Bahkan terhadap Tuhan pun kita seringkali tidak mau jujur. Tidak mau blak-blakan. Seolah jika kita menyembunyikan beberapa hal itu, Tuhan tidak akan tahu, dan itu membuat kita aman.
Salah, kawan. Salah.
Bayangkan ini.
Kamu baru saja menerima lembar daftar nilai untuk pra-ujian nasional dan kamu mendapati nilai matematika kamu dibawah nilai standar untuk bisa lulus. Kamu memandanginya berkali-kali, berkedip berkali-kali, dan nilai matematika kamu tetap dibawah standar nilai untuk bisa lulus. GAWAT!
Kamu baru saja mendapat pesan dari gurumu untuk menunjukkan lembar daftar nilai tersebut kepada orangtuamu untuk ditandatangani. Oke, ini hanya pra ujian, hanya pemanasan, dan orangtuaku tidak akan marah, kamu berkata kepada diri sendiri. Tapi benarkah begitu? Bukankah tidak lulus sekolah adalah ‘petaka’ yang haduh, masya Allah, sangat menyakitkan hati, ‘membunuh’ masa depan kita? Bukankah jika tidak lulus, semua investasi orangtua kamu akan ‘sia-sia’?
Tapi aku harus tegar, aku harus tegar. Ah, masalah seperti ini, kenapa mesti ditakutkan? Ini cuma hal sepele, ini cuma hal sepele, ini… cuma… hal… sepelekah? Benarkah ini hanya urusan sepele? Kamu mulai gamang.
Kawan, menjadi pemberani, bukanlah menjadi orang yang tidak memiliki rasa takut. Menjadi seorang pemberani adalah menjadi seseorang yang berani mengakui ketakutannya, berani mengakui kelemahannya, karena ia tahu, dengan begitu ia bisa belajar lebih kuat.
Jujur, kawanku, jujur! Akui saja kalau kamu punya masalah.
Oke, aku tahu aku tidak lulus pra ujian matematika, dan ini sangat menyakitkanku. Aku sudah belajar mati-matian untuk ini tapi tetap saja tidak lulus. Aku tahu aku bisa, aku tahu aku masih punya waktu sebulan untuk membenahi kemampuanku.
Aku tahu aku tidak lulus karena pola perhitungan nilai pra ujian ini menerapkan pola perhitungan SMPB, padahal untuk ujian nasional tidak menerapkan pola perhitungan seperti itu. Jika pola perhitungan biasa yang digunakan aku tentu saja bisa lulus, walaupun dengan nilai pas-pasan. Tapi yang penting aku lulus, bukan?
Oke, aku takut akan dimarahi oleh orangtuaku. Dan itu wajar bagi mereka, karena aku telah mengecewakan mereka. Terus terang Tuhan, aku gugup memberikan lembar nilai ini kepada orangtuaku. Aku gugup dan takut. Aku bisa saja menjelaskan semua hal kepada mereka, termasuk tentang pola perhitungannya yang ‘aneh’, namun apakah mereka akan percaya?
Baiklah, begini saja, aku tahu aku takut. Sangat takut malah. Tapi aku ini bukan pengecut. Aku pernah mengalami masalah yang lebih buruk dari ini dan bisa melaluinya. Masak untuk masalah seperti ini saja takut? Baiklah, apa yang perlu kulakukan untuk membuat semua ini menjadi lancar….
Beberapa temanku—dan kebanyakan perempuan—pernah meminta saran kepadaku bagaimana caranya melupakan pacar yang mengkhianati mereka, yang mencampakkan mereka. Biasanya, aku memberikan saran seperti ini: terima saja dia sebagai bagian dari masa lalumu. Jujur, jangan berpura-pura dia tidak pernah spesial dalam hidupmu, tidak pernah hadir dalam hidupmu. Terima itu apa adanya. Baik dan buruknya. Jangan pernah berusaha melupakannya, karena semakin keras kamu berusaha, semakin susah kamu untuk melupakannya. Terima saja.
Syukuri semua hal yang (masih) kamu miliki. Jalani kehidupan dengan sebaik mungkin menerapkan teknik husnu dzan. Nikmati perjalanan hidup ini apa adanya. Tuhan selalu punya rencana dibalik setiap hal. Nikmati saja, sampai kelak, di suatu saat di masa depan, kamu akan kaget menyadari kamu secara ‘tidak sadar’ telah mampu ‘melupakannya’. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar