Sabtu, 02 Oktober 2010

Setengah Selesai, Setengah (Lagi) Usahakan

Katanya sih ya, tapi nggak tahu juga sih, anak-anak remaja itu sering ngalamin yang namanya bĂȘte tanpa sebab. Mereka berubah mood dengan sangat drastis bahkan tanpa adanya impuls dari luar sekalipun. Atau seringkali impuls yang kecil mendorong perubahan mood yang drastis, benarkah? Mari kita tanya Galileo. Hehe.
Aku pernah mengalami hal-hal seperti itu: kesal tanpa sebab, murung tanpa sebab, lelah tanpa adanya konflik sebelumnya. Dan kebingungan itu membuat masalahku terlihat, yah, sedikit rumit. Kadang ada kebanggan juga ketika membiarkan orang lain tahu kalau kita sedang bad mood. Aku nggak tahu itu namanya apa. Barangkali seperti itulah keanehan-keanehan dari tingkahpolah masa muda. Ceilah masa muda.
Tapi ketiadaan sebab itu bukan berarti apa yang kita rasakan tidak ada sebabnya sama sekali. Justru dengan ketiadaan itulah masalah kita jadi ada sebabnya. Sebabnya adalah ketiadaan sebab itu sendiri.
Apa penting mengetahui hal itu?
Kawan, mengetahui permasalahan yang kita hadapi, sudah merupakan setengah dari penyelesaian masalah tersebut. Banyak orang yang merasa kesal terhadap masalah yang dia hadapi karena ia sebenarnya tidak tahu apa masalah dia sebenarnya. Ia terkurung di dalamnya, tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang mengurungnya. Kalau ia sendiri tidak tahu apa yang sedang mengurungnya, bagaimana mungkin ia bisa keluar?
Kamu mendapat nilai merah untuk ujian kamu dan itu membuatmu kaget. Kamu bertanya kepada gurumu kenapa nilai kamu merah dan gurumu tidak mau menjelaskan. Apa yang akan kamu rasakan?
“Aku hanya ingin tahu kenapa aku bisa mendapat nilai 4 sehingga aku tahu mana yang harus aku perbaiki!”
Tepat sekali.
Jika gurumu itu dengan senang hati saja memperlihatkan bagaimana tugas-tugas kamu jarang masuk, absensi kamu yang buruk, ujian kamu yang anjlok, maka kamu akan lebih lega karena pada akhirnya kamu tahu dimana letak kesalahanmu.
Jika ternyata kamu merasa penilaian yang dilakukan gurumu salah, kamu bisa meminta data hasil ujian kamu, sebagai bukti yang valid, agar kamu bisa yakin bahwa apa yang dikatakan gurumu benar.
Sekarang mari kita anggap gurumu benar.
Orang yang tidak tahu ‘bagaimana’ dia bisa mendapat 4, mungkin cenderung bersikap tak acuh, marah, bahkan antipati dan menjadi apatis. Dia merasa kesal karena merasa ‘dicurangi’ walaupun ia tidak pernah bisa membuktikannya. Itu karena ia tidak tahu akar permasalahannya.
Sedangkan orang yang tahu, dan ditambah sedikit saja sikap arif dan legowo, dia bisa lebih memperbaiki nilainya di semester berikutnya, karena ia tahu apa yang salah, dan ia tahu mana yang harus diperbaiki.
Kupikir contoh sederhana lain yang ingin aku tambahkan di sini adalah saat seorang tukang membetulkan genteng yang rusak. Tentu akan lebih cepat tukang yang ‘tahu’ genteng mana yang rusak, ‘tahu’ bagaimana kerusakannya dan akibat-akibatnya, dan ‘tahu’ cara memperbaikinya, daripada seorang tukang yang bahkan ketika ia sudah sampai di genteng, belum tahu dimana genteng yang rusak itu.
Bagaimana caranya mengetahui masalah kita?
1. Kamu bisa mengandalkan kemampuan diri kamu sendiri dalam melihat sendiri apa masalahmu dengan melakukan analisa terhadap kekalutan atau kepusingan yang kamu alamin—memanfaatkan kecerdasan intrapersonalmu sendiri.
2. Kamu bisa minta bantuan orang lain yang kamu percayai untuk menemukan apa yang sebenarnya jadi masalahmu melalui curhat atau share.
3. Tapi, tetap hati-hati juga sih, soalnya baik itu pantauan diri sendiri (poin 1) maupun bantuan dari orang lain (poin 2), bisa saja tidak sepenuhnya menyentuh inti dari permasalahanmu. Karena itulah kamu tetap butuh cek dan ricek, uji hasil pantauan dan bantuan dari orang lain tersebut, disesuaikan dengan efek yang kamu rasakan. Dan jangan lupa, tetap… berdoa! Karena hanya Dialah Sumber Segala Kebenaran dan Petunjuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar