Tekadku sudah bulat.
Aku hanya akan mengikuti pelatihan ini sampai materi kedua selesai, atau dengan kata lain, sampai waktu istirahat shalat tiba. Lagipula, aku harus bergegas ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam, yang telah melewati batas akhir pengembalian.
Dan materi keduapun selesai. Aku sampai berpikir ingin mengajak pemateri itu menulis buku, karena materi yang dibawakannya cukup menarik, dan memiliki cakrawala pandang yang luas. Well, aku berjalan ke belakang, duduk dengan beberapa teman, sambil mencari momen yang tepat untuk keluar dari ruangan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada panitia pelatihan.
Tapi rupanya pemateri ketiga berkata lain.
Di luar hujan deras dan panitia mencoba bernegosiasi dengan pemateri agar berkenan menunggu barang 20 menit agar peserta bisa shalat dzuhur. Pak Pemateri berkata, “Kasih opsi saja pada peserta. Mereka mau istirahat dulu untuk shalat, ataukah saya ngasih materi dulu, nggak akan lama, paling sampai 40 atau 45 menit, sambil menunggu hujan reda.”
Walaupun voting yang dilakukan berakhir dengan hasil untuk istirahat terlebih dahulu, tapi rupanya, Pak Pemateri berkehendak lain. Ia berjalan ke depan ruangan dan dengan menggunakan otoritasnya sebagai salah seorang dosen di kampusku, ia berkata, “Baiklah, saya minta izin sekitar 25 menit untuk memberikan materi—saya ada urusan penting setelah ini. Saya harap kalian maklum.”
Ia mempersingkat jangka waktu pemberian materi sampai hanya 25 menit. Akhirnya, mau tidak mau, kami pun setuju. Hallow, apakah aku terlalu bertele-tele? Baiklah, apa kaitannya dengan buku ini?
Kawan, Pak Pemateri itu memberikan uraian tentang berpikir kreatif.
Trus?
Beliau membagikan hand out materi kepada setiap peserta, dan sambil mendengarkan, aku membaca hand out tersebut sambil kesal karena rencanaku ke perpustakaan daerah terhambat karena keegoisan Pak Pemateri ini.
Aku membuka halaman kedua dengan malas, lalu… “AHA! Tidak, tidak mungkin. Tapi, oh, great! Haha. Yes!” Hatiku bahagia tak terkira. Mendadak rasa kesalku berubah menjadi rasa syukur karena di sana, di halaman kedua hand out tersebut, aku menemukan satu bagian yang menjelaskan urutan tahapan berpikir kreatif itu, lalu menyadari satu hal… apa yang tertulis di sana, sesuai dengan buku ini—buku yang sedang kukerjakan!
Oke, oke, langsung ke intinya—I got it, I got it. Thank you.
Jadi, kita bisa menyelesaikan masalah kita, dengan menggunakan cara berpikir yang kreatif, sehingga menghasilkan solusi yang kreatif, yang fresh, yang baru, yang mudah-mudahan bisa membuat masalah kita bisa lebih cepat dan mudah teratasi tanpa menghasilkan efek domino yang parah.
Apa saja tahapan itu? Inilah dia….
1. Orientasi : rumuskan dan identifikasi masalah kita. Aku pikir, aku sudah menjelaskan banyak tentang ini, jadi bagaimana kalau aku langsung saja menginjak ke poin 2? Baiklah, terima kasih….
2. Preparasi : kumpulkan semua informasi yang berkenaan dengan masalah kita. Untuk memperjelas masalah, agar bisa diuraikan sehingga bisa terlihat mana akar masalahnya; bisa melihat sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan lain sebagainya yang penting untuk mencari alternatif terbaik dari masalah tersebut.
3. Inkubasi : terkadang kita menemui hambatan dan jalan buntu, sehingga titik terang dari masalah itu, tak kunjung terlihat. Kita berusaha terus mencari solusi, dan pada satu titik, kita merasa otak kita sudah demikian ‘panas’ hingga rasanya mau ‘pecah’. Di sinilah, kamu perlu mengambil waktu untuk ‘mengistirahatkan’ otakmu. Lalu, bagaimana dengan masalah kita kalau tidak cepat diselesaikan? Tenang. Sewaktu otak sadarmu beristirahat, problem solving process masih terus berjalan di otak bawah sadarmu, sampai….
4. Iluminasi : “Eureka!” kamu mendapatkan pencerahan, solusi kreatif, insight, yang terang-benderang, yang mengurai simpul rumit dari jerat masalah yang kamu hadapi. Maka jangan heran, bila tiba-tiba pada saat sedang ‘pup’, kamu mendapatkan solusi kreatif dari masalah yang sedang kamu hadapi—itu artinya, kamu sedang mengalami proses iluminasi. Saranku hanya satu: jangan lupa bersih-bersih dulu dan pakai celana sebelum kamu keluar dari kamar mandi, oke?
5. Verifikasi : Hmm, well, tidak selalu hasil dari proses iluminasi itu benar secara sempurna. Sehingga, kita masih tetap harus melakukan pengujian, analisis, dan pengevaluasian terhadap hasil dari pencerahan yang kamu dapatkan itu. Jika hasilnya positif, maka ‘mari dukung terus, lanjutkan!’ Haha. Dan jika negatif, mari duduk sejenak, dan biarkan pikiran kreatif kita menuntun kita kepada pencerahan yang lebih positif, yang lebih bisa memberikan penyelesaian terbaik dengan risiko minim.
Sampai pada akhirnya aku berhasil keluar dari ruang pelatihan itu, aku bergegas ke perpustakaan daerah, setelah shalat dzuhur terlebih dahulu, tentu saja. Sesampainya di sana, aku menemukan pintu perpustakaan sudah tutup. Pagarnya pun sudah dikunci. Aku terlambat. Sial!
Sejenak aku memerhatikan seorang gadis, anak SMP, sedang berdiri—sepertinya sedang menunggu seseorang—sambil memainkan hapenya—hmm, cantik juga, hehe. Sempat terlintas dalam benakku untuk sekedar menanyakan ima nanji desu ka?¬—jam berapa sekarang?—tapi aku tahu, inspirasi yang datang pada saat pelatihan tadi, menyuruhku untuk cepat-cepat pulang—hei, lagipula, buat apa menggoda gadis itu, eh? Aku takut ia tak bisa sekolah keesokan harinya karena demam jika aku mendekatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar