Sabtu, 02 Oktober 2010

Menangis Itu Gratis

Menangis.
Salahkah kalau kita menangis?
Sewaktu kecil, kalau aku menangis, kakakku suka berkata, “suuut, jangan nangis. ‘Tar ada yang ngikutin. ‘Tar disamperin jurig—tong nangis ah, cengeng!” Dan jika saat bermain bersama teman-temanku, juga sewaktu kecil, dan karena suatu sebab aku menangis, mereka biasanya berkata, “Ey, babarian.”
Semua pandangan di atas, apa yang disampaikan kakakku dan teman-teman kecilku, adalah pandangan negatif tentang menangis: bahwa menangis hanyalah pekerjaan anak-anak cengeng yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri! Bahwa orang-orang kuat dan berani tidak pernah menangis. Bahwa laki-laki pantang untuk menangis.
Benarkah?
Jeanne Webster, C.P.C, menulis dalam bukunya Young, Rich, ‘n Famous, bahwa kalau kita mendapat masalah, kita berhak menangisi keadaan kita sebagai akibat dari adanya masalah tersebut namun tetap harus memiliki batasan waktu.
Oke, biar kuperjelas.
Kembali aku ingatkan bahwa ketika kita mendapat masalah, kita sebenarnya—paling tidak—mendapatkan dua hal: masalah itu sendiri dan efek psikologis dari masalah tersebut. Misal, kamu belum sempat mengerjakan tugas.
Masalah: tugas yang belum dikerjakan.
Efek psikologisnya: rasa takut dan malas untuk sekolah. Tegang. Deg-degan. Apalagi kalau gurunya killer.
Betul?
Nah, seperti kita ketahui, untuk mengatasi masalah, kita butuh ketenangan, butuh fokus terhadap akar masalah, dan butuh pikiran yang jernih, serta alam bawah sadar yang ‘berfungsi baik’.
Semua itu bisa kita dapatkan, jika kita mampu mengatasi terlebih dahulu efek psikologis dari masalah tersebut. Kadang malah, efek psikologis yang kita rasakan, jauh lebih ‘parah’ dari masalah intinya sendiri.
Yah, jangan jauh-jauh deh, orang yang ada masalah sama pacarnya biasanya gitu tuh. Masalahnya sepele, eh sakit hatinya (di)gede(-gedein). Repot dah.
Lantas, apa kaitannya dengan menangis?
Menangis, paling nggak, bisa membantu kita mengeluarkan efek psikologis itu dari dalam diri kita. Menangis terbukti bisa membuat kita lebih relax dan plong. Ketika kita sedih, lewat tangisan, kita sebenarnya sedang mengeluarkan rasa sedih itu agar tidak menyesaki hati dan dada kita. Jadi, kenapa mesti ditahan kalau emang mau nangis?
Setali tiga uang dengan menangis, kegiatan yang sifatnya mengeluarkan tenaga juga baik lho dalam mengeluarkan efek psikologis tersebut. Misal, daripada kemarahan kita nggak tersalur dengan benar, mending mukul-mukul bantal deh: kemarahan kita tersalurkan, dan tidak perlu ada korban!
Jangan mukul barang pecah, kaca, apalagi barang-barang mahal. Selain karena akan ada yang terluka (tangan kamu misalnya, jadi berdarah), khusus untuk barang-barang mahal, kantong kamu akan mengalami krisis. Jadi, kasihanilah kantongmu juga. Taatilah program orangtuamu dalam memerangi krisis. Setuju?
Biasanya, jika aku sedang mengalami masalah, aku akan sedikit memanjakan diriku. Aku pergi ke toko atau minimarket, membeli cola, cokelat, atau apapun yang kuinginkan pada saat itu. Tidak masalah jika uang yang aku keluarkan agak sedikit melebihi anggaran harianku—aku tahu jiwaku membutuhkan sedikit penyegaran.
Setelah itu, aku akan berdiam diri di kamar, lalu menyesap colaku dengan nikmat. Menghayatinya seperti tokoh utama dalam film-film atau sinetron saat mereka tengah galau, saat mereka tengah merenungi kehidupan. Lalu memakan cokelat. Atau sambil mendengarkan musik. Aku membuat suasana serileks mungkin, sambil berusaha menganalisis masalahku.
Hasilnya?
Kalaupun aku tidak mendapatkan solusi yang tepat pada saat itu, paling tidak efek psikologis dari masalah itu sedikit banyak berkurang, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih.
Dan itu menyenangkan.
Suatu hari, aku juga pernah mengalami turbulen (gangguan, keresahan) dalam hidup dimana aku merasa sangat-sangat sendirian. Karena perasaan itu menyesakkan dadaku sepanjang malam, pagi harinya setelah shalat subuh, aku mematikan lampu dan sambil mendengarkan lagu Letto, “Sebelum Cahaya”, aku menangis tersedu-sedan. Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bahwa: dalam keadaan gelap pun, dalam keadaan banyak masalahpun, Tuhan selalu ada, lewat begitu banyak anugerahnya yang—sayangnya—seringkali tidak mampu kita lihat.
Pada saat itu aku menangis karena menanggungkan rindu yang teramat berat pada Tuhan, pada kebahagiaan sejati yang mestinya aku miliki, andai saja aku lebih banyak bersyukur dan melapangkan hatiku dengan ikhlas dan keyakinan yang teguh.
Fiuh… kembali ke bahasan.
Tapi, seperti kata Jeanne Webster, kita mesti memberikan batasan waktu untuk ‘having fun n cry’ itu. Tarolah, sehari atau dua hari, sejam atau dua jam, kita alokasikan untuk ‘menangisi masalah’. Tapi setelah itu, kamu harus komit untuk bangkit lagi! Jangan jadi berlarut-larut.
Kalau jadi berlarut-larut, menangis yang asalnya baik, bakal seperti air hujan yang datang terus-menerus ke daerah yang got dan sungainya penuh sampah: banjir! Kamu malah akan mengundang masalah lain. Jadi double deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar