Bagiku, ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, maka ia dihadapkan pada tiga sikap: menyalahkan Tuhan, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan diri sendiri.
Anggap saja kamu mendapatkan suatu masalah tertentu, maka, biasanya ada orang yang berkata seperti ini, “Ya Allah, perasaan aku ibadah terus kepada-Mu. Perasaan aku baik deh. Tapi kenapa kok aku dikasih masalah kayak begini!”
Sinyal kuat: menyalahkan Tuhan.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara dia. Coba kalau dia nggak datang telat, pasti kita udah, bla, bla, bla, bla. Dasar orang nggak tahu diuntung. Jadi aja semuanya kena masalah.”
Wow, sinyal kuat: menyalahkan orang lain.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara aku. Seharusnya aku tidak meminjaminya buku itu. Seharusnya aku mencegahnya. Seharusnya aku bersikap lebih baik.”
Hmm, sinyal kuat: menyalahkan diri sendiri.
Potensi perbaikan: positif!
Mari kita lakukan analisa kecil-kecilan: ketika kita menyalahkan Tuhan, kita memancarkan gelombang negatif, sehingga justru akan mendatangkan hal-hal negatif yang lain. Sebenarnya, Tuhan telah menciptakan sistem kerja alam semesta yang demikian agung dan seimbangnya, kitalah sendiri yang dungu dalam menggunakannya. Tambah dungu lagi kalau menyalahkan-Nya.
Bagaimana dengan menyalahkan orang lain?
Ha!
Menyalahkan orang lain tidak akan pernah membantu menyelesaikan masalah. Jika dosen-dosen dan mahasiswa bergelut dalam sikap menyalahkan orang lain (dalam hal ini pemerintah) tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki negeri ini, maka semua omongannya yang membusa tidak akan mengubah apa-apa. Ketika kita saling menyalahkan dan tidak mau introspeksi, biasanya yang mengambil alih diri kita adalah nafsu kita, dan hati kita tenggelam, redup, nyaris mati!
Suatu ketika, persahabatan yang dijalin oleh tiga orang perempuan mengalami benturan. Si A dan si B merasa si C adalah orang yang tinggi hati, sombong, sok kaya, dan bullshit abeez (yup, with doble “e” and “z”). Si A dan si B ini berkomplot untuk mengeluarkan si C dari gengnya tersebut. Kepada siapapun yang mau mendengarkan, secara tidak langsung, si A dan si B, menyalahkan si C untuk banyak hal yang terjadi kepada mereka bertiga.
Di sisi lain, si C, yang rupanya, bukan seorang yang introspektif, juga menyalahkan si A dan si B yang nggak bener, mau menang sendiri, kalau ngomong suka nyakitin hati orang, munafik, dan lain sebagainya.
Akibat sikap saling menyalahkan itu, jangankan mendapatkan kemungkinan untuk menemukan titik temu agar permasalahan selesai dan silaturahmi kembali terjalin. Yang ada malah dendam tersembunyi, suatu perasaan terdzalimi dalam hati masing-masing yang tak berujung. Kacau.
Apa jadinya jika mereka mengambil sikap menyalahkan diri sendiri?
Si A dan si B mungkin akan lebih toleran terhadap sikap si C dengan menyadari bahwa mereka pun bukan tipikal sahabat yang sempurna. Bahwa si C pun bukanlah dan tidak mungkin bisa menjadi sempurna. Tapi mereka, dengan kearifan masing-masing, jika mau menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin, bisa membuat persahabatan yang sempurna.
Si C juga akan introspeksi terhadap kesalahannya. Akan lebih toleran dan mau menerima sikap si A dan si B. Bahkan, dia bisa saja, malah meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat masalah itu terjadi. Jika, semuanya ditanggapi dengan hati lapang dan jauh dari emosi negatif dan kemarahan yang kotor, maka, suatu jalin persahabatan yang lebih kokoh dan lebih tulus insya Allah akan terjalin.
Ilustrasinya seperti ini: ketika kita menyalahkan orang lain, maka kita seolah ‘menyerahkan’ penyelesaian masalah tersebut kepada orang lain, sehingga kita hanya menunggu orang lain menyelesaikan masalah kita. Menunggu, kawan. Hanya menunggu! Seperti menunggu tangga yang kamu injak menjadi escalator yang bisa berjalan sendiri dan mengantarkanmu ke penyelesaian masalah—uuh! Kapan?
Tapi jika kita menyalahkan diri sendiri, itu artinya, kita mengambil tindakan yang sangat krusial. Kita tidak menyerahkan diri kita untuk menunggu tangga yang kita injak itu menjadi escalator, tapi kita menaiki sendiri tangga itu, sehingga kita bisa mengefisienkan waktu, karena kita melakukan aksi! Bukan menjadi reaksi!
Apa itu artinya menyalahkan diri sendiri adalah sikap terbaik?
Tidak juga. Selama sikap ini masih dalam kadar yang wajar, dalam artian sikap menyalahkan diri sendiri ini melahirkan efek introspeksi yang bagus, membuat kita sadar untuk memperbaiki diri dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan masalah kita, maka sikap ini adalah sikap yang baik.
Tapi jika sikap ini sudah melampaui batas yang wajar, dalam artian, malah membuat kita menjadi paranoid dan jadi terlalu menyalahkan diri sendiri sehingga merasa depresi dan frustasi karena merasa diri selalu berbuat salah dan tidak pernah mampu berbuat baik, maka sikap ini juga jadi salah dan tidak baik.
Artinya?
Yah, kalau menurutku sih, segala sesuatunya memang harus seimbang dan tidak berlebihan. Jadi, pandai-pandailah membaca diri dan gejala dari kedua jenis sikap menyalahkan diri sendiri tersebut di atas. Demikian. Terimakasih. Chayo. Hehe.
super kangm,, mantab benar-benar pencerahan...
BalasHapus