Sabtu, 02 Oktober 2010

Ekspektasi Vs Realita

Jika semua yang terjadi dalam hidup kita sesuai dengan harapan kita, maka kita tidak sedang berada di dunia. Mungkin di suatu tempat yang jauh dalam dongeng, di surga seperti yang sering dikisahkan oleh orangtua kita, atau di tempat-tempat yang jauh di mana segala sunnatulloh tidak berlaku.
Tapi kita sudah sepakat, kawanku, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, bahwa masalah adalah istilah yang kita gunakan untuk ‘sesuatu’ yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita.
Jika kita menginginkan teman kita datang tepat waktu dan ia terlambat, maka kita kecewa, dan itu masalah. Jika kita menginginkan punya motor untuk bisa dipakai ke sekolah dan ternyata kita tidak punya—dan ditambah sedikit sikap kekanak-kanakkan—maka itu akan menjadi masalah. Jika kita mendambakan guru yang sangat toleran, lalu mendapatkan guru yang killer, maka itu menjadi masalah. Jika kita bangun pagi dan kejeduk pintu—aduh—maka itu juga masalah.
Intinya, masalah itu terjadi ketika ekspektasi (harapan) kita tidak sesuai dengan kenyataan yang kita alami. Tentu saja maksudku, kenyataannya itu berada di bawah ekspektasi kita, atau dengan kata lain, lebih buruk.
Aku berangkat dari rumah sejak pagi buta. Dengan menaiki bus non AC, di pagi hari, di suatu hari Selasa yang cerah, aku begitu bersemangat ingin segera bertemu dengan sahabatku itu.
Dia, berdasarkan smsnya tadi malam, mengaku bahwa ia begitu merasa putus asa oleh masalah yang sedang dia hadapi. Aku begitu mengenal dia, dan karenanya, bayangannya tengah terpuruk, begitu mengganggu pikiranku. Aku cemas.
Sebentar, jika kamu berpikir aku ke sana untuk menyelesaikan semua permasalahannya seperti yang dilakukan agen rahasia Amerika dalam film-film mereka, kamu salah besar.
Aku ke sana justru ingin mengajaknya nonton bareng. Paling tidak, aku ingin mendengarkan keluh kesahnya. Menjadi tempat sampah bagi semua unek-uneknya. Berharap dia bisa lebih tenang, tak lebih dari itu.
Saat aku sampai di Bandung, aku mengiriminya sms dan mengatakan bahwa aku sudah sampai. Tapi ia tak kunjung membalas smsku. 10 menit berlalu. 15 menit, aku kembali mengiriminya sms, tapi ia tetap tak membalas.
Aku berpikir positif: mungkin dia sedang di jalan. Tapi setengah jam berlalu dan dia tak kunjung datang. Dan aku tetap menunggu, sambil masuk ke toko buku dan melihat dari rak ke rak.
Dua jam sudah, dan ia tak datang.
Hatiku dongkol. Aku ke sini untuk membantunya, dan ia bahkan tak mau membalas smsku. Paling tidak, katakan tidak bisa, jika memang dia tidak bisa. Tapi ini, sama sekali tak ada kabar? Dianggap apa aku ini?
Ekspekstasiku akan ngobrol bareng dengannya, membayangkan aku membantunya sebisaku menyelesaikan masalahnya, lalu nonton bareng sambil bercanda, membuatku begitu sakit hati.
Ini sama sekali jauh dari realita yang kuhadapi. Dan itu adalah masalah, masalah besar bagiku, hingga aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk menjaga persepsiku tentang sahabatku itu. Sampai akhirnya, ia mengirimiku sms, dan meminta maaf sambil menjelaskan alasan ketidakdatangannya. Ajaibnya, itu saja sudah cukup untuk membuatku mau memaafkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar