidak jauh berbeda dengan keluargamu yang kamu umbar keburukannya.
Akhirnya, kamu sendiri yang akan kena getahnya. Pada akhirnya kamu sendiri yang diserang oleh sikapmu ini. Bagai menepuk air didulang, kata orang tua zaman dulu—mau tidak mau, kamu akan kecipratan airnya juga!
Tapi ini bukan berarti kamu tidak boleh curhat kepada siapapun. Curhat itu sah-sah saja, aku anjurkan malah. Tapi kita mesti lihat dulu kepada siapa kita akan curhat. Usahakan orang yang kita jadikan tempat curhat adalah orang yang dewasa, dapat dipercaya, dan bisa memberikan solusi, atau paling tidak, memberikan perhatian penuh saat kamu sedang curhat.
Kamu bisa memilih orangtuamu, guru BP di sekolahmu, wali kelasmu, kakakmu, dan siapapun yang kamu rasa memenuhi kriteria di atas. Sekali lagi aku tekankan, jangan membicarakan masalahmu kepada semua orang karena itu bisa menjadi bumerang terhadapmu.
Seringkali masalah yang terlalu diumbar kepada terlalu banyak orang justru akan mendatangkan masalah lain dan masalah lain lagi terhadapmu—bagaimana jika ternyata orang yang kamu curhati tentang salah seorang temanmu yang rese itu, adalah sohib temanmu yang rese itu, trus dia ngasih tauin curhatan kamu ke temenmu yang rese itu yang bisa membuat masalah kamu sama temen kamu yang rese itu tambah runyam? Hayoh.
Belum lagi kemungkinan adanya kesalahan penyampaian sehingga cerita kamu jadi berkembang nggak karuan, jadi nggak sesuai dengan apa yang sebenarnya kamu pengen sampein. Jadi berabe ‘kan? Tambah bete nggak sih kalau gitu, eh?
Jadi, seperti kata salah seorang temanku, lebih baik ketahui semua yang kita ceritakan daripada menceritakan semua hal yang kita ketahui. Ada sebagian kisah yang sebaiknya dibiarkan tetap menjadi rahasia.
Langganan:
Postingan (Atom)