Albert Einstein pernah berkata, “Semua kenyataan yang terlihat sesungguhnya hanyalah ilusi, sebuah tipuan mata yang sangat kuat dan sulit dihapuskan.”
Kawan, bolehkah aku bertanya? Terimakasih. Apakah sewaktu dulu kamu pernah diajari bahwa kita bisa ‘melihat’ karena mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekeliling kita—terlepas dari manapun sumber cahaya itu?
Kita bisa melihat batu, karena batu itu memantulkan cahaya matahari yang menyinari batu itu kepada mata kita. Coba matikan lampu kamar dan kamu tidak akan bisa melihat apapun yang ada di kamar. Dan mari kita nyalakan lampu—oh, lihatlah kamarmu yang berantakan itu!
Apakah semua itu cukup membuktikan bahwa kita bisa melihat karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat tersebut?
Sayangnya, kawanku, dan maafkan aku, pernyataan itu, paling tidak menurutku sendiri, tidak sepenuhnya benar. Oke, oke, kita memang bisa melihat karena ada cahaya yang masuk ke mata kita. Aku setuju untuk hal itu. Tapi, apa yang kita lihat bukanlah realitas. Bukanlah kenyataan. Kenapa? Karena…
1. Menurut teori ilmu fisika kuantum—dan akan kuusuhakan untuk menceritakannya dengan mudah—dalam dimensi kuantum, sebenarnya tidak ada yang namanya benda padat, benda cair, udara, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Karena semua ‘benda’, dalam dimensi kuantum, adalah energi vibrasi yang saling membaur, tak ada batasan, tak ada jarak. Energi ini berputar dengan sangat cepat dan karenanya tidak bisa ‘dilihat’. Bagian dari energi vibrasi yang putarannya lambat akan ‘terlihat’ sebagai benda padat, cair, udara, dan lain sebagainya. Akan ‘terlihat’ sebagai manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Di sini, benar sekali Firman Tuhan yang menyatakan bahwa dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
2. Menurut teori psikologi, segala apapun yang kita lihat, sangat dipengaruhi oleh persepsi. Persepsi artinya kurang lebih cara kita ‘melihat’ sesuatu. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik kita, karakteristik objek, dan situasi saat proses pemersepsian terjadi. Mari kita ambil contoh: sebuah pulpen! Bagi kita, pulpen adalah alat tulis, yang bisa memudahkan kita dalam mencatat pelajaran di kelas atau menulis surat atau untuk menandatangani slip setoran saat kita hendak menabung di bank. Tapi bagi masyarakat pedalaman yang jauh dari pengaruh globalisasi, pulpen bisa jadi dianggap sebagai benda yang berbahaya. Karena mungkin saja dahulu, saat mereka menggunakan ‘benda itu’, mereka kehilangan sebagian tanahnya. Maka, mereka mempersepsikan pulpen sebagai benda pembawa sial. Lihatlah, betapa berbeda apa yang dilihat kedua ‘jenis orang’ itu terhadap sebuah pulpen.
Segala sesuatu yang terjadi pada kita, atau dengan sengaja dan tidak sengaja kita tarik ke dalam kehidupan kita, sebenarnya sama saja. Semua itu hanyalah ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Kita ‘lah, dengan persepsi yang kita gunakan, yang melabeli semua itu dengan ‘masalah’, ‘keberuntungan’, ‘rezeki’, ‘kesialan’, dan lain sebagainya, tergantung dari bagaimana ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ itu memberikan pengaruh psikologis kepada kita. Jadi, ini semua bukan tentang the gun, kawan, tapi tentang the man behind the gun. Dan itu kamu. Selamat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar