Suatu hari, salah seorang temanku, seorang perempuan—anggap saja namanya F (16 tahun, saat itu)—curhat kepadaku tentang rasa kesalnya terhadap salah seorang sahabatku (mari kita anggap dia G, 16 tahun, saat itu). Sahabatku itu, menurut dia, adalah orang yang sombong dan sok yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain, terutama perempuan.
Sikap sahabatku itu membuat dia kesal dan akhirnya memutuskan keluar dari ekskulnya. Aku mendengarnya secara seksama, dan sebagian diriku juga tak mampu menyangkal bahwa beberapa sifat dari sahabatku itu memang menyebalkan. Bahwa aku juga pernah merasakan sakit hati oleh sikapnya.
Diakhir pembicaraan itu, temanku itu berkata, “Aku mah heran sama kamu, Fan. Kok mau-maunya berteman sama orang yang kayak gitu?” Karena tak tahu jawabannya, aku hanya tersenyum.
Diam-diam perkataan itu begitu membekas dalam diriku. Aku memikirkannya selama berhari-hari, mencoba mencari tahu kenapa aku mau berteman dengan sahabatku itu. Mungkin aku perlu memberitahumu bahwa salah satu kelemahanku adalah mudah terpengaruh oleh omongan orang.
Ketika pada saat istirahat berhari-hari kemudian aku ngobrol dengan sahabatku itu, tanpa sengaja obrolan kami beralih topik menjadi obrolan tentang F. G menceritakan beberapa hal buruk tentang F yang membuat sebagian diriku juga menyetujui itu, bahwa F juga sinis, sok, dan sedikit ‘kejam’.
Tiba-tiba sewaktu jam pelajaran selepas istirahat itu, aku bisa melihat masalah ini dengan lebih jelas. Tidak ada seorangpun yang sempurna, bukan? Barangkali dalam hati F dan G pun tersimpan begitu banyak keburukanku yang mereka simpan rapat-rapat dan (mungkin) akan mereka ceritakan kepada orang lain ketika mereka kesal terhadapku.
Lantas, apa makna kejadian tersebut bagi buku ini?
Kawanku, dalam melihat suatu masalah, kita harus melihatnya dari segala sudut, dari segala aspek. Kita harus berpikir holistik, melihat segala sesuatu secara menyeluruh. Jika saja pada saat itu, aku terburu-buru mengambil kesimpulan atas masalah yang dialami F, tentu hubunganku dengan G akan buruk. Tapi ketika aku melihat masalah itu dari banyak sudut (sudut pandang F dan G, paling tidak) aku bisa lebih jelas melihat inti dari permasalahan itu dan karenanya lebih terarah dalam mencari alternatif penyelesaian yang terbaik.
Apa akibatnya jika kita hanya melihat masalah dari satu sisi saja?
Dampak buruknya adalah kita tidak akan benar-benar tahu apa inti masalah yang kita hadapi, karena kita hanya melihat masalah itu dari satu perspektif saja yang pasti akan penuh subjektifitas. Jika kita tidak benar-benar tahu apa inti masalahnya, kita bisa mengambil jalan penyelesaian yang salah yang bisa berakibat fatal.
Contoh, suatu hari di kelas, pada saat pelajaran ekonomi, sewaktu SMA, guru kami sedang marah karena ada banyak siswa yang tidak mengerjakan soal. Sang guru geram. Ia lalu berkata dengan marah, “Ayoh, siapa yang tidak mengerjakan tugas, ke depan!”
Maka, satu persatu, teman-temanku yang tidak mengerjakan tugas maju ke depan. Dan, PLAK! PLAK! PLAK! Satu-persatu mereka ditampar. Lalu, jeda sejenak, tak ada lagi yang maju ke depan. “Ayoh, siapa lagi?” Ujarnya penuh amarah.
Seorang temanku yang ceking maju ke dekat si Bapak, dan… PLAK! “Kamu juga tidak mengerjakan tugas ya, eh?” Ujarnya geram penuh emosi.
“Tidak, Pak. Saya mengerjakan tugas. Saya ke sini mau minta izin ke belakang.” Temanku itu membela diri—walaupun terlambat!—sambil memegang pipinya yang baru saja ditampar.
“Oh,” ujar guruku malu. “Yaudah, silakan.”
Lihat, fatal bukan? Guruku mengambil ‘jalan penyelesaian’ tanpa melihat sudut pandang lain dari ‘masalah’ yang dihadapinya. Kami sekelas menahan tawa sambil menunduk.
Untuk menutupi rasa malu dan menjaga martabatnya di depan semua murid, guru kami itu kembali berujar dengan amarah, “Hayoh, siapa lagi yang merasa tidak mengerjakan tugas? Jangan sampai ada korban tidak bersalah seperti tadi! CEPAT!”
Tenggorokan kami kembali tercekat. Hmm, ayolah, Pak. Peace…. Haha.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar