Sabtu, 02 Oktober 2010

Just Relax

Tentu saja ini jadi terasa sangat melelahkan. Benar-benar melelahkan. Jika waktu shalat tiba, suatu perasaan kesal segera saja hinggap, dan aku menjadi malas untuk shalat.
Kisah ini dimulai dari gejala penyakit was-was yang cukup akut yang mengangguku. Pada saat itu, setiap kali wudlu, aku sering dihinggapi ketakutan yang berlebihan kalau-kalau wudluku tidak akan diterima, tidak akan sah.
Segala macam hipotesa yang coba aku jelaskan kepada diriku sendiri—bahwa menurut ilmu fiqih yang kupahami, wudluku sudah cukup, sudah sah. Tapi tetap saja ‘sebagian diriku yang lain’ tidak mau menurut. Dan selalu, aku harus merasa bahwa wudluku tidak sah, yang tidak jarang membuatku harus mengulang dan mengulangi lagi wudluku. Berkali-kali. Membuatku basah kuyup.
Jika ini terjadi sekali, okelah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi jika ini terjadi setiap hari, setiap kali waktu shalat, maka semakin lama, ini semakin merepotkan. Gejala ini segera saja mulai melebar, mulai dari niat shalat yang jadi terasa susah, sehingga aku harus berulang-ulang kali mengulangi niat, dan seringkali dibuat kesal, karena untuk wudlu dan niat shalat saja aku harus menghabiskan waktu sampai 15 menit bahkan mungkin 30 menit. Sedangkan shalatnya sendiri paling cuma 5 menit!
Tentu saja ini menjadi terasa sangat melelahkan secara psikologis. Secara mental. Apalagi jika sedang berada dalam kondisi tegang, maka yang aku rasakan biasanya lebih parah lagi. Ini membuat jantungku sedikit berdetak tak normal. Ini disebut gejala obsesif kompulsif. Aku terobsesi pada pikiran bahwa wudluku tidak sah yang memaksaku untuk mengulang dan mengulangi lagi wudluku, hingga berkali-kali.
Ini adalah masalah bagiku dan aku harus menyelesaikannya!
Tapi semakin aku coba menyelesaikannya, semakin parahlah aku jadinya.
Suatu penyelesaian yang akhirnya ampuh membebaskanku dari penderitaan itu adalah hal ini: penerimaan diri dan relax. Jika saat wudlu aku was-was apakah wudluku sah atau tidak, aku serahkan pada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was dan karenanya Dia pasti memaklumi bahwa aku sedang berusaha untuk menghilangkan penyakit ini dengan mengabaikan ketakutanku itu.
Jika ketika shalat, aku merasa shalatku tidak sah, dan secara fikih jika kita merasa shalat kita tidak sah, maka shalat kita batal, aku akan kembali menyerahkannya kepada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was, sehingga Dia pasti Mengerti bahwa aku tetap melanjutkan shalat walau dengan hati yang kacau akibat merasa tidak sah semata-mata dalam rangka mengobati penyakitku.
Kesadaran itu, penyerahan itu, pengakuan dan penerimaan diri itu, dan ketenangan itu, membantuku melewati masa-masa itu yang berganti dengan masa-masa shalat penuh ketenangan dan rasa nyaman.
Jadi, kawanku, berpijak pada pandangan kawanmu yang aneh ini, marilah kita sama-sama menyepakati bahwa: ketenangan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah, lebih membantu kita berpikir jernih dalam mencari alternatif penyelesaian masalah yang terbaik—sehingga masalah bisa lebih cepat diselesaikan; sedangkan kegalauan, kekalutan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah justru membuat masalah kita jadi bertambah rumit dan rumit dan rumit lagi, karena jangankan mencari alternatif penyelesaian, mencari apa masalahnya sendiri akan terasa sulit. Setuju?
Baiklah, sedikit contoh: orang yang belum mengerjakan PR di rumah dan mengerjakannya di pagi hari beberapa menit sebelum masuk kelas (sambil mencontek), cenderung menjadi orang yang tegang dan terburu-buru. Akibatnya, dia mencontek sekenanya, dan tak jarang malah justru membuat jawabannya sangat salah—ah, tahu sendiri ‘lah, gimana rasanya, hahaha.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar