Sabtu, 02 Oktober 2010

Tuan Detektif

Aku menjalani masa-masa SMA, terlebih ketika kelas 1 dan 2 sebagai orang yang, yah, sedikit agak penting mungkin, lantaran menjabat sebagai ketua angkatan sebuah ekstrakurikuler. Aku menjadi orang nomor 1 di kalangan anggota kelas 1 di ekstrakurikuler tersebut, dan karenanya sering dijadikan tumbal oleh teman-temanku sesering dijadikan ‘pelampiasan’ oleh kakak-kakak tingkatku.
Tanggungjawab utama jabatanku itu kurang lebih untuk mempertahankan anggota agar mereka tidak keluar. Dan jangan dikira ini mudah. Aku harus belajar untuk membujuk teman-temanku yang berniat keluar yang jumlahnya cukup tinggi—hampir setengahnya!
Mau tidak mau, aku belajar untuk menjadi seorang pendengar keluhan yang baik, aku belajar untuk menjadi seorang yang peduli, aku belajar untuk menjadi seorang problem solver, aku belajar menjadi seorang perayu ulung. Dan setiap kali aku berusaha membujuk mereka, aku mendapati bahwa aku sedang membujuk diriku sendiri. Bahwa aku sebenarnya bukan sedang ‘menyembuhkan’ teman-temanku tapi sedang ‘menyembuhkan’ diriku sendiri.
Tapi pada saat-saat tertentu, aku, dengan segala keterbatasanku, sering merasa lelah, merasa tak kuat lagi. Merasa tak berdaya. Aku tak tahan lagi harus mengurusi teman-temanku yang rese dan sulit diatur. Aku tak tahan lagi harus (pura-pura) peduli pada keluh kesah mereka dan alasan kenapa mereka mau keluar dari ekskul tersebut. Aku tak mau terikat oleh aturan-aturan semacam ini lagi.
Aku stuck!
Tapi sebentar, mari kita lihat kondisi ini dari sisi lain. Apa semua tugas ini membebani dan menjadi masalah bagimu? Ya, benar. Baiklah, mari kita ubah sudut pandangnya. Setujukah?
Tentu saja.
Bagaimana kalau kita anggap setiap masalah yang kamu hadapi adalah sebuah kasus. Dan kamu adalah seorang detektif yang dipercaya untuk memecahkan kasus tersebut—hebat bukan?
Apa bedanya dengan menganggap masalah sebagai masalah saja?
Biarkan aku yang menjelaskan.
Ketika kita menganggap suatu masalah sebagai suatu kasus dan kita menempatkan diri kita sebagai seorang detektif yang hebat yang akan mampu memecahkan kasus tersebut, maka akan timbul keyakinan dan rasa nyaman dalam diri kita saat berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Akan ada gairah dan semangat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ketika ada gairah dan semangat maka peluang untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik pun menjadi lebih besar. Jika masalah itu, anggap saja bisa selesai dengan baik, maka ini akan menambah rasa percaya dirimu dan daya tahanmu jika kelak kamu menghadapi masalah-masalah lain yang serupa atau bahkan lebih besar daripada masalah tersebut. Bukankah seperti kata Nietszhe, apa yang tidak membunuh kita akan membuat kita lebih kuat?
Ketika kamu memposisikan diri kamu sebagai detektif dalam kasusmu ini, kamu menempatkan dirimu sebagai pemeran utama yang bisa mengubah ending dari film yang sedang kamu jalani. Kamu berubah menjadi orang penting yang harus diperhitungkan. Ketika kamu merasa seperti ini, maka kamu akan dapat menguasai masalah dan bukannya dikuasai oleh masalah.
Bagaimana dengan menempatkan masalah sebagai masalah?
Baiklah, seperti ini teorinya: jika merujuk pada ceritamu di atas, ketika kamu menempatkan masalah sebagai masalah, kamu sedang menempatkan dirimu sebagai korban dari masalahmu. Ketika kamu menempatkan dirimu sebagai korban, maka masalah kamu jadi bertambah: (1) masalah utama yang kamu hadapi, dan (2) efek ketidakyakinan dalam dirimu untuk menyelesaikan masalah karena kamu merasa sebagai korban. Akibatnya, kamu akan terus bergelung dalam masalah itu. Kamu mungkin bisa bertahan, tapi kamu jadi tidak akan ikhlas dan sering mengeluh dengan kondisimu. Kamu akan merasa tercekik di lingkaran setan yang tiada berujung. Ini akan membuatmu tambah tersiksa. Maka masalahnya menjadi berpangkat dua atau bahkan tiga—empat?—hiiih, males deh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar