Judul sub-bab ini memang sedikit ambigu. Di satu sisi, nyaman dalam (menghadapi) masalah tentu penting agar kita bisa fokus terhadap penyelesaian masalah dan bukannya terpuruk oleh efek-efek dari masalah yang ditimbulkan. Kenyamanan dalam kasus ini lebih mengarah kepada ketenangan diri dan jiwa. Ketenangan batin. Ketenangan dalam alam bawah sadar.
Sedangkan kenyamanan dalam masalah yang aku imbau untuk diwaspadai adalah rasa nyaman dalam gelimang masalah, dalam rasa kesal akan masalah, dalam rasa menjadi korban untuk setiap nasib buruk yang menimpa. Kenyamanan yang membuatnya bisa lari dan sembunyi dari kewajiban alamiahnya untuk menyelesaikan masalah. Kenyamanan jenis ini harus ‘diobati’.
Kenyamanan jenis ini membuat dia menjadi benci terhadap hidup. Tak peduli lagi pada semua hal. Ia menyalurkan rasa frustasinya terhadap masalah hidup dengan kesenangan sesaat yang ditawarkan narkoba dan minuman keras. Yang ditawarkan seks bebas.
Ia, karena rasa nyaman terhadap nasib buruk yang menimpanya, tanpa ia sadari, cenderung mengaplikasikan kemarahannya itu ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Jalan untuk keluar dari masalah itu biasanya masih terbuka lebar. Atau paling tidak masih ada. Tapi ia sendiri yang ‘memilih’ untuk tidak membukanya. Untuk tidak mau menyelesaikan masalah.
Ia memilih ‘menghancurkan’ dirinya gara-gara masalah itu daripada menyelesaikan akar masalahnya dan membuat hidupnya lebih baik. Dan ini semua, disadari atau tidak, adalah karena adanya rasa nyaman menerima masalah itu. Atau ‘mensyukuri’ masalah tersebut.
Salah seorang temanku berinisial M (laki-laki, 21 tahun) jarang masuk kuliah belakangan ini (akhir tahun 2008). Sekalinya masuk, ia lebih nyeleneh dan membangkang daripada biasanya. Air mukanya selalu kusut. Ia seperti orang mabuk. Tingkahnya seperti orang frustasi. Tapi ia jadi lebih sering tertawa. Terlalu riang gembira untuk menyadari bahwa dirinya sebenarnya tengah bermasalah.
Masalah dia adalah dia diputuskan oleh pacarnya—yah, terdengar cengeng memang. Lebih menyakitkan lagi, pacarnya itu selingkuh dengan orang yang notabenenya lebih kaya daripada dia. Tak terima dengan hal ini, dia langsung ‘menyerang’ dirinya sendiri selain juga menyebarkan ‘teror’ untuk mantan pacarnya itu.
Ia pernah meminta saran kepadaku bagaimana cara untuk melupakan mantannya itu, dan aku memberinya saran seperti yang biasa aku berikan: berusahalah untuk jujur, untuk menerima, dan jangan berusaha melupakannya karena ini justru akan membuatmu tambah susah melupakannya—karena apa yang kita tolak justru akan bertahan, seperti kata Carl Jung.
Ia tak menanggapi usulanku dengan serius. Kondisinya, dalam pandanganku dengan analisa asal-asalanku tentunya, justru bertambah buruk. Ketika aku, sekali lagi melakukan observasi tanpa ia sadari, aku menyadari bahwa pangkal dari sikapnya yang tambah buruk itu adalah: keinginannya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa ia hancur gara-gara mantan pacarnya tersebut!
Sepertinya, sikap itu memberikan kenyamanan tersendiri kepada dirinya, sehingga ia malah menutup sendiri semua kemungkinan jalan keluar dari masalahnya tersebut. Ia bangga dengan kehancuran dirinya. Ia bangga melihat mantan pacarnya serba salah (atau pura-pura serba salah?), karena hanya dengan begitu, ia merasa sudah ‘membalas dendam’ terhadap kejahatan ‘nasib buruk’ yang sudah menimpanya.
Mari kita pikirkan, apakah baik merasa (dan berlaku) seperti itu?
Aku pernah merasakan itu. Tapi jika kita ubah pola pandang kita, maka kita akan mendapati diri kita mendapatkan kerugian yang berlipat ganda. Pertama, kita sudah dicampakkan. Kedua, kita menyiksa diri kita sendiri. Ketiga, kita menghancurkan masa depan kita sendiri. Keempat, apakah itu juga akan menghancurkan masa depan mantan pacar kita? Belum tentu, bukan? Bukankah itu sama sekali tidak keren? Bukankah lebih baik kita hadapi saja masalah ini, akui dengan lapang dada, tersenyum untuk rasa sakit, dan selalu berusaha melihat sisi positifnya?
Berusaha sekuat tenaga untuk menjadi diri kita apa adanya. Jangan ada usaha untuk membuktikan diri lebih baik dari pacar baru mantan pacarmu itu karena itu sama buruknya dengan usaha untuk menghancurkan diri sendiri. Kamu akan menyeret diri kamu sendiri dalam suatu persaingan tidak sehat, dimana kamu akan selalu merasa di belakang, merasa kalah, dan bisa membuatmu terlalu sibuk untuk meniru pacar baru mantan pacarmu sehingga kamu lupa akan esensi hidup kamu untuk menjadi diri kamu sendiri.
Putus cinta itu memang sakit, tapi sebenarnya, ini sama sekali tidak rumit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar