Bagiku, ketika seseorang dihadapkan pada suatu masalah, maka ia dihadapkan pada tiga sikap: menyalahkan Tuhan, menyalahkan orang lain, dan menyalahkan diri sendiri.
Anggap saja kamu mendapatkan suatu masalah tertentu, maka, biasanya ada orang yang berkata seperti ini, “Ya Allah, perasaan aku ibadah terus kepada-Mu. Perasaan aku baik deh. Tapi kenapa kok aku dikasih masalah kayak begini!”
Sinyal kuat: menyalahkan Tuhan.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara dia. Coba kalau dia nggak datang telat, pasti kita udah, bla, bla, bla, bla. Dasar orang nggak tahu diuntung. Jadi aja semuanya kena masalah.”
Wow, sinyal kuat: menyalahkan orang lain.
Potensi perbaikan: negatif.
“Semua ini gara-gara aku. Seharusnya aku tidak meminjaminya buku itu. Seharusnya aku mencegahnya. Seharusnya aku bersikap lebih baik.”
Hmm, sinyal kuat: menyalahkan diri sendiri.
Potensi perbaikan: positif!
Mari kita lakukan analisa kecil-kecilan: ketika kita menyalahkan Tuhan, kita memancarkan gelombang negatif, sehingga justru akan mendatangkan hal-hal negatif yang lain. Sebenarnya, Tuhan telah menciptakan sistem kerja alam semesta yang demikian agung dan seimbangnya, kitalah sendiri yang dungu dalam menggunakannya. Tambah dungu lagi kalau menyalahkan-Nya.
Bagaimana dengan menyalahkan orang lain?
Ha!
Menyalahkan orang lain tidak akan pernah membantu menyelesaikan masalah. Jika dosen-dosen dan mahasiswa bergelut dalam sikap menyalahkan orang lain (dalam hal ini pemerintah) tanpa suatu tindakan nyata untuk memperbaiki negeri ini, maka semua omongannya yang membusa tidak akan mengubah apa-apa. Ketika kita saling menyalahkan dan tidak mau introspeksi, biasanya yang mengambil alih diri kita adalah nafsu kita, dan hati kita tenggelam, redup, nyaris mati!
Suatu ketika, persahabatan yang dijalin oleh tiga orang perempuan mengalami benturan. Si A dan si B merasa si C adalah orang yang tinggi hati, sombong, sok kaya, dan bullshit abeez (yup, with doble “e” and “z”). Si A dan si B ini berkomplot untuk mengeluarkan si C dari gengnya tersebut. Kepada siapapun yang mau mendengarkan, secara tidak langsung, si A dan si B, menyalahkan si C untuk banyak hal yang terjadi kepada mereka bertiga.
Di sisi lain, si C, yang rupanya, bukan seorang yang introspektif, juga menyalahkan si A dan si B yang nggak bener, mau menang sendiri, kalau ngomong suka nyakitin hati orang, munafik, dan lain sebagainya.
Akibat sikap saling menyalahkan itu, jangankan mendapatkan kemungkinan untuk menemukan titik temu agar permasalahan selesai dan silaturahmi kembali terjalin. Yang ada malah dendam tersembunyi, suatu perasaan terdzalimi dalam hati masing-masing yang tak berujung. Kacau.
Apa jadinya jika mereka mengambil sikap menyalahkan diri sendiri?
Si A dan si B mungkin akan lebih toleran terhadap sikap si C dengan menyadari bahwa mereka pun bukan tipikal sahabat yang sempurna. Bahwa si C pun bukanlah dan tidak mungkin bisa menjadi sempurna. Tapi mereka, dengan kearifan masing-masing, jika mau menyelesaikan masalah itu dengan kepala dingin, bisa membuat persahabatan yang sempurna.
Si C juga akan introspeksi terhadap kesalahannya. Akan lebih toleran dan mau menerima sikap si A dan si B. Bahkan, dia bisa saja, malah meminta maaf atas kesalahannya yang telah membuat masalah itu terjadi. Jika, semuanya ditanggapi dengan hati lapang dan jauh dari emosi negatif dan kemarahan yang kotor, maka, suatu jalin persahabatan yang lebih kokoh dan lebih tulus insya Allah akan terjalin.
Ilustrasinya seperti ini: ketika kita menyalahkan orang lain, maka kita seolah ‘menyerahkan’ penyelesaian masalah tersebut kepada orang lain, sehingga kita hanya menunggu orang lain menyelesaikan masalah kita. Menunggu, kawan. Hanya menunggu! Seperti menunggu tangga yang kamu injak menjadi escalator yang bisa berjalan sendiri dan mengantarkanmu ke penyelesaian masalah—uuh! Kapan?
Tapi jika kita menyalahkan diri sendiri, itu artinya, kita mengambil tindakan yang sangat krusial. Kita tidak menyerahkan diri kita untuk menunggu tangga yang kita injak itu menjadi escalator, tapi kita menaiki sendiri tangga itu, sehingga kita bisa mengefisienkan waktu, karena kita melakukan aksi! Bukan menjadi reaksi!
Apa itu artinya menyalahkan diri sendiri adalah sikap terbaik?
Tidak juga. Selama sikap ini masih dalam kadar yang wajar, dalam artian sikap menyalahkan diri sendiri ini melahirkan efek introspeksi yang bagus, membuat kita sadar untuk memperbaiki diri dan berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan masalah kita, maka sikap ini adalah sikap yang baik.
Tapi jika sikap ini sudah melampaui batas yang wajar, dalam artian, malah membuat kita menjadi paranoid dan jadi terlalu menyalahkan diri sendiri sehingga merasa depresi dan frustasi karena merasa diri selalu berbuat salah dan tidak pernah mampu berbuat baik, maka sikap ini juga jadi salah dan tidak baik.
Artinya?
Yah, kalau menurutku sih, segala sesuatunya memang harus seimbang dan tidak berlebihan. Jadi, pandai-pandailah membaca diri dan gejala dari kedua jenis sikap menyalahkan diri sendiri tersebut di atas. Demikian. Terimakasih. Chayo. Hehe.
Sabtu, 02 Oktober 2010
Berpikir Kreatif
Tekadku sudah bulat.
Aku hanya akan mengikuti pelatihan ini sampai materi kedua selesai, atau dengan kata lain, sampai waktu istirahat shalat tiba. Lagipula, aku harus bergegas ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam, yang telah melewati batas akhir pengembalian.
Dan materi keduapun selesai. Aku sampai berpikir ingin mengajak pemateri itu menulis buku, karena materi yang dibawakannya cukup menarik, dan memiliki cakrawala pandang yang luas. Well, aku berjalan ke belakang, duduk dengan beberapa teman, sambil mencari momen yang tepat untuk keluar dari ruangan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada panitia pelatihan.
Tapi rupanya pemateri ketiga berkata lain.
Di luar hujan deras dan panitia mencoba bernegosiasi dengan pemateri agar berkenan menunggu barang 20 menit agar peserta bisa shalat dzuhur. Pak Pemateri berkata, “Kasih opsi saja pada peserta. Mereka mau istirahat dulu untuk shalat, ataukah saya ngasih materi dulu, nggak akan lama, paling sampai 40 atau 45 menit, sambil menunggu hujan reda.”
Walaupun voting yang dilakukan berakhir dengan hasil untuk istirahat terlebih dahulu, tapi rupanya, Pak Pemateri berkehendak lain. Ia berjalan ke depan ruangan dan dengan menggunakan otoritasnya sebagai salah seorang dosen di kampusku, ia berkata, “Baiklah, saya minta izin sekitar 25 menit untuk memberikan materi—saya ada urusan penting setelah ini. Saya harap kalian maklum.”
Ia mempersingkat jangka waktu pemberian materi sampai hanya 25 menit. Akhirnya, mau tidak mau, kami pun setuju. Hallow, apakah aku terlalu bertele-tele? Baiklah, apa kaitannya dengan buku ini?
Kawan, Pak Pemateri itu memberikan uraian tentang berpikir kreatif.
Trus?
Beliau membagikan hand out materi kepada setiap peserta, dan sambil mendengarkan, aku membaca hand out tersebut sambil kesal karena rencanaku ke perpustakaan daerah terhambat karena keegoisan Pak Pemateri ini.
Aku membuka halaman kedua dengan malas, lalu… “AHA! Tidak, tidak mungkin. Tapi, oh, great! Haha. Yes!” Hatiku bahagia tak terkira. Mendadak rasa kesalku berubah menjadi rasa syukur karena di sana, di halaman kedua hand out tersebut, aku menemukan satu bagian yang menjelaskan urutan tahapan berpikir kreatif itu, lalu menyadari satu hal… apa yang tertulis di sana, sesuai dengan buku ini—buku yang sedang kukerjakan!
Oke, oke, langsung ke intinya—I got it, I got it. Thank you.
Jadi, kita bisa menyelesaikan masalah kita, dengan menggunakan cara berpikir yang kreatif, sehingga menghasilkan solusi yang kreatif, yang fresh, yang baru, yang mudah-mudahan bisa membuat masalah kita bisa lebih cepat dan mudah teratasi tanpa menghasilkan efek domino yang parah.
Apa saja tahapan itu? Inilah dia….
1. Orientasi : rumuskan dan identifikasi masalah kita. Aku pikir, aku sudah menjelaskan banyak tentang ini, jadi bagaimana kalau aku langsung saja menginjak ke poin 2? Baiklah, terima kasih….
2. Preparasi : kumpulkan semua informasi yang berkenaan dengan masalah kita. Untuk memperjelas masalah, agar bisa diuraikan sehingga bisa terlihat mana akar masalahnya; bisa melihat sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan lain sebagainya yang penting untuk mencari alternatif terbaik dari masalah tersebut.
3. Inkubasi : terkadang kita menemui hambatan dan jalan buntu, sehingga titik terang dari masalah itu, tak kunjung terlihat. Kita berusaha terus mencari solusi, dan pada satu titik, kita merasa otak kita sudah demikian ‘panas’ hingga rasanya mau ‘pecah’. Di sinilah, kamu perlu mengambil waktu untuk ‘mengistirahatkan’ otakmu. Lalu, bagaimana dengan masalah kita kalau tidak cepat diselesaikan? Tenang. Sewaktu otak sadarmu beristirahat, problem solving process masih terus berjalan di otak bawah sadarmu, sampai….
4. Iluminasi : “Eureka!” kamu mendapatkan pencerahan, solusi kreatif, insight, yang terang-benderang, yang mengurai simpul rumit dari jerat masalah yang kamu hadapi. Maka jangan heran, bila tiba-tiba pada saat sedang ‘pup’, kamu mendapatkan solusi kreatif dari masalah yang sedang kamu hadapi—itu artinya, kamu sedang mengalami proses iluminasi. Saranku hanya satu: jangan lupa bersih-bersih dulu dan pakai celana sebelum kamu keluar dari kamar mandi, oke?
5. Verifikasi : Hmm, well, tidak selalu hasil dari proses iluminasi itu benar secara sempurna. Sehingga, kita masih tetap harus melakukan pengujian, analisis, dan pengevaluasian terhadap hasil dari pencerahan yang kamu dapatkan itu. Jika hasilnya positif, maka ‘mari dukung terus, lanjutkan!’ Haha. Dan jika negatif, mari duduk sejenak, dan biarkan pikiran kreatif kita menuntun kita kepada pencerahan yang lebih positif, yang lebih bisa memberikan penyelesaian terbaik dengan risiko minim.
Sampai pada akhirnya aku berhasil keluar dari ruang pelatihan itu, aku bergegas ke perpustakaan daerah, setelah shalat dzuhur terlebih dahulu, tentu saja. Sesampainya di sana, aku menemukan pintu perpustakaan sudah tutup. Pagarnya pun sudah dikunci. Aku terlambat. Sial!
Sejenak aku memerhatikan seorang gadis, anak SMP, sedang berdiri—sepertinya sedang menunggu seseorang—sambil memainkan hapenya—hmm, cantik juga, hehe. Sempat terlintas dalam benakku untuk sekedar menanyakan ima nanji desu ka?¬—jam berapa sekarang?—tapi aku tahu, inspirasi yang datang pada saat pelatihan tadi, menyuruhku untuk cepat-cepat pulang—hei, lagipula, buat apa menggoda gadis itu, eh? Aku takut ia tak bisa sekolah keesokan harinya karena demam jika aku mendekatinya.
Aku hanya akan mengikuti pelatihan ini sampai materi kedua selesai, atau dengan kata lain, sampai waktu istirahat shalat tiba. Lagipula, aku harus bergegas ke perpustakaan daerah untuk mengembalikan beberapa buku yang kupinjam, yang telah melewati batas akhir pengembalian.
Dan materi keduapun selesai. Aku sampai berpikir ingin mengajak pemateri itu menulis buku, karena materi yang dibawakannya cukup menarik, dan memiliki cakrawala pandang yang luas. Well, aku berjalan ke belakang, duduk dengan beberapa teman, sambil mencari momen yang tepat untuk keluar dari ruangan setelah meminta izin terlebih dahulu kepada panitia pelatihan.
Tapi rupanya pemateri ketiga berkata lain.
Di luar hujan deras dan panitia mencoba bernegosiasi dengan pemateri agar berkenan menunggu barang 20 menit agar peserta bisa shalat dzuhur. Pak Pemateri berkata, “Kasih opsi saja pada peserta. Mereka mau istirahat dulu untuk shalat, ataukah saya ngasih materi dulu, nggak akan lama, paling sampai 40 atau 45 menit, sambil menunggu hujan reda.”
Walaupun voting yang dilakukan berakhir dengan hasil untuk istirahat terlebih dahulu, tapi rupanya, Pak Pemateri berkehendak lain. Ia berjalan ke depan ruangan dan dengan menggunakan otoritasnya sebagai salah seorang dosen di kampusku, ia berkata, “Baiklah, saya minta izin sekitar 25 menit untuk memberikan materi—saya ada urusan penting setelah ini. Saya harap kalian maklum.”
Ia mempersingkat jangka waktu pemberian materi sampai hanya 25 menit. Akhirnya, mau tidak mau, kami pun setuju. Hallow, apakah aku terlalu bertele-tele? Baiklah, apa kaitannya dengan buku ini?
Kawan, Pak Pemateri itu memberikan uraian tentang berpikir kreatif.
Trus?
Beliau membagikan hand out materi kepada setiap peserta, dan sambil mendengarkan, aku membaca hand out tersebut sambil kesal karena rencanaku ke perpustakaan daerah terhambat karena keegoisan Pak Pemateri ini.
Aku membuka halaman kedua dengan malas, lalu… “AHA! Tidak, tidak mungkin. Tapi, oh, great! Haha. Yes!” Hatiku bahagia tak terkira. Mendadak rasa kesalku berubah menjadi rasa syukur karena di sana, di halaman kedua hand out tersebut, aku menemukan satu bagian yang menjelaskan urutan tahapan berpikir kreatif itu, lalu menyadari satu hal… apa yang tertulis di sana, sesuai dengan buku ini—buku yang sedang kukerjakan!
Oke, oke, langsung ke intinya—I got it, I got it. Thank you.
Jadi, kita bisa menyelesaikan masalah kita, dengan menggunakan cara berpikir yang kreatif, sehingga menghasilkan solusi yang kreatif, yang fresh, yang baru, yang mudah-mudahan bisa membuat masalah kita bisa lebih cepat dan mudah teratasi tanpa menghasilkan efek domino yang parah.
Apa saja tahapan itu? Inilah dia….
1. Orientasi : rumuskan dan identifikasi masalah kita. Aku pikir, aku sudah menjelaskan banyak tentang ini, jadi bagaimana kalau aku langsung saja menginjak ke poin 2? Baiklah, terima kasih….
2. Preparasi : kumpulkan semua informasi yang berkenaan dengan masalah kita. Untuk memperjelas masalah, agar bisa diuraikan sehingga bisa terlihat mana akar masalahnya; bisa melihat sebab dan akibat dari masalah tersebut, dan lain sebagainya yang penting untuk mencari alternatif terbaik dari masalah tersebut.
3. Inkubasi : terkadang kita menemui hambatan dan jalan buntu, sehingga titik terang dari masalah itu, tak kunjung terlihat. Kita berusaha terus mencari solusi, dan pada satu titik, kita merasa otak kita sudah demikian ‘panas’ hingga rasanya mau ‘pecah’. Di sinilah, kamu perlu mengambil waktu untuk ‘mengistirahatkan’ otakmu. Lalu, bagaimana dengan masalah kita kalau tidak cepat diselesaikan? Tenang. Sewaktu otak sadarmu beristirahat, problem solving process masih terus berjalan di otak bawah sadarmu, sampai….
4. Iluminasi : “Eureka!” kamu mendapatkan pencerahan, solusi kreatif, insight, yang terang-benderang, yang mengurai simpul rumit dari jerat masalah yang kamu hadapi. Maka jangan heran, bila tiba-tiba pada saat sedang ‘pup’, kamu mendapatkan solusi kreatif dari masalah yang sedang kamu hadapi—itu artinya, kamu sedang mengalami proses iluminasi. Saranku hanya satu: jangan lupa bersih-bersih dulu dan pakai celana sebelum kamu keluar dari kamar mandi, oke?
5. Verifikasi : Hmm, well, tidak selalu hasil dari proses iluminasi itu benar secara sempurna. Sehingga, kita masih tetap harus melakukan pengujian, analisis, dan pengevaluasian terhadap hasil dari pencerahan yang kamu dapatkan itu. Jika hasilnya positif, maka ‘mari dukung terus, lanjutkan!’ Haha. Dan jika negatif, mari duduk sejenak, dan biarkan pikiran kreatif kita menuntun kita kepada pencerahan yang lebih positif, yang lebih bisa memberikan penyelesaian terbaik dengan risiko minim.
Sampai pada akhirnya aku berhasil keluar dari ruang pelatihan itu, aku bergegas ke perpustakaan daerah, setelah shalat dzuhur terlebih dahulu, tentu saja. Sesampainya di sana, aku menemukan pintu perpustakaan sudah tutup. Pagarnya pun sudah dikunci. Aku terlambat. Sial!
Sejenak aku memerhatikan seorang gadis, anak SMP, sedang berdiri—sepertinya sedang menunggu seseorang—sambil memainkan hapenya—hmm, cantik juga, hehe. Sempat terlintas dalam benakku untuk sekedar menanyakan ima nanji desu ka?¬—jam berapa sekarang?—tapi aku tahu, inspirasi yang datang pada saat pelatihan tadi, menyuruhku untuk cepat-cepat pulang—hei, lagipula, buat apa menggoda gadis itu, eh? Aku takut ia tak bisa sekolah keesokan harinya karena demam jika aku mendekatinya.
Quantum Solver
Dalam buku Quantum Quotient, Ir. Agus Nggermanto, menjelaskan tentang dimensi-dimensi dari AQ dan bagaimana cara mengembangkannya (hlm. 85), yang kayaknya sih ya, cocok untuk kita jadikan bahan masukan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan masalah.
Aku tidak akan menuliskan di sini apa saja dimensi AQ dan bagaimana cara mengembangkannya itu, namun, berpijak pada teori-teorinya, aku akan menjelaskan padamu, bagaimana cara menyelesaikan masalah secara quantum. Inilah dia:
Ketika suatu masalah, suatu kesulitan, suatu persoalan datang padamu, maka:
1. Pahami seberapa besar kontrol kamu terhadap masalah itu. Apakah kamu cukup kuat untuk menghadapinya seorang diri ataukah kamu perlu bantuan. Dengan memahami seberapa besar kontrol kamu ini, kamu akan dibantu, untuk menentukan strategi dan teknik terbaik untuk menghadapi masalahmu ini.
2. Tentukan penyebab masalah. Apakah itu datang dari luar ataukah justru dari dalam dirimu sendiri? Apakah ini disebabkan oleh tindakan orang lain ataukah tindakanmu sendiri?
3. Jika kamu sudah berhasil mengidentifikasikan masalahmu (dan penyebabnya, tentu saja), sekarang identifikasi juga bagaimana akibat, efek, atau pengaruh masalah ini terhadap kehidupan kamu (apakah masalah ini membuatmu tidak ingin sekolah? Marah-marah ke siapa saja? Atau…?).
4. Nah, sekarang perkirakan, berapa lama kira-kira masalah ini akan berlangsung? Berapa lama kira-kira penyebab masalah ini akan berlangsung? Ooh, tentu saja akan terus berlangsung kalau masalah ini belum segera diselesaikan! Ah, baiklah kalau begitu, mari berlanjut ke poin lima.
5. Sekarang dengarkan, rasakan, dan temukan apa sebenarnya yang salah. Cobalah untuk mengakui dan jujur terhadap diri sendiri, untuk menemukan akar permasalahan.
6. Gali peran kamu dalam timbulnya masalah ini. Apakah kamu penyebab utama ataukah hanya orang yang ‘menarik’ saja?
7. Sekarang, ayo kita temukan sebanyak mungkin informasi dan alternatif penyelesaian lalu kita analisa dan uji informasi dan alternatif penyelesaian tersebut sehingga kita bisa mendapatkan alternatif penyelesaian yang terbaik.
8. Lakukanlah tindakan yang nyata. Karena hanya dengan begitu, masalahmu bisa selesai.
Aku tidak akan menuliskan di sini apa saja dimensi AQ dan bagaimana cara mengembangkannya itu, namun, berpijak pada teori-teorinya, aku akan menjelaskan padamu, bagaimana cara menyelesaikan masalah secara quantum. Inilah dia:
Ketika suatu masalah, suatu kesulitan, suatu persoalan datang padamu, maka:
1. Pahami seberapa besar kontrol kamu terhadap masalah itu. Apakah kamu cukup kuat untuk menghadapinya seorang diri ataukah kamu perlu bantuan. Dengan memahami seberapa besar kontrol kamu ini, kamu akan dibantu, untuk menentukan strategi dan teknik terbaik untuk menghadapi masalahmu ini.
2. Tentukan penyebab masalah. Apakah itu datang dari luar ataukah justru dari dalam dirimu sendiri? Apakah ini disebabkan oleh tindakan orang lain ataukah tindakanmu sendiri?
3. Jika kamu sudah berhasil mengidentifikasikan masalahmu (dan penyebabnya, tentu saja), sekarang identifikasi juga bagaimana akibat, efek, atau pengaruh masalah ini terhadap kehidupan kamu (apakah masalah ini membuatmu tidak ingin sekolah? Marah-marah ke siapa saja? Atau…?).
4. Nah, sekarang perkirakan, berapa lama kira-kira masalah ini akan berlangsung? Berapa lama kira-kira penyebab masalah ini akan berlangsung? Ooh, tentu saja akan terus berlangsung kalau masalah ini belum segera diselesaikan! Ah, baiklah kalau begitu, mari berlanjut ke poin lima.
5. Sekarang dengarkan, rasakan, dan temukan apa sebenarnya yang salah. Cobalah untuk mengakui dan jujur terhadap diri sendiri, untuk menemukan akar permasalahan.
6. Gali peran kamu dalam timbulnya masalah ini. Apakah kamu penyebab utama ataukah hanya orang yang ‘menarik’ saja?
7. Sekarang, ayo kita temukan sebanyak mungkin informasi dan alternatif penyelesaian lalu kita analisa dan uji informasi dan alternatif penyelesaian tersebut sehingga kita bisa mendapatkan alternatif penyelesaian yang terbaik.
8. Lakukanlah tindakan yang nyata. Karena hanya dengan begitu, masalahmu bisa selesai.
Menangis Itu Gratis
Menangis.
Salahkah kalau kita menangis?
Sewaktu kecil, kalau aku menangis, kakakku suka berkata, “suuut, jangan nangis. ‘Tar ada yang ngikutin. ‘Tar disamperin jurig—tong nangis ah, cengeng!” Dan jika saat bermain bersama teman-temanku, juga sewaktu kecil, dan karena suatu sebab aku menangis, mereka biasanya berkata, “Ey, babarian.”
Semua pandangan di atas, apa yang disampaikan kakakku dan teman-teman kecilku, adalah pandangan negatif tentang menangis: bahwa menangis hanyalah pekerjaan anak-anak cengeng yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri! Bahwa orang-orang kuat dan berani tidak pernah menangis. Bahwa laki-laki pantang untuk menangis.
Benarkah?
Jeanne Webster, C.P.C, menulis dalam bukunya Young, Rich, ‘n Famous, bahwa kalau kita mendapat masalah, kita berhak menangisi keadaan kita sebagai akibat dari adanya masalah tersebut namun tetap harus memiliki batasan waktu.
Oke, biar kuperjelas.
Kembali aku ingatkan bahwa ketika kita mendapat masalah, kita sebenarnya—paling tidak—mendapatkan dua hal: masalah itu sendiri dan efek psikologis dari masalah tersebut. Misal, kamu belum sempat mengerjakan tugas.
Masalah: tugas yang belum dikerjakan.
Efek psikologisnya: rasa takut dan malas untuk sekolah. Tegang. Deg-degan. Apalagi kalau gurunya killer.
Betul?
Nah, seperti kita ketahui, untuk mengatasi masalah, kita butuh ketenangan, butuh fokus terhadap akar masalah, dan butuh pikiran yang jernih, serta alam bawah sadar yang ‘berfungsi baik’.
Semua itu bisa kita dapatkan, jika kita mampu mengatasi terlebih dahulu efek psikologis dari masalah tersebut. Kadang malah, efek psikologis yang kita rasakan, jauh lebih ‘parah’ dari masalah intinya sendiri.
Yah, jangan jauh-jauh deh, orang yang ada masalah sama pacarnya biasanya gitu tuh. Masalahnya sepele, eh sakit hatinya (di)gede(-gedein). Repot dah.
Lantas, apa kaitannya dengan menangis?
Menangis, paling nggak, bisa membantu kita mengeluarkan efek psikologis itu dari dalam diri kita. Menangis terbukti bisa membuat kita lebih relax dan plong. Ketika kita sedih, lewat tangisan, kita sebenarnya sedang mengeluarkan rasa sedih itu agar tidak menyesaki hati dan dada kita. Jadi, kenapa mesti ditahan kalau emang mau nangis?
Setali tiga uang dengan menangis, kegiatan yang sifatnya mengeluarkan tenaga juga baik lho dalam mengeluarkan efek psikologis tersebut. Misal, daripada kemarahan kita nggak tersalur dengan benar, mending mukul-mukul bantal deh: kemarahan kita tersalurkan, dan tidak perlu ada korban!
Jangan mukul barang pecah, kaca, apalagi barang-barang mahal. Selain karena akan ada yang terluka (tangan kamu misalnya, jadi berdarah), khusus untuk barang-barang mahal, kantong kamu akan mengalami krisis. Jadi, kasihanilah kantongmu juga. Taatilah program orangtuamu dalam memerangi krisis. Setuju?
Biasanya, jika aku sedang mengalami masalah, aku akan sedikit memanjakan diriku. Aku pergi ke toko atau minimarket, membeli cola, cokelat, atau apapun yang kuinginkan pada saat itu. Tidak masalah jika uang yang aku keluarkan agak sedikit melebihi anggaran harianku—aku tahu jiwaku membutuhkan sedikit penyegaran.
Setelah itu, aku akan berdiam diri di kamar, lalu menyesap colaku dengan nikmat. Menghayatinya seperti tokoh utama dalam film-film atau sinetron saat mereka tengah galau, saat mereka tengah merenungi kehidupan. Lalu memakan cokelat. Atau sambil mendengarkan musik. Aku membuat suasana serileks mungkin, sambil berusaha menganalisis masalahku.
Hasilnya?
Kalaupun aku tidak mendapatkan solusi yang tepat pada saat itu, paling tidak efek psikologis dari masalah itu sedikit banyak berkurang, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih.
Dan itu menyenangkan.
Suatu hari, aku juga pernah mengalami turbulen (gangguan, keresahan) dalam hidup dimana aku merasa sangat-sangat sendirian. Karena perasaan itu menyesakkan dadaku sepanjang malam, pagi harinya setelah shalat subuh, aku mematikan lampu dan sambil mendengarkan lagu Letto, “Sebelum Cahaya”, aku menangis tersedu-sedan. Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bahwa: dalam keadaan gelap pun, dalam keadaan banyak masalahpun, Tuhan selalu ada, lewat begitu banyak anugerahnya yang—sayangnya—seringkali tidak mampu kita lihat.
Pada saat itu aku menangis karena menanggungkan rindu yang teramat berat pada Tuhan, pada kebahagiaan sejati yang mestinya aku miliki, andai saja aku lebih banyak bersyukur dan melapangkan hatiku dengan ikhlas dan keyakinan yang teguh.
Fiuh… kembali ke bahasan.
Tapi, seperti kata Jeanne Webster, kita mesti memberikan batasan waktu untuk ‘having fun n cry’ itu. Tarolah, sehari atau dua hari, sejam atau dua jam, kita alokasikan untuk ‘menangisi masalah’. Tapi setelah itu, kamu harus komit untuk bangkit lagi! Jangan jadi berlarut-larut.
Kalau jadi berlarut-larut, menangis yang asalnya baik, bakal seperti air hujan yang datang terus-menerus ke daerah yang got dan sungainya penuh sampah: banjir! Kamu malah akan mengundang masalah lain. Jadi double deh.
Salahkah kalau kita menangis?
Sewaktu kecil, kalau aku menangis, kakakku suka berkata, “suuut, jangan nangis. ‘Tar ada yang ngikutin. ‘Tar disamperin jurig—tong nangis ah, cengeng!” Dan jika saat bermain bersama teman-temanku, juga sewaktu kecil, dan karena suatu sebab aku menangis, mereka biasanya berkata, “Ey, babarian.”
Semua pandangan di atas, apa yang disampaikan kakakku dan teman-teman kecilku, adalah pandangan negatif tentang menangis: bahwa menangis hanyalah pekerjaan anak-anak cengeng yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya sendiri! Bahwa orang-orang kuat dan berani tidak pernah menangis. Bahwa laki-laki pantang untuk menangis.
Benarkah?
Jeanne Webster, C.P.C, menulis dalam bukunya Young, Rich, ‘n Famous, bahwa kalau kita mendapat masalah, kita berhak menangisi keadaan kita sebagai akibat dari adanya masalah tersebut namun tetap harus memiliki batasan waktu.
Oke, biar kuperjelas.
Kembali aku ingatkan bahwa ketika kita mendapat masalah, kita sebenarnya—paling tidak—mendapatkan dua hal: masalah itu sendiri dan efek psikologis dari masalah tersebut. Misal, kamu belum sempat mengerjakan tugas.
Masalah: tugas yang belum dikerjakan.
Efek psikologisnya: rasa takut dan malas untuk sekolah. Tegang. Deg-degan. Apalagi kalau gurunya killer.
Betul?
Nah, seperti kita ketahui, untuk mengatasi masalah, kita butuh ketenangan, butuh fokus terhadap akar masalah, dan butuh pikiran yang jernih, serta alam bawah sadar yang ‘berfungsi baik’.
Semua itu bisa kita dapatkan, jika kita mampu mengatasi terlebih dahulu efek psikologis dari masalah tersebut. Kadang malah, efek psikologis yang kita rasakan, jauh lebih ‘parah’ dari masalah intinya sendiri.
Yah, jangan jauh-jauh deh, orang yang ada masalah sama pacarnya biasanya gitu tuh. Masalahnya sepele, eh sakit hatinya (di)gede(-gedein). Repot dah.
Lantas, apa kaitannya dengan menangis?
Menangis, paling nggak, bisa membantu kita mengeluarkan efek psikologis itu dari dalam diri kita. Menangis terbukti bisa membuat kita lebih relax dan plong. Ketika kita sedih, lewat tangisan, kita sebenarnya sedang mengeluarkan rasa sedih itu agar tidak menyesaki hati dan dada kita. Jadi, kenapa mesti ditahan kalau emang mau nangis?
Setali tiga uang dengan menangis, kegiatan yang sifatnya mengeluarkan tenaga juga baik lho dalam mengeluarkan efek psikologis tersebut. Misal, daripada kemarahan kita nggak tersalur dengan benar, mending mukul-mukul bantal deh: kemarahan kita tersalurkan, dan tidak perlu ada korban!
Jangan mukul barang pecah, kaca, apalagi barang-barang mahal. Selain karena akan ada yang terluka (tangan kamu misalnya, jadi berdarah), khusus untuk barang-barang mahal, kantong kamu akan mengalami krisis. Jadi, kasihanilah kantongmu juga. Taatilah program orangtuamu dalam memerangi krisis. Setuju?
Biasanya, jika aku sedang mengalami masalah, aku akan sedikit memanjakan diriku. Aku pergi ke toko atau minimarket, membeli cola, cokelat, atau apapun yang kuinginkan pada saat itu. Tidak masalah jika uang yang aku keluarkan agak sedikit melebihi anggaran harianku—aku tahu jiwaku membutuhkan sedikit penyegaran.
Setelah itu, aku akan berdiam diri di kamar, lalu menyesap colaku dengan nikmat. Menghayatinya seperti tokoh utama dalam film-film atau sinetron saat mereka tengah galau, saat mereka tengah merenungi kehidupan. Lalu memakan cokelat. Atau sambil mendengarkan musik. Aku membuat suasana serileks mungkin, sambil berusaha menganalisis masalahku.
Hasilnya?
Kalaupun aku tidak mendapatkan solusi yang tepat pada saat itu, paling tidak efek psikologis dari masalah itu sedikit banyak berkurang, sehingga aku bisa berpikir lebih jernih.
Dan itu menyenangkan.
Suatu hari, aku juga pernah mengalami turbulen (gangguan, keresahan) dalam hidup dimana aku merasa sangat-sangat sendirian. Karena perasaan itu menyesakkan dadaku sepanjang malam, pagi harinya setelah shalat subuh, aku mematikan lampu dan sambil mendengarkan lagu Letto, “Sebelum Cahaya”, aku menangis tersedu-sedan. Yang aku pikirkan pada saat itu adalah bahwa: dalam keadaan gelap pun, dalam keadaan banyak masalahpun, Tuhan selalu ada, lewat begitu banyak anugerahnya yang—sayangnya—seringkali tidak mampu kita lihat.
Pada saat itu aku menangis karena menanggungkan rindu yang teramat berat pada Tuhan, pada kebahagiaan sejati yang mestinya aku miliki, andai saja aku lebih banyak bersyukur dan melapangkan hatiku dengan ikhlas dan keyakinan yang teguh.
Fiuh… kembali ke bahasan.
Tapi, seperti kata Jeanne Webster, kita mesti memberikan batasan waktu untuk ‘having fun n cry’ itu. Tarolah, sehari atau dua hari, sejam atau dua jam, kita alokasikan untuk ‘menangisi masalah’. Tapi setelah itu, kamu harus komit untuk bangkit lagi! Jangan jadi berlarut-larut.
Kalau jadi berlarut-larut, menangis yang asalnya baik, bakal seperti air hujan yang datang terus-menerus ke daerah yang got dan sungainya penuh sampah: banjir! Kamu malah akan mengundang masalah lain. Jadi double deh.
Hati-hati: Nyaman dalam Masalah
Judul sub-bab ini memang sedikit ambigu. Di satu sisi, nyaman dalam (menghadapi) masalah tentu penting agar kita bisa fokus terhadap penyelesaian masalah dan bukannya terpuruk oleh efek-efek dari masalah yang ditimbulkan. Kenyamanan dalam kasus ini lebih mengarah kepada ketenangan diri dan jiwa. Ketenangan batin. Ketenangan dalam alam bawah sadar.
Sedangkan kenyamanan dalam masalah yang aku imbau untuk diwaspadai adalah rasa nyaman dalam gelimang masalah, dalam rasa kesal akan masalah, dalam rasa menjadi korban untuk setiap nasib buruk yang menimpa. Kenyamanan yang membuatnya bisa lari dan sembunyi dari kewajiban alamiahnya untuk menyelesaikan masalah. Kenyamanan jenis ini harus ‘diobati’.
Kenyamanan jenis ini membuat dia menjadi benci terhadap hidup. Tak peduli lagi pada semua hal. Ia menyalurkan rasa frustasinya terhadap masalah hidup dengan kesenangan sesaat yang ditawarkan narkoba dan minuman keras. Yang ditawarkan seks bebas.
Ia, karena rasa nyaman terhadap nasib buruk yang menimpanya, tanpa ia sadari, cenderung mengaplikasikan kemarahannya itu ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Jalan untuk keluar dari masalah itu biasanya masih terbuka lebar. Atau paling tidak masih ada. Tapi ia sendiri yang ‘memilih’ untuk tidak membukanya. Untuk tidak mau menyelesaikan masalah.
Ia memilih ‘menghancurkan’ dirinya gara-gara masalah itu daripada menyelesaikan akar masalahnya dan membuat hidupnya lebih baik. Dan ini semua, disadari atau tidak, adalah karena adanya rasa nyaman menerima masalah itu. Atau ‘mensyukuri’ masalah tersebut.
Salah seorang temanku berinisial M (laki-laki, 21 tahun) jarang masuk kuliah belakangan ini (akhir tahun 2008). Sekalinya masuk, ia lebih nyeleneh dan membangkang daripada biasanya. Air mukanya selalu kusut. Ia seperti orang mabuk. Tingkahnya seperti orang frustasi. Tapi ia jadi lebih sering tertawa. Terlalu riang gembira untuk menyadari bahwa dirinya sebenarnya tengah bermasalah.
Masalah dia adalah dia diputuskan oleh pacarnya—yah, terdengar cengeng memang. Lebih menyakitkan lagi, pacarnya itu selingkuh dengan orang yang notabenenya lebih kaya daripada dia. Tak terima dengan hal ini, dia langsung ‘menyerang’ dirinya sendiri selain juga menyebarkan ‘teror’ untuk mantan pacarnya itu.
Ia pernah meminta saran kepadaku bagaimana cara untuk melupakan mantannya itu, dan aku memberinya saran seperti yang biasa aku berikan: berusahalah untuk jujur, untuk menerima, dan jangan berusaha melupakannya karena ini justru akan membuatmu tambah susah melupakannya—karena apa yang kita tolak justru akan bertahan, seperti kata Carl Jung.
Ia tak menanggapi usulanku dengan serius. Kondisinya, dalam pandanganku dengan analisa asal-asalanku tentunya, justru bertambah buruk. Ketika aku, sekali lagi melakukan observasi tanpa ia sadari, aku menyadari bahwa pangkal dari sikapnya yang tambah buruk itu adalah: keinginannya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa ia hancur gara-gara mantan pacarnya tersebut!
Sepertinya, sikap itu memberikan kenyamanan tersendiri kepada dirinya, sehingga ia malah menutup sendiri semua kemungkinan jalan keluar dari masalahnya tersebut. Ia bangga dengan kehancuran dirinya. Ia bangga melihat mantan pacarnya serba salah (atau pura-pura serba salah?), karena hanya dengan begitu, ia merasa sudah ‘membalas dendam’ terhadap kejahatan ‘nasib buruk’ yang sudah menimpanya.
Mari kita pikirkan, apakah baik merasa (dan berlaku) seperti itu?
Aku pernah merasakan itu. Tapi jika kita ubah pola pandang kita, maka kita akan mendapati diri kita mendapatkan kerugian yang berlipat ganda. Pertama, kita sudah dicampakkan. Kedua, kita menyiksa diri kita sendiri. Ketiga, kita menghancurkan masa depan kita sendiri. Keempat, apakah itu juga akan menghancurkan masa depan mantan pacar kita? Belum tentu, bukan? Bukankah itu sama sekali tidak keren? Bukankah lebih baik kita hadapi saja masalah ini, akui dengan lapang dada, tersenyum untuk rasa sakit, dan selalu berusaha melihat sisi positifnya?
Berusaha sekuat tenaga untuk menjadi diri kita apa adanya. Jangan ada usaha untuk membuktikan diri lebih baik dari pacar baru mantan pacarmu itu karena itu sama buruknya dengan usaha untuk menghancurkan diri sendiri. Kamu akan menyeret diri kamu sendiri dalam suatu persaingan tidak sehat, dimana kamu akan selalu merasa di belakang, merasa kalah, dan bisa membuatmu terlalu sibuk untuk meniru pacar baru mantan pacarmu sehingga kamu lupa akan esensi hidup kamu untuk menjadi diri kamu sendiri.
Putus cinta itu memang sakit, tapi sebenarnya, ini sama sekali tidak rumit.
Sedangkan kenyamanan dalam masalah yang aku imbau untuk diwaspadai adalah rasa nyaman dalam gelimang masalah, dalam rasa kesal akan masalah, dalam rasa menjadi korban untuk setiap nasib buruk yang menimpa. Kenyamanan yang membuatnya bisa lari dan sembunyi dari kewajiban alamiahnya untuk menyelesaikan masalah. Kenyamanan jenis ini harus ‘diobati’.
Kenyamanan jenis ini membuat dia menjadi benci terhadap hidup. Tak peduli lagi pada semua hal. Ia menyalurkan rasa frustasinya terhadap masalah hidup dengan kesenangan sesaat yang ditawarkan narkoba dan minuman keras. Yang ditawarkan seks bebas.
Ia, karena rasa nyaman terhadap nasib buruk yang menimpanya, tanpa ia sadari, cenderung mengaplikasikan kemarahannya itu ke dalam dunia yang ia ciptakan sendiri. Jalan untuk keluar dari masalah itu biasanya masih terbuka lebar. Atau paling tidak masih ada. Tapi ia sendiri yang ‘memilih’ untuk tidak membukanya. Untuk tidak mau menyelesaikan masalah.
Ia memilih ‘menghancurkan’ dirinya gara-gara masalah itu daripada menyelesaikan akar masalahnya dan membuat hidupnya lebih baik. Dan ini semua, disadari atau tidak, adalah karena adanya rasa nyaman menerima masalah itu. Atau ‘mensyukuri’ masalah tersebut.
Salah seorang temanku berinisial M (laki-laki, 21 tahun) jarang masuk kuliah belakangan ini (akhir tahun 2008). Sekalinya masuk, ia lebih nyeleneh dan membangkang daripada biasanya. Air mukanya selalu kusut. Ia seperti orang mabuk. Tingkahnya seperti orang frustasi. Tapi ia jadi lebih sering tertawa. Terlalu riang gembira untuk menyadari bahwa dirinya sebenarnya tengah bermasalah.
Masalah dia adalah dia diputuskan oleh pacarnya—yah, terdengar cengeng memang. Lebih menyakitkan lagi, pacarnya itu selingkuh dengan orang yang notabenenya lebih kaya daripada dia. Tak terima dengan hal ini, dia langsung ‘menyerang’ dirinya sendiri selain juga menyebarkan ‘teror’ untuk mantan pacarnya itu.
Ia pernah meminta saran kepadaku bagaimana cara untuk melupakan mantannya itu, dan aku memberinya saran seperti yang biasa aku berikan: berusahalah untuk jujur, untuk menerima, dan jangan berusaha melupakannya karena ini justru akan membuatmu tambah susah melupakannya—karena apa yang kita tolak justru akan bertahan, seperti kata Carl Jung.
Ia tak menanggapi usulanku dengan serius. Kondisinya, dalam pandanganku dengan analisa asal-asalanku tentunya, justru bertambah buruk. Ketika aku, sekali lagi melakukan observasi tanpa ia sadari, aku menyadari bahwa pangkal dari sikapnya yang tambah buruk itu adalah: keinginannya untuk memperlihatkan kepada mantan pacarnya bahwa ia hancur gara-gara mantan pacarnya tersebut!
Sepertinya, sikap itu memberikan kenyamanan tersendiri kepada dirinya, sehingga ia malah menutup sendiri semua kemungkinan jalan keluar dari masalahnya tersebut. Ia bangga dengan kehancuran dirinya. Ia bangga melihat mantan pacarnya serba salah (atau pura-pura serba salah?), karena hanya dengan begitu, ia merasa sudah ‘membalas dendam’ terhadap kejahatan ‘nasib buruk’ yang sudah menimpanya.
Mari kita pikirkan, apakah baik merasa (dan berlaku) seperti itu?
Aku pernah merasakan itu. Tapi jika kita ubah pola pandang kita, maka kita akan mendapati diri kita mendapatkan kerugian yang berlipat ganda. Pertama, kita sudah dicampakkan. Kedua, kita menyiksa diri kita sendiri. Ketiga, kita menghancurkan masa depan kita sendiri. Keempat, apakah itu juga akan menghancurkan masa depan mantan pacar kita? Belum tentu, bukan? Bukankah itu sama sekali tidak keren? Bukankah lebih baik kita hadapi saja masalah ini, akui dengan lapang dada, tersenyum untuk rasa sakit, dan selalu berusaha melihat sisi positifnya?
Berusaha sekuat tenaga untuk menjadi diri kita apa adanya. Jangan ada usaha untuk membuktikan diri lebih baik dari pacar baru mantan pacarmu itu karena itu sama buruknya dengan usaha untuk menghancurkan diri sendiri. Kamu akan menyeret diri kamu sendiri dalam suatu persaingan tidak sehat, dimana kamu akan selalu merasa di belakang, merasa kalah, dan bisa membuatmu terlalu sibuk untuk meniru pacar baru mantan pacarmu sehingga kamu lupa akan esensi hidup kamu untuk menjadi diri kamu sendiri.
Putus cinta itu memang sakit, tapi sebenarnya, ini sama sekali tidak rumit.
Ketika Air Tidak Mengalir
Kebalikan dari orang yang terlalu mengumbar masalahnya, sampai-sampai orang yang tidak dikenal pun tahu, adalah orang-orang introvert. Orang-orang yang tertutup dan menyimpan sendiri masalahnya.
Ia lebih senang terlihat tegar dan (seolah) tak punya masalah. Bisa jadi ia memang benar-benar tegar, tapi bisa juga ia pura-pura tegar, mencoba lari dari masalah yang malah membuat masalahnya menjadi bertambah banyak.
Orang-orang yang menyimpan sendiri masalahnya, kekesalan hatinya, kedongkolannya tanpa ada saluran ‘pembuangan’ yang tepat, akan tampak seperti air yang tersumbat: air terus mengalir ke bak itu, namun karena tidak ada saluran pembuangan, lama-kelamaan, ketika volume bak tidak mampu lagi menampung volume air, air itu akan meluap dan tumpah. (Terbuang dengan sia-sia.)
Karena airnya tersumbat, maka ketika satu-persatu kotoran masuk ke sana, jentik nyamuk berkembang biak di sana, air akan berubah menjadi kotor dan tidak sehat.
Apa kamu pernah dengar ada kasus pembunuhan, misalnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘dikenal sangat baik dan saleh’? Apa kamu pernah mendengar bahwa kemarahan orang pendiam seringkali lebih berbahaya daripada kemarahan orang yang pemarah? Nah, begitulah….
Ketika seseorang menyimpan sendiri masalahnya, maka:
1. Pada suatu titik ketika masalahnya bertambah banyak, ia akan meledak seperti gunung merapi yang melelehkan pohon-pohon di sepanjang lerengnya, membuat sungai lahar yang panas. Tentu saja, kemarahannya akan langsung berupa ledakan yang sangat dahsyat, karena ini merupakan akumulasi dari kekesalan-kekesalannya yang bergumpal dalam dadanya (air yang tumpah dan meluap).
2. Hal ini juga akan menganggu fungsi kerja organ tubuhnya, terutama jantung. Karena masalah membuatnya stres, maka kerja jantung dalam mensuplai darah ke seluruh tubuh dan ke otak jadi tidak optimal. Akibatnya, orang tersebut rentan terkena penyakit (air jadi kotor).
Kadang-kadang kemarahannya pun tidak terkontrol dan bisa kepada siapa saja, bahkan orang yang tidak berdosa sekalipun. Akibatnya adalah kita telah menyakiti orang yang tidak bersalah yang bisa berpotensi pada terputusnya hubungan pertemanan dan persahabatan, bisa memperburuk silaturahmi.
Apa yang kamu rasakan jika tiba-tiba saja temanmu marah kepadamu tanpa alasan yang jelas? Apa yang kamu rasakan jika orangtuamu memarahimu hanya karena mereka stres terhadap rekan kerja mereka? Terhadap pekerjaan mereka?
Sakit bukan? Itulah kawan, itulah yang aku maksudkan!
Orang yang terbiasa menyimpan sendiri masalahnya tanpa ada usaha untuk menyalurkannya ke saluran yang tepat, sebenarnya sedang merusak dirinya sendiri, tanpa ia sadari. Karena, seringkali efek dari suatu masalah, mengendap dalam otak bawah sadar yang bisa menciptakan suatu trauma, suatu ketegangan psikis, yang bisa berakibat buruk terhadap masa depan orang tersebut.
Karena itulah, terlebih jika kamu termasuk orang yang pendiam dan suka menyimpan sendiri masalahmu, aku menyarankan untuk banyak-banyak menulis. Bersyukurlah kalian yang suka menulis diary, yang suka menulis catatan harian. Karena, walaupun sebagian orang meremehkan kegiatan ini, tapi survei membuktikan bahwa para ilmuwan, para penulis terkenal, para pemikir, para orang-orang besar, selalu menuliskan buah pikiran mereka, selalu menuliskan pencerahan yang mereka dapatkan, selalu menuliskan kegiatan keseharian mereka.
Soe Hok Gie, tahukah kau, yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar dan diperankan oleh Nicholas Saputra, adalah salah seorang pemikir dan pejuang Indonesia yang jenius. Seorang idealis yang kukuh memegang prinsip. Kita tentu tidak akan membahas kenyataan bahwa sebagian pemikirannya mungkin tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut, tidak sesuai dengan pemahaman kita, karena manusiawi jika seseorang salah atau memiliki prinsip hidup dan paradigma yang berbeda dengan kita.
Yang ingin aku tekankan adalah, dia juga menuliskan kisah hidupnya dalam catatan hariannya. Dalam diary-nya. Dan, surprise, menulis ternyata bisa membuat kita awet muda, bisa membantu kita menyelesaikan masalah kita. Kenapa? Karena, paling tidak, dengan menulis, kita menyalurkan rasa kalut dan kesal akibat masalah yang kita hadapi. Lewat menulis kita juga dilatih untuk menghadapi rasa takut, kesal, dan masalah kita.
Penelitian membuktikan, orang yang menuliskan masalahnya, bahkan masalah yang terberat sekalipun, cenderung memiliki daya tahan yang lebih terhadap permasalahan.
Menurut Dr. Pennebacker, orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh.
Kenapa? Karena ketika menulis, kita melepaskan emosi kita. Membuat suasana hati kita lebih baik, pandangan kita lebih positif, dan kesehatan fisik kita membaik.
Bukankah suasana hati yang buruk, gangguan-gangguan psikologis, sering menganggu kerja jantung dan sistem peredaran darah dan yang membuat banyak fungsi organ tubuh terganggu, sehingga membuat kita rentan terkena penyakit?
Menulis menjernihkan pikiran, membantu mendapatkan dan mengingat informasi yang baru, membantu menyelesaikan masalah. Dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Ia lebih senang terlihat tegar dan (seolah) tak punya masalah. Bisa jadi ia memang benar-benar tegar, tapi bisa juga ia pura-pura tegar, mencoba lari dari masalah yang malah membuat masalahnya menjadi bertambah banyak.
Orang-orang yang menyimpan sendiri masalahnya, kekesalan hatinya, kedongkolannya tanpa ada saluran ‘pembuangan’ yang tepat, akan tampak seperti air yang tersumbat: air terus mengalir ke bak itu, namun karena tidak ada saluran pembuangan, lama-kelamaan, ketika volume bak tidak mampu lagi menampung volume air, air itu akan meluap dan tumpah. (Terbuang dengan sia-sia.)
Karena airnya tersumbat, maka ketika satu-persatu kotoran masuk ke sana, jentik nyamuk berkembang biak di sana, air akan berubah menjadi kotor dan tidak sehat.
Apa kamu pernah dengar ada kasus pembunuhan, misalnya, yang dilakukan oleh orang-orang yang ‘dikenal sangat baik dan saleh’? Apa kamu pernah mendengar bahwa kemarahan orang pendiam seringkali lebih berbahaya daripada kemarahan orang yang pemarah? Nah, begitulah….
Ketika seseorang menyimpan sendiri masalahnya, maka:
1. Pada suatu titik ketika masalahnya bertambah banyak, ia akan meledak seperti gunung merapi yang melelehkan pohon-pohon di sepanjang lerengnya, membuat sungai lahar yang panas. Tentu saja, kemarahannya akan langsung berupa ledakan yang sangat dahsyat, karena ini merupakan akumulasi dari kekesalan-kekesalannya yang bergumpal dalam dadanya (air yang tumpah dan meluap).
2. Hal ini juga akan menganggu fungsi kerja organ tubuhnya, terutama jantung. Karena masalah membuatnya stres, maka kerja jantung dalam mensuplai darah ke seluruh tubuh dan ke otak jadi tidak optimal. Akibatnya, orang tersebut rentan terkena penyakit (air jadi kotor).
Kadang-kadang kemarahannya pun tidak terkontrol dan bisa kepada siapa saja, bahkan orang yang tidak berdosa sekalipun. Akibatnya adalah kita telah menyakiti orang yang tidak bersalah yang bisa berpotensi pada terputusnya hubungan pertemanan dan persahabatan, bisa memperburuk silaturahmi.
Apa yang kamu rasakan jika tiba-tiba saja temanmu marah kepadamu tanpa alasan yang jelas? Apa yang kamu rasakan jika orangtuamu memarahimu hanya karena mereka stres terhadap rekan kerja mereka? Terhadap pekerjaan mereka?
Sakit bukan? Itulah kawan, itulah yang aku maksudkan!
Orang yang terbiasa menyimpan sendiri masalahnya tanpa ada usaha untuk menyalurkannya ke saluran yang tepat, sebenarnya sedang merusak dirinya sendiri, tanpa ia sadari. Karena, seringkali efek dari suatu masalah, mengendap dalam otak bawah sadar yang bisa menciptakan suatu trauma, suatu ketegangan psikis, yang bisa berakibat buruk terhadap masa depan orang tersebut.
Karena itulah, terlebih jika kamu termasuk orang yang pendiam dan suka menyimpan sendiri masalahmu, aku menyarankan untuk banyak-banyak menulis. Bersyukurlah kalian yang suka menulis diary, yang suka menulis catatan harian. Karena, walaupun sebagian orang meremehkan kegiatan ini, tapi survei membuktikan bahwa para ilmuwan, para penulis terkenal, para pemikir, para orang-orang besar, selalu menuliskan buah pikiran mereka, selalu menuliskan pencerahan yang mereka dapatkan, selalu menuliskan kegiatan keseharian mereka.
Soe Hok Gie, tahukah kau, yang kisah hidupnya diangkat ke layar lebar dan diperankan oleh Nicholas Saputra, adalah salah seorang pemikir dan pejuang Indonesia yang jenius. Seorang idealis yang kukuh memegang prinsip. Kita tentu tidak akan membahas kenyataan bahwa sebagian pemikirannya mungkin tidak sesuai dengan prinsip yang kita anut, tidak sesuai dengan pemahaman kita, karena manusiawi jika seseorang salah atau memiliki prinsip hidup dan paradigma yang berbeda dengan kita.
Yang ingin aku tekankan adalah, dia juga menuliskan kisah hidupnya dalam catatan hariannya. Dalam diary-nya. Dan, surprise, menulis ternyata bisa membuat kita awet muda, bisa membantu kita menyelesaikan masalah kita. Kenapa? Karena, paling tidak, dengan menulis, kita menyalurkan rasa kalut dan kesal akibat masalah yang kita hadapi. Lewat menulis kita juga dilatih untuk menghadapi rasa takut, kesal, dan masalah kita.
Penelitian membuktikan, orang yang menuliskan masalahnya, bahkan masalah yang terberat sekalipun, cenderung memiliki daya tahan yang lebih terhadap permasalahan.
Menurut Dr. Pennebacker, orang-orang yang menuliskan pikiran dan perasaan terdalam mereka tentang pengalaman traumatis menunjukkan peningkatan fungsi kekebalan tubuh dibandingkan dengan orang-orang yang menuliskan masalah-masalah remeh-temeh.
Kenapa? Karena ketika menulis, kita melepaskan emosi kita. Membuat suasana hati kita lebih baik, pandangan kita lebih positif, dan kesehatan fisik kita membaik.
Bukankah suasana hati yang buruk, gangguan-gangguan psikologis, sering menganggu kerja jantung dan sistem peredaran darah dan yang membuat banyak fungsi organ tubuh terganggu, sehingga membuat kita rentan terkena penyakit?
Menulis menjernihkan pikiran, membantu mendapatkan dan mengingat informasi yang baru, membantu menyelesaikan masalah. Dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Pembuang Sampah Sembarangan
Jika seseorang mendapat masalah, tekanan, rasa kesal, mereka cenderung bereaksi sesuai dengan karakternya masing-masing: ada yang membicarakannya dengan sangat antusias kepada siapa saja yang mau mendengarkan, ada yang membicarakannya kepada orang-orang tertentu saja, dan ada yang memendamnya sendiri sampai membuatnya sakit.
Nah, karena orang yang dijadikan tempat curhat biasanya diistilahkan sebagai ‘tempat sampah’, maka orang yang suka membicarakan semua masalahnya ke sebanyak mungkin orang adalah tipikal orang yang suka membuang sampah sembarangan.
Sedangkan orang yang membicarakan masalahnya dengan orang-orang tertentu saja, ia adalah tipikal orang yang membuang sampah pada tempatnya, bahkan disesuaikan dengan kekhususannya: untuk plastik atau kertas? Kering atau basah?
Dan orang yang lebih suka memendam sendiri masalahnya, dia lebih suka membuat sendiri tempat sampahnya. Bahkan tak jarang membuat kawan imajiner sebagai tempat curhatnya.
Dalam hal menghadapi masalah, terlebih bagi kamu yang sedang menjalani masa puber, godaan untuk mengungkapkan masalahmu itu sangat besar. Temanku memiliki masalah di keluarganya. Ia menceritakannya kepadaku dan beberapa orang teman di angkot dengan suara yang keras saking semangat dan bernafsunya, sampai-sampai si sopir angkot dan penumpang lain pun tahu.
Tentu saja ini tidak baik.
Umpan balik dari rahasia yang kita umbar kepada orang lain bisa menjadi bumerang yang menyerang kita. Misal, jika kamu punya masalah dengan keluarga kamu dan kamu menceritakannya kepada orang lain, kepada siapapun yang ingin mendengarkan, maka ini bisa saja membuat orang lain yang mengenal keluargamu akan antipati terhadap keluargamu. Mereka mungkin juga menjadi antipati terhadapmu, karena kelakukanmu, dalam benak mereka, ‘pasti’ tidak jauh berbeda dengan keluargamu yang kamu umbar keburukannya.
Akhirnya, kamu sendiri yang akan kena getahnya. Pada akhirnya kamu sendiri yang diserang oleh sikapmu ini. Bagai menepuk air didulang, kata orang tua zaman dulu—mau tidak mau, kamu akan kecipratan airnya juga!
Tapi ini bukan berarti kamu tidak boleh curhat kepada siapapun. Curhat itu sah-sah saja, aku anjurkan malah. Tapi kita mesti lihat dulu kepada siapa kita akan curhat. Usahakan orang yang kita jadikan tempat curhat adalah orang yang dewasa, dapat dipercaya, dan bisa memberikan solusi, atau paling tidak, memberikan perhatian penuh saat kamu sedang curhat.
Kamu bisa memilih orangtuamu, guru BP di sekolahmu, wali kelasmu, kakakmu, dan siapapun yang kamu rasa memenuhi kriteria di atas. Sekali lagi aku tekankan, jangan membicarakan masalahmu kepada semua orang karena itu bisa menjadi bumerang terhadapmu.
Seringkali masalah yang terlalu diumbar kepada terlalu banyak orang justru akan mendatangkan masalah lain dan masalah lain lagi terhadapmu—bagaimana jika ternyata orang yang kamu curhati tentang salah seorang temanmu yang rese itu, adalah sohib temanmu yang rese itu, trus dia ngasih tauin curhatan kamu ke temenmu yang rese itu yang bisa membuat masalah kamu sama temen kamu yang rese itu tambah runyam? Hayoh.
Belum lagi kemungkinan adanya kesalahan penyampaian sehingga cerita kamu jadi berkembang nggak karuan, jadi nggak sesuai dengan apa yang sebenarnya kamu pengen sampein. Jadi berabe ‘kan? Tambah bete nggak sih kalau gitu, eh?
Jadi, seperti kata salah seorang temanku, lebih baik ketahui semua yang kita ceritakan daripada menceritakan semua hal yang kita ketahui. Ada sebagian kisah yang sebaiknya dibiarkan tetap menjadi rahasia.
Nah, karena orang yang dijadikan tempat curhat biasanya diistilahkan sebagai ‘tempat sampah’, maka orang yang suka membicarakan semua masalahnya ke sebanyak mungkin orang adalah tipikal orang yang suka membuang sampah sembarangan.
Sedangkan orang yang membicarakan masalahnya dengan orang-orang tertentu saja, ia adalah tipikal orang yang membuang sampah pada tempatnya, bahkan disesuaikan dengan kekhususannya: untuk plastik atau kertas? Kering atau basah?
Dan orang yang lebih suka memendam sendiri masalahnya, dia lebih suka membuat sendiri tempat sampahnya. Bahkan tak jarang membuat kawan imajiner sebagai tempat curhatnya.
Dalam hal menghadapi masalah, terlebih bagi kamu yang sedang menjalani masa puber, godaan untuk mengungkapkan masalahmu itu sangat besar. Temanku memiliki masalah di keluarganya. Ia menceritakannya kepadaku dan beberapa orang teman di angkot dengan suara yang keras saking semangat dan bernafsunya, sampai-sampai si sopir angkot dan penumpang lain pun tahu.
Tentu saja ini tidak baik.
Umpan balik dari rahasia yang kita umbar kepada orang lain bisa menjadi bumerang yang menyerang kita. Misal, jika kamu punya masalah dengan keluarga kamu dan kamu menceritakannya kepada orang lain, kepada siapapun yang ingin mendengarkan, maka ini bisa saja membuat orang lain yang mengenal keluargamu akan antipati terhadap keluargamu. Mereka mungkin juga menjadi antipati terhadapmu, karena kelakukanmu, dalam benak mereka, ‘pasti’ tidak jauh berbeda dengan keluargamu yang kamu umbar keburukannya.
Akhirnya, kamu sendiri yang akan kena getahnya. Pada akhirnya kamu sendiri yang diserang oleh sikapmu ini. Bagai menepuk air didulang, kata orang tua zaman dulu—mau tidak mau, kamu akan kecipratan airnya juga!
Tapi ini bukan berarti kamu tidak boleh curhat kepada siapapun. Curhat itu sah-sah saja, aku anjurkan malah. Tapi kita mesti lihat dulu kepada siapa kita akan curhat. Usahakan orang yang kita jadikan tempat curhat adalah orang yang dewasa, dapat dipercaya, dan bisa memberikan solusi, atau paling tidak, memberikan perhatian penuh saat kamu sedang curhat.
Kamu bisa memilih orangtuamu, guru BP di sekolahmu, wali kelasmu, kakakmu, dan siapapun yang kamu rasa memenuhi kriteria di atas. Sekali lagi aku tekankan, jangan membicarakan masalahmu kepada semua orang karena itu bisa menjadi bumerang terhadapmu.
Seringkali masalah yang terlalu diumbar kepada terlalu banyak orang justru akan mendatangkan masalah lain dan masalah lain lagi terhadapmu—bagaimana jika ternyata orang yang kamu curhati tentang salah seorang temanmu yang rese itu, adalah sohib temanmu yang rese itu, trus dia ngasih tauin curhatan kamu ke temenmu yang rese itu yang bisa membuat masalah kamu sama temen kamu yang rese itu tambah runyam? Hayoh.
Belum lagi kemungkinan adanya kesalahan penyampaian sehingga cerita kamu jadi berkembang nggak karuan, jadi nggak sesuai dengan apa yang sebenarnya kamu pengen sampein. Jadi berabe ‘kan? Tambah bete nggak sih kalau gitu, eh?
Jadi, seperti kata salah seorang temanku, lebih baik ketahui semua yang kita ceritakan daripada menceritakan semua hal yang kita ketahui. Ada sebagian kisah yang sebaiknya dibiarkan tetap menjadi rahasia.
Holistik
Suatu hari, salah seorang temanku, seorang perempuan—anggap saja namanya F (16 tahun, saat itu)—curhat kepadaku tentang rasa kesalnya terhadap salah seorang sahabatku (mari kita anggap dia G, 16 tahun, saat itu). Sahabatku itu, menurut dia, adalah orang yang sombong dan sok yang tidak bisa menghargai perasaan orang lain, terutama perempuan.
Sikap sahabatku itu membuat dia kesal dan akhirnya memutuskan keluar dari ekskulnya. Aku mendengarnya secara seksama, dan sebagian diriku juga tak mampu menyangkal bahwa beberapa sifat dari sahabatku itu memang menyebalkan. Bahwa aku juga pernah merasakan sakit hati oleh sikapnya.
Diakhir pembicaraan itu, temanku itu berkata, “Aku mah heran sama kamu, Fan. Kok mau-maunya berteman sama orang yang kayak gitu?” Karena tak tahu jawabannya, aku hanya tersenyum.
Diam-diam perkataan itu begitu membekas dalam diriku. Aku memikirkannya selama berhari-hari, mencoba mencari tahu kenapa aku mau berteman dengan sahabatku itu. Mungkin aku perlu memberitahumu bahwa salah satu kelemahanku adalah mudah terpengaruh oleh omongan orang.
Ketika pada saat istirahat berhari-hari kemudian aku ngobrol dengan sahabatku itu, tanpa sengaja obrolan kami beralih topik menjadi obrolan tentang F. G menceritakan beberapa hal buruk tentang F yang membuat sebagian diriku juga menyetujui itu, bahwa F juga sinis, sok, dan sedikit ‘kejam’.
Tiba-tiba sewaktu jam pelajaran selepas istirahat itu, aku bisa melihat masalah ini dengan lebih jelas. Tidak ada seorangpun yang sempurna, bukan? Barangkali dalam hati F dan G pun tersimpan begitu banyak keburukanku yang mereka simpan rapat-rapat dan (mungkin) akan mereka ceritakan kepada orang lain ketika mereka kesal terhadapku.
Lantas, apa makna kejadian tersebut bagi buku ini?
Kawanku, dalam melihat suatu masalah, kita harus melihatnya dari segala sudut, dari segala aspek. Kita harus berpikir holistik, melihat segala sesuatu secara menyeluruh. Jika saja pada saat itu, aku terburu-buru mengambil kesimpulan atas masalah yang dialami F, tentu hubunganku dengan G akan buruk. Tapi ketika aku melihat masalah itu dari banyak sudut (sudut pandang F dan G, paling tidak) aku bisa lebih jelas melihat inti dari permasalahan itu dan karenanya lebih terarah dalam mencari alternatif penyelesaian yang terbaik.
Apa akibatnya jika kita hanya melihat masalah dari satu sisi saja?
Dampak buruknya adalah kita tidak akan benar-benar tahu apa inti masalah yang kita hadapi, karena kita hanya melihat masalah itu dari satu perspektif saja yang pasti akan penuh subjektifitas. Jika kita tidak benar-benar tahu apa inti masalahnya, kita bisa mengambil jalan penyelesaian yang salah yang bisa berakibat fatal.
Contoh, suatu hari di kelas, pada saat pelajaran ekonomi, sewaktu SMA, guru kami sedang marah karena ada banyak siswa yang tidak mengerjakan soal. Sang guru geram. Ia lalu berkata dengan marah, “Ayoh, siapa yang tidak mengerjakan tugas, ke depan!”
Maka, satu persatu, teman-temanku yang tidak mengerjakan tugas maju ke depan. Dan, PLAK! PLAK! PLAK! Satu-persatu mereka ditampar. Lalu, jeda sejenak, tak ada lagi yang maju ke depan. “Ayoh, siapa lagi?” Ujarnya penuh amarah.
Seorang temanku yang ceking maju ke dekat si Bapak, dan… PLAK! “Kamu juga tidak mengerjakan tugas ya, eh?” Ujarnya geram penuh emosi.
“Tidak, Pak. Saya mengerjakan tugas. Saya ke sini mau minta izin ke belakang.” Temanku itu membela diri—walaupun terlambat!—sambil memegang pipinya yang baru saja ditampar.
“Oh,” ujar guruku malu. “Yaudah, silakan.”
Lihat, fatal bukan? Guruku mengambil ‘jalan penyelesaian’ tanpa melihat sudut pandang lain dari ‘masalah’ yang dihadapinya. Kami sekelas menahan tawa sambil menunduk.
Untuk menutupi rasa malu dan menjaga martabatnya di depan semua murid, guru kami itu kembali berujar dengan amarah, “Hayoh, siapa lagi yang merasa tidak mengerjakan tugas? Jangan sampai ada korban tidak bersalah seperti tadi! CEPAT!”
Tenggorokan kami kembali tercekat. Hmm, ayolah, Pak. Peace…. Haha.
Sikap sahabatku itu membuat dia kesal dan akhirnya memutuskan keluar dari ekskulnya. Aku mendengarnya secara seksama, dan sebagian diriku juga tak mampu menyangkal bahwa beberapa sifat dari sahabatku itu memang menyebalkan. Bahwa aku juga pernah merasakan sakit hati oleh sikapnya.
Diakhir pembicaraan itu, temanku itu berkata, “Aku mah heran sama kamu, Fan. Kok mau-maunya berteman sama orang yang kayak gitu?” Karena tak tahu jawabannya, aku hanya tersenyum.
Diam-diam perkataan itu begitu membekas dalam diriku. Aku memikirkannya selama berhari-hari, mencoba mencari tahu kenapa aku mau berteman dengan sahabatku itu. Mungkin aku perlu memberitahumu bahwa salah satu kelemahanku adalah mudah terpengaruh oleh omongan orang.
Ketika pada saat istirahat berhari-hari kemudian aku ngobrol dengan sahabatku itu, tanpa sengaja obrolan kami beralih topik menjadi obrolan tentang F. G menceritakan beberapa hal buruk tentang F yang membuat sebagian diriku juga menyetujui itu, bahwa F juga sinis, sok, dan sedikit ‘kejam’.
Tiba-tiba sewaktu jam pelajaran selepas istirahat itu, aku bisa melihat masalah ini dengan lebih jelas. Tidak ada seorangpun yang sempurna, bukan? Barangkali dalam hati F dan G pun tersimpan begitu banyak keburukanku yang mereka simpan rapat-rapat dan (mungkin) akan mereka ceritakan kepada orang lain ketika mereka kesal terhadapku.
Lantas, apa makna kejadian tersebut bagi buku ini?
Kawanku, dalam melihat suatu masalah, kita harus melihatnya dari segala sudut, dari segala aspek. Kita harus berpikir holistik, melihat segala sesuatu secara menyeluruh. Jika saja pada saat itu, aku terburu-buru mengambil kesimpulan atas masalah yang dialami F, tentu hubunganku dengan G akan buruk. Tapi ketika aku melihat masalah itu dari banyak sudut (sudut pandang F dan G, paling tidak) aku bisa lebih jelas melihat inti dari permasalahan itu dan karenanya lebih terarah dalam mencari alternatif penyelesaian yang terbaik.
Apa akibatnya jika kita hanya melihat masalah dari satu sisi saja?
Dampak buruknya adalah kita tidak akan benar-benar tahu apa inti masalah yang kita hadapi, karena kita hanya melihat masalah itu dari satu perspektif saja yang pasti akan penuh subjektifitas. Jika kita tidak benar-benar tahu apa inti masalahnya, kita bisa mengambil jalan penyelesaian yang salah yang bisa berakibat fatal.
Contoh, suatu hari di kelas, pada saat pelajaran ekonomi, sewaktu SMA, guru kami sedang marah karena ada banyak siswa yang tidak mengerjakan soal. Sang guru geram. Ia lalu berkata dengan marah, “Ayoh, siapa yang tidak mengerjakan tugas, ke depan!”
Maka, satu persatu, teman-temanku yang tidak mengerjakan tugas maju ke depan. Dan, PLAK! PLAK! PLAK! Satu-persatu mereka ditampar. Lalu, jeda sejenak, tak ada lagi yang maju ke depan. “Ayoh, siapa lagi?” Ujarnya penuh amarah.
Seorang temanku yang ceking maju ke dekat si Bapak, dan… PLAK! “Kamu juga tidak mengerjakan tugas ya, eh?” Ujarnya geram penuh emosi.
“Tidak, Pak. Saya mengerjakan tugas. Saya ke sini mau minta izin ke belakang.” Temanku itu membela diri—walaupun terlambat!—sambil memegang pipinya yang baru saja ditampar.
“Oh,” ujar guruku malu. “Yaudah, silakan.”
Lihat, fatal bukan? Guruku mengambil ‘jalan penyelesaian’ tanpa melihat sudut pandang lain dari ‘masalah’ yang dihadapinya. Kami sekelas menahan tawa sambil menunduk.
Untuk menutupi rasa malu dan menjaga martabatnya di depan semua murid, guru kami itu kembali berujar dengan amarah, “Hayoh, siapa lagi yang merasa tidak mengerjakan tugas? Jangan sampai ada korban tidak bersalah seperti tadi! CEPAT!”
Tenggorokan kami kembali tercekat. Hmm, ayolah, Pak. Peace…. Haha.
Teorema Akar dan Batang
Seringkali orang merasa sudah mencoba menyelesaikan masalahnya, tapi masalah itu datang dan datang dan datang lagi. Nggak pernah selesai. Apa yang salah? Apakah cara penyelesaiannya yang salah, apakah masalahnya sendiri yang memang sulit untuk diselesaikan? Atau….?
Seperti halnya ketika kamu menebang pohon. Jika kamu menebang batangnya, beberapa tahun kemudian, pohon itu akan tumbuh lagi. Kalau kulit kamu jamuran dan kamu hanya mengobati yang tampak dari luarnya saja, maka penyakit kamu tidak akan benar-benar sembuh.
Artinya?
Tepat sekali.
Kita harus memukan akar permasalahan kita. Karena hanya dengan mencerabuti akarnyalah, maka pohon itu tidak akan tumbuh lagi. Hanya dengan membasmi sampai ke akar-akarnya ‘lah, penyakit jamuran kamu tidak akan kambuh lagi (katakan padaku, apakah kalimat ini terdengar seperti sebuah iklan?).
Akar adalah inti masalah. Masalah itu sendiri. Sedangkan batang hanyalah efek dari masalah. Jika kamu menaruh perhatianmu hanya pada efek dari masalah, maka, bisa saja efeknya hilang, tapi masalahmu belum tentu bisa benar-benar selesai.
Contoh:
Secara keseluruhan tidak ada masalah dengan anak itu, kamu yakin akan hal itu. Dia cukup tampan untuk ukuran anak seumurannya. Yah, dengan pengecualian tubuhnya yang sedikit pendek, kamu pikir, tidak ada yang salah dengannya sampai harus terancam tidak naik kelas.
Oke, kamu tahu, dari wajahnya yang polos, dia bukan tipikal anak-anak remaja nggak punya kerjaan yang ngabisin waktunya dengan nongkrong di jalan, berkumpul, bergeng-geng, ngerokok, tawuran, atau malakin siswa lain. Kamu tahu, bahkan dari sekilas saja kamu melihat dia, dia bahkan tidak mampu untuk menyakiti dirinya sendiri.
Tapi dia sedikit minder. Ia tertutup. Dan ia sepertinya tidak menikmati kebersamaan dengan orang lain. Maksudmu, tentu saja, bukan karena ia anti sosial, tapi lebih karena ia nampaknya lebih suka menyendiri.
Dan sekarang, gurumu marah besar, karena ia, temanmu itu, adalah orang yang sulit diatur. Sikapnya yang cenderung apathis itu, yang tak memperlihatkan pemberontakan tapi juga tidak mau menurut itu, membuat gurumu bingung harus berbuat apa.
Apa yang harus kamu lakukan?
Kawan, dalam kasus anak yang kurang memahami pelajaran di kelas atau cenderung ‘bodoh’, beberapa guru yang pernah kujumpai cenderung memandangnya sebagai pembawaan si anak yang bodoh, bahwa si guru tidak salah dalam cara dia mengajar karena masih banyak siswa lain yang ternyata mampu menyerap pelajaran yang diberikannya.
Karena si guru merasa si anak itu bodoh, maka ia memberikan les privat gratis kepada anak itu, ia mendorong anak itu untuk belajar lebih baik. Ia bahkan membelikan kepada anak itu buku akselerasi belajar agar anak itu bisa lebih baik.
Beberapa minggu kemudian, si anak mulai kelihatan berubah—ooh, syukurlah! Tapi, sayangnya perubahan itu tidak bertahan lama, karena menjelang ujian semester, ia kembali menjadi dirinya yang terdahulu dan membuat nilai ujiannya sangat anjlok sehingga dia mendapat ancaman tidak naik kelas.
Bagaimana ini?
Kawan, guru di atas, yang aku ilustrasikan kepadamu, menyelesaikan masalah hanya sampai pada ‘permukaannya’, pada ‘batangnya’ saja. Dia tidak meluangkan waktu untuk meneliti akar dari masalah si anak.
Aku sangat terkesan oleh Bu Zajac, tokoh dalam novel non fiksi yang ditulis Tracy Kidder, pemenang Pulitzer prize—Kelas 205. Bu Zajac, ketika salah seorang muridnya mengalami kesulitan belajar, selain meluangkan waktu untuk memberi pelajaran tambahan dan perhatian yang lebih saat di kelas, ia juga meluangkan waktu untuk menyelidiki akar dari masalah si anak yang menyebabkannya sulit belajar.
Dari situ, dia akhirnya tahu, bahwa diantara siswanya yang sulit belajar, ada yang disebabkan oleh faktor lingkungan keluarganya yang tidak mendukung, lingkungan bermain yang buruk, dan trauma yang dialami si anak yang membuat perkembangan kedewasaan si anak terhambat.
Nah, kawan, bisa saja, kawanmu itu, si anak yang sulit belajar itu, yang minderan dan tidak suka keramaian itu, adalah seorang anak yang mengalami trauma di masa kecilnya. Mungkin orangtuanya bercerai dan dia mengalami siksaan dari salah seorang orangtuanya. Atau mungkin ia dibesarkan oleh keluarga yang terlalu menekannya sehingga dia merasa tak berharga, sehingga ia merasa minder, sehingga ia merasa terlalu ketakutan untuk mengungkapkan apa yang dia ingin ungkapkan. Sehingga, ketika rasa nyaman dan amannya tak terpenuhi, maka otak neo cortex-nya tidak bekerja dengan baik, sehingga dia sulit menyerap pelajaran.
Jika gurumu membantu si anak menyembuhkan luka batinnya, hasil yang mungkin didapatnya tentu akan lebih besar, daripada hanya menyelesaikan salah satu efek dari akar masalahnya saja, seperti misalnya, membantu si anak dengan memberinya les privat, bahkan gratis sekalipun—walau bukan berarti apa yang dilakukan gurumu itu sepenuhnya salah.
Ini, membawa kita sampai pada kesimpulan, bahwa masalah, seringkali merembes ke bidang lain dalam kehidupan kita. Masalah bisa terjadi di rumah, tapi bisa membawa efek dan mempengaruhi kehidupan kita di sekolah, di lingkungan luar rumah.
Jika kita menyelesaikan efeknya, maka inti masalahnya akan tetap ada, dan suatu saat, bisa kembali melahirkan efek masalah-efek masalah yang baru. Tapi, jika kamu mau arif, mau bijak mengakui masalahmu, dan langsung mencoba menyelesaikan masalahmu di rumah, maka peluang kamu untuk mendapatkan kembali kehidupan kamu di sekolah dan luar rumah dengan normal semakin besar.
Bagaimana cara menemukan akar masalah?
Ketika kamu mendapat masalah, jangan fokuskan pencarianmu terhadap efek dari masalah kamu, tapi lihatlah lebih jauh, lihatlah faktor yang menyebabkan masalahmu itu. Seperti contoh di atas: dari kasus anak sulit mengerti pelajaran di kelas, cobalah lihat lebih jauh lagi, analisis lebih jauh lagi, penyebab si anak tersebut sulit belajar, sehingga penyebab utama yang merupakan inti dari masalah itu bisa diketahui.
Tapi, sebagai bahan perbandingan, tidak semua sebab masalah adalah masalah inti. Contoh: masalah inti si anak itu adalah trauma masa kecil akibat perceraian orang tua. Nah, perceraian orangtua di sini bukanlah masalah inti tapi penyebab dari masalah inti si anak, yaitu trauma masa kecil akibat perceraian tersebut.
Jika kelihatannya sedikit rumit dan membingungkan, untuk mendapatkan dan mengetahui inti dari masalahmu, kamu bisa juga meminta saran kepada orang yang kamu pikir bisa memberimu saran. Kamu bisa curhat kepada orang yang kamu percayai. Tapi ini juga ada risikonya, ada aturannya, jadi teruskan membaca buku ini, oke? Hehe.
Seperti halnya ketika kamu menebang pohon. Jika kamu menebang batangnya, beberapa tahun kemudian, pohon itu akan tumbuh lagi. Kalau kulit kamu jamuran dan kamu hanya mengobati yang tampak dari luarnya saja, maka penyakit kamu tidak akan benar-benar sembuh.
Artinya?
Tepat sekali.
Kita harus memukan akar permasalahan kita. Karena hanya dengan mencerabuti akarnyalah, maka pohon itu tidak akan tumbuh lagi. Hanya dengan membasmi sampai ke akar-akarnya ‘lah, penyakit jamuran kamu tidak akan kambuh lagi (katakan padaku, apakah kalimat ini terdengar seperti sebuah iklan?).
Akar adalah inti masalah. Masalah itu sendiri. Sedangkan batang hanyalah efek dari masalah. Jika kamu menaruh perhatianmu hanya pada efek dari masalah, maka, bisa saja efeknya hilang, tapi masalahmu belum tentu bisa benar-benar selesai.
Contoh:
Secara keseluruhan tidak ada masalah dengan anak itu, kamu yakin akan hal itu. Dia cukup tampan untuk ukuran anak seumurannya. Yah, dengan pengecualian tubuhnya yang sedikit pendek, kamu pikir, tidak ada yang salah dengannya sampai harus terancam tidak naik kelas.
Oke, kamu tahu, dari wajahnya yang polos, dia bukan tipikal anak-anak remaja nggak punya kerjaan yang ngabisin waktunya dengan nongkrong di jalan, berkumpul, bergeng-geng, ngerokok, tawuran, atau malakin siswa lain. Kamu tahu, bahkan dari sekilas saja kamu melihat dia, dia bahkan tidak mampu untuk menyakiti dirinya sendiri.
Tapi dia sedikit minder. Ia tertutup. Dan ia sepertinya tidak menikmati kebersamaan dengan orang lain. Maksudmu, tentu saja, bukan karena ia anti sosial, tapi lebih karena ia nampaknya lebih suka menyendiri.
Dan sekarang, gurumu marah besar, karena ia, temanmu itu, adalah orang yang sulit diatur. Sikapnya yang cenderung apathis itu, yang tak memperlihatkan pemberontakan tapi juga tidak mau menurut itu, membuat gurumu bingung harus berbuat apa.
Apa yang harus kamu lakukan?
Kawan, dalam kasus anak yang kurang memahami pelajaran di kelas atau cenderung ‘bodoh’, beberapa guru yang pernah kujumpai cenderung memandangnya sebagai pembawaan si anak yang bodoh, bahwa si guru tidak salah dalam cara dia mengajar karena masih banyak siswa lain yang ternyata mampu menyerap pelajaran yang diberikannya.
Karena si guru merasa si anak itu bodoh, maka ia memberikan les privat gratis kepada anak itu, ia mendorong anak itu untuk belajar lebih baik. Ia bahkan membelikan kepada anak itu buku akselerasi belajar agar anak itu bisa lebih baik.
Beberapa minggu kemudian, si anak mulai kelihatan berubah—ooh, syukurlah! Tapi, sayangnya perubahan itu tidak bertahan lama, karena menjelang ujian semester, ia kembali menjadi dirinya yang terdahulu dan membuat nilai ujiannya sangat anjlok sehingga dia mendapat ancaman tidak naik kelas.
Bagaimana ini?
Kawan, guru di atas, yang aku ilustrasikan kepadamu, menyelesaikan masalah hanya sampai pada ‘permukaannya’, pada ‘batangnya’ saja. Dia tidak meluangkan waktu untuk meneliti akar dari masalah si anak.
Aku sangat terkesan oleh Bu Zajac, tokoh dalam novel non fiksi yang ditulis Tracy Kidder, pemenang Pulitzer prize—Kelas 205. Bu Zajac, ketika salah seorang muridnya mengalami kesulitan belajar, selain meluangkan waktu untuk memberi pelajaran tambahan dan perhatian yang lebih saat di kelas, ia juga meluangkan waktu untuk menyelidiki akar dari masalah si anak yang menyebabkannya sulit belajar.
Dari situ, dia akhirnya tahu, bahwa diantara siswanya yang sulit belajar, ada yang disebabkan oleh faktor lingkungan keluarganya yang tidak mendukung, lingkungan bermain yang buruk, dan trauma yang dialami si anak yang membuat perkembangan kedewasaan si anak terhambat.
Nah, kawan, bisa saja, kawanmu itu, si anak yang sulit belajar itu, yang minderan dan tidak suka keramaian itu, adalah seorang anak yang mengalami trauma di masa kecilnya. Mungkin orangtuanya bercerai dan dia mengalami siksaan dari salah seorang orangtuanya. Atau mungkin ia dibesarkan oleh keluarga yang terlalu menekannya sehingga dia merasa tak berharga, sehingga ia merasa minder, sehingga ia merasa terlalu ketakutan untuk mengungkapkan apa yang dia ingin ungkapkan. Sehingga, ketika rasa nyaman dan amannya tak terpenuhi, maka otak neo cortex-nya tidak bekerja dengan baik, sehingga dia sulit menyerap pelajaran.
Jika gurumu membantu si anak menyembuhkan luka batinnya, hasil yang mungkin didapatnya tentu akan lebih besar, daripada hanya menyelesaikan salah satu efek dari akar masalahnya saja, seperti misalnya, membantu si anak dengan memberinya les privat, bahkan gratis sekalipun—walau bukan berarti apa yang dilakukan gurumu itu sepenuhnya salah.
Ini, membawa kita sampai pada kesimpulan, bahwa masalah, seringkali merembes ke bidang lain dalam kehidupan kita. Masalah bisa terjadi di rumah, tapi bisa membawa efek dan mempengaruhi kehidupan kita di sekolah, di lingkungan luar rumah.
Jika kita menyelesaikan efeknya, maka inti masalahnya akan tetap ada, dan suatu saat, bisa kembali melahirkan efek masalah-efek masalah yang baru. Tapi, jika kamu mau arif, mau bijak mengakui masalahmu, dan langsung mencoba menyelesaikan masalahmu di rumah, maka peluang kamu untuk mendapatkan kembali kehidupan kamu di sekolah dan luar rumah dengan normal semakin besar.
Bagaimana cara menemukan akar masalah?
Ketika kamu mendapat masalah, jangan fokuskan pencarianmu terhadap efek dari masalah kamu, tapi lihatlah lebih jauh, lihatlah faktor yang menyebabkan masalahmu itu. Seperti contoh di atas: dari kasus anak sulit mengerti pelajaran di kelas, cobalah lihat lebih jauh lagi, analisis lebih jauh lagi, penyebab si anak tersebut sulit belajar, sehingga penyebab utama yang merupakan inti dari masalah itu bisa diketahui.
Tapi, sebagai bahan perbandingan, tidak semua sebab masalah adalah masalah inti. Contoh: masalah inti si anak itu adalah trauma masa kecil akibat perceraian orang tua. Nah, perceraian orangtua di sini bukanlah masalah inti tapi penyebab dari masalah inti si anak, yaitu trauma masa kecil akibat perceraian tersebut.
Jika kelihatannya sedikit rumit dan membingungkan, untuk mendapatkan dan mengetahui inti dari masalahmu, kamu bisa juga meminta saran kepada orang yang kamu pikir bisa memberimu saran. Kamu bisa curhat kepada orang yang kamu percayai. Tapi ini juga ada risikonya, ada aturannya, jadi teruskan membaca buku ini, oke? Hehe.
Setengah Selesai, Setengah (Lagi) Usahakan
Katanya sih ya, tapi nggak tahu juga sih, anak-anak remaja itu sering ngalamin yang namanya bĂȘte tanpa sebab. Mereka berubah mood dengan sangat drastis bahkan tanpa adanya impuls dari luar sekalipun. Atau seringkali impuls yang kecil mendorong perubahan mood yang drastis, benarkah? Mari kita tanya Galileo. Hehe.
Aku pernah mengalami hal-hal seperti itu: kesal tanpa sebab, murung tanpa sebab, lelah tanpa adanya konflik sebelumnya. Dan kebingungan itu membuat masalahku terlihat, yah, sedikit rumit. Kadang ada kebanggan juga ketika membiarkan orang lain tahu kalau kita sedang bad mood. Aku nggak tahu itu namanya apa. Barangkali seperti itulah keanehan-keanehan dari tingkahpolah masa muda. Ceilah masa muda.
Tapi ketiadaan sebab itu bukan berarti apa yang kita rasakan tidak ada sebabnya sama sekali. Justru dengan ketiadaan itulah masalah kita jadi ada sebabnya. Sebabnya adalah ketiadaan sebab itu sendiri.
Apa penting mengetahui hal itu?
Kawan, mengetahui permasalahan yang kita hadapi, sudah merupakan setengah dari penyelesaian masalah tersebut. Banyak orang yang merasa kesal terhadap masalah yang dia hadapi karena ia sebenarnya tidak tahu apa masalah dia sebenarnya. Ia terkurung di dalamnya, tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang mengurungnya. Kalau ia sendiri tidak tahu apa yang sedang mengurungnya, bagaimana mungkin ia bisa keluar?
Kamu mendapat nilai merah untuk ujian kamu dan itu membuatmu kaget. Kamu bertanya kepada gurumu kenapa nilai kamu merah dan gurumu tidak mau menjelaskan. Apa yang akan kamu rasakan?
“Aku hanya ingin tahu kenapa aku bisa mendapat nilai 4 sehingga aku tahu mana yang harus aku perbaiki!”
Tepat sekali.
Jika gurumu itu dengan senang hati saja memperlihatkan bagaimana tugas-tugas kamu jarang masuk, absensi kamu yang buruk, ujian kamu yang anjlok, maka kamu akan lebih lega karena pada akhirnya kamu tahu dimana letak kesalahanmu.
Jika ternyata kamu merasa penilaian yang dilakukan gurumu salah, kamu bisa meminta data hasil ujian kamu, sebagai bukti yang valid, agar kamu bisa yakin bahwa apa yang dikatakan gurumu benar.
Sekarang mari kita anggap gurumu benar.
Orang yang tidak tahu ‘bagaimana’ dia bisa mendapat 4, mungkin cenderung bersikap tak acuh, marah, bahkan antipati dan menjadi apatis. Dia merasa kesal karena merasa ‘dicurangi’ walaupun ia tidak pernah bisa membuktikannya. Itu karena ia tidak tahu akar permasalahannya.
Sedangkan orang yang tahu, dan ditambah sedikit saja sikap arif dan legowo, dia bisa lebih memperbaiki nilainya di semester berikutnya, karena ia tahu apa yang salah, dan ia tahu mana yang harus diperbaiki.
Kupikir contoh sederhana lain yang ingin aku tambahkan di sini adalah saat seorang tukang membetulkan genteng yang rusak. Tentu akan lebih cepat tukang yang ‘tahu’ genteng mana yang rusak, ‘tahu’ bagaimana kerusakannya dan akibat-akibatnya, dan ‘tahu’ cara memperbaikinya, daripada seorang tukang yang bahkan ketika ia sudah sampai di genteng, belum tahu dimana genteng yang rusak itu.
Bagaimana caranya mengetahui masalah kita?
1. Kamu bisa mengandalkan kemampuan diri kamu sendiri dalam melihat sendiri apa masalahmu dengan melakukan analisa terhadap kekalutan atau kepusingan yang kamu alamin—memanfaatkan kecerdasan intrapersonalmu sendiri.
2. Kamu bisa minta bantuan orang lain yang kamu percayai untuk menemukan apa yang sebenarnya jadi masalahmu melalui curhat atau share.
3. Tapi, tetap hati-hati juga sih, soalnya baik itu pantauan diri sendiri (poin 1) maupun bantuan dari orang lain (poin 2), bisa saja tidak sepenuhnya menyentuh inti dari permasalahanmu. Karena itulah kamu tetap butuh cek dan ricek, uji hasil pantauan dan bantuan dari orang lain tersebut, disesuaikan dengan efek yang kamu rasakan. Dan jangan lupa, tetap… berdoa! Karena hanya Dialah Sumber Segala Kebenaran dan Petunjuk.
Aku pernah mengalami hal-hal seperti itu: kesal tanpa sebab, murung tanpa sebab, lelah tanpa adanya konflik sebelumnya. Dan kebingungan itu membuat masalahku terlihat, yah, sedikit rumit. Kadang ada kebanggan juga ketika membiarkan orang lain tahu kalau kita sedang bad mood. Aku nggak tahu itu namanya apa. Barangkali seperti itulah keanehan-keanehan dari tingkahpolah masa muda. Ceilah masa muda.
Tapi ketiadaan sebab itu bukan berarti apa yang kita rasakan tidak ada sebabnya sama sekali. Justru dengan ketiadaan itulah masalah kita jadi ada sebabnya. Sebabnya adalah ketiadaan sebab itu sendiri.
Apa penting mengetahui hal itu?
Kawan, mengetahui permasalahan yang kita hadapi, sudah merupakan setengah dari penyelesaian masalah tersebut. Banyak orang yang merasa kesal terhadap masalah yang dia hadapi karena ia sebenarnya tidak tahu apa masalah dia sebenarnya. Ia terkurung di dalamnya, tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang mengurungnya. Kalau ia sendiri tidak tahu apa yang sedang mengurungnya, bagaimana mungkin ia bisa keluar?
Kamu mendapat nilai merah untuk ujian kamu dan itu membuatmu kaget. Kamu bertanya kepada gurumu kenapa nilai kamu merah dan gurumu tidak mau menjelaskan. Apa yang akan kamu rasakan?
“Aku hanya ingin tahu kenapa aku bisa mendapat nilai 4 sehingga aku tahu mana yang harus aku perbaiki!”
Tepat sekali.
Jika gurumu itu dengan senang hati saja memperlihatkan bagaimana tugas-tugas kamu jarang masuk, absensi kamu yang buruk, ujian kamu yang anjlok, maka kamu akan lebih lega karena pada akhirnya kamu tahu dimana letak kesalahanmu.
Jika ternyata kamu merasa penilaian yang dilakukan gurumu salah, kamu bisa meminta data hasil ujian kamu, sebagai bukti yang valid, agar kamu bisa yakin bahwa apa yang dikatakan gurumu benar.
Sekarang mari kita anggap gurumu benar.
Orang yang tidak tahu ‘bagaimana’ dia bisa mendapat 4, mungkin cenderung bersikap tak acuh, marah, bahkan antipati dan menjadi apatis. Dia merasa kesal karena merasa ‘dicurangi’ walaupun ia tidak pernah bisa membuktikannya. Itu karena ia tidak tahu akar permasalahannya.
Sedangkan orang yang tahu, dan ditambah sedikit saja sikap arif dan legowo, dia bisa lebih memperbaiki nilainya di semester berikutnya, karena ia tahu apa yang salah, dan ia tahu mana yang harus diperbaiki.
Kupikir contoh sederhana lain yang ingin aku tambahkan di sini adalah saat seorang tukang membetulkan genteng yang rusak. Tentu akan lebih cepat tukang yang ‘tahu’ genteng mana yang rusak, ‘tahu’ bagaimana kerusakannya dan akibat-akibatnya, dan ‘tahu’ cara memperbaikinya, daripada seorang tukang yang bahkan ketika ia sudah sampai di genteng, belum tahu dimana genteng yang rusak itu.
Bagaimana caranya mengetahui masalah kita?
1. Kamu bisa mengandalkan kemampuan diri kamu sendiri dalam melihat sendiri apa masalahmu dengan melakukan analisa terhadap kekalutan atau kepusingan yang kamu alamin—memanfaatkan kecerdasan intrapersonalmu sendiri.
2. Kamu bisa minta bantuan orang lain yang kamu percayai untuk menemukan apa yang sebenarnya jadi masalahmu melalui curhat atau share.
3. Tapi, tetap hati-hati juga sih, soalnya baik itu pantauan diri sendiri (poin 1) maupun bantuan dari orang lain (poin 2), bisa saja tidak sepenuhnya menyentuh inti dari permasalahanmu. Karena itulah kamu tetap butuh cek dan ricek, uji hasil pantauan dan bantuan dari orang lain tersebut, disesuaikan dengan efek yang kamu rasakan. Dan jangan lupa, tetap… berdoa! Karena hanya Dialah Sumber Segala Kebenaran dan Petunjuk.
Seperti Hantu
Sepulang dari sekolah, dengan beban di kepala yang begitu banyak, aku melemparkan diriku ke kasur dan merasa kesal terhadap semua hal. Kamar tiba-tiba terasa sempit, keningku berdenyut-denyut tiada henti. Nafasku sedikit sesak. Aku benar-benar tak tahan!
Setelah rebahan beberapa saat akhirnya aku memutuskan untuk berdiri dan sambil menunjuk ke kasur, aku bicara sendiri, “Oke, sudah cukup. Sekarang, ayo kita selesaikan masalah ini.”
Aku membuka buku catatanku dan menuliskan masalah-masalah yang sedang kuhadapi secara sekaligus saat itu: tugas di sekolah numpuk, komputerku rusak, aku juga belum mempersiapkan untuk acara perlombaan di sekolah besok.
Ha!
Apalagi?
Tidak ada.
Aku tertawa-tawa sendirian saat itu, mendapati diriku begitu tolol—hanya seperti inikah? Aku menuliskan dari tiap masalahku itu penjelasan-penjelasan seperti: tugas matematika dikumpulin besok, tugas ini bisa dicancel dulu, tugas bahasa Indonesia tinggal diperiksa ulang. Komputer? Aku bisa ngetik untuk ini di rentalan. Atau aku bisa nunggu sampai komputer selesai diperbaiki. Ngomong-ngomong dimana aku akan memperbaiki komputerku ini? Hmm, di tetanggaku bisa, di sini bisa, di sana bisa. Yups, untuk lomba besok? Oke, seragam. Apalagi? Hmm, baiklah, mana yang harus aku prioritaskan….
Tidak kurang dari 15 menit malam itu suasana hatiku berubah 180 derajat—dan aku bersyukur untuk hal itu. Ternyata, masalah itu, seringkali seperti hantu. Masalah bisa saja sepele, tapi kita sendirilah yang mempersulitnya. Membuat masalah itu terlihat sangat rumit dan susah dipecahkan. Bukankah hantu juga seperti itu?
Well, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa aku termasuk orang yang, yah, agak malu kalau ketemu hantu, tapi aku mau mengakui bahwa ketakutan akan hantu seringkali lebih menakutkan daripada hantu itu sendiri.
Sebenarnya, rasa takut kita itulah yang justru membuat keluarga hantu (mulai dari yang produk lokal seperti pocong, kuntilanak, genderuwo, dan lain-lain sampai yang produk asing seperti drakula dan vampir) tampak menakutkan.
Begitupun dalam hal menghadapi masalah. Rasa kesal kita, bĂȘte kita, dan pusing kita itulah yang justru membuat masalah kelihatan terlalu rumit dan sukar untuk bisa diselesaikan.
Jika kamu punya beberapa macam tugas yang deadline-nya berbarengan, kamu kadang dibuat stres dan tergesa-gesa oleh keharusan menyelesaikan tugas-tugasmu itu, sehingga yang terjadi biasanya:
1. Kamu bisa menyelesaikan semuanya! (Congratulation!)
2. Kamu menyelesaikan salah satu atau sebagian dari tugas-tugasmu.
3. Kamu tidak bisa menyelesaikan satu pun tugas itu sesuai deadline.
Mari kita beri selamat dan tepuk tangan bagi golongan satu yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik—dan silakan pindah ke sebelah kanan. Dan sekarang, mari kita maafkan orang yang termasuk golongan dua (dan beri ucapan selamat pula karena ia memiliki tekad dan usaha untuk menyelesaikan tugasnya)—dan silakan pindah ke sebelah kiri.
Nah, bagi kamu yang berada di tengah, golongan orang-orang yang tidak bisa menyelesaikan satu pun tugas, beri aku kesempatan menyampaikan beberapa hal ini kepadamu:
1. Usahakan tetap rileks dan jangan tegang. Karena kalau tegang, otak neo cortex (bagian otak yang digunakan untuk berpikir) kamu tidak akan bisa bekerja dengan optimal. Kalau kerjanya tidak optimal, hasilnya pun tentu tidak akan optimal—mari kita berharap hasilnya masih cukup memuaskan.
2. Ambil buku dan tulis semua tugasmu itu beserta deadline-nya.
3. Tuliskan pula hal-hal yang kamu butuhkan untuk tugas itu, hal-hal yang bisa menunjang tugasmu itu, dan hambatan tugasmu itu.
4. Sinkronkan (sesuaikan) dengan situasi, singkronkan dengan batas deadline, sinkronkan dengan segala macam hal, lalu buatlah prioritas. Beri poin 1, 2, 3, dan seterusnya untuk menandai prioritas.
5. Sekarang, kerjakan tugas-tugasmu itu sesuai prioritas!
6. Ketika mengerjakan, usahakan tetap tenang, tetap dinikmati, karena jikapun kamu tidak bisa menyelesaikan semua tugasmu, paling tidak, kamu tengah mengalihkan posisimu dari golongan tiga (yang tak menyelesaikan satupun tugas) ke posisi dua (yang mengerjakan salah satu tugas). Dan itu lebih baik bukan?
Setelah rebahan beberapa saat akhirnya aku memutuskan untuk berdiri dan sambil menunjuk ke kasur, aku bicara sendiri, “Oke, sudah cukup. Sekarang, ayo kita selesaikan masalah ini.”
Aku membuka buku catatanku dan menuliskan masalah-masalah yang sedang kuhadapi secara sekaligus saat itu: tugas di sekolah numpuk, komputerku rusak, aku juga belum mempersiapkan untuk acara perlombaan di sekolah besok.
Ha!
Apalagi?
Tidak ada.
Aku tertawa-tawa sendirian saat itu, mendapati diriku begitu tolol—hanya seperti inikah? Aku menuliskan dari tiap masalahku itu penjelasan-penjelasan seperti: tugas matematika dikumpulin besok, tugas ini bisa dicancel dulu, tugas bahasa Indonesia tinggal diperiksa ulang. Komputer? Aku bisa ngetik untuk ini di rentalan. Atau aku bisa nunggu sampai komputer selesai diperbaiki. Ngomong-ngomong dimana aku akan memperbaiki komputerku ini? Hmm, di tetanggaku bisa, di sini bisa, di sana bisa. Yups, untuk lomba besok? Oke, seragam. Apalagi? Hmm, baiklah, mana yang harus aku prioritaskan….
Tidak kurang dari 15 menit malam itu suasana hatiku berubah 180 derajat—dan aku bersyukur untuk hal itu. Ternyata, masalah itu, seringkali seperti hantu. Masalah bisa saja sepele, tapi kita sendirilah yang mempersulitnya. Membuat masalah itu terlihat sangat rumit dan susah dipecahkan. Bukankah hantu juga seperti itu?
Well, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa aku termasuk orang yang, yah, agak malu kalau ketemu hantu, tapi aku mau mengakui bahwa ketakutan akan hantu seringkali lebih menakutkan daripada hantu itu sendiri.
Sebenarnya, rasa takut kita itulah yang justru membuat keluarga hantu (mulai dari yang produk lokal seperti pocong, kuntilanak, genderuwo, dan lain-lain sampai yang produk asing seperti drakula dan vampir) tampak menakutkan.
Begitupun dalam hal menghadapi masalah. Rasa kesal kita, bĂȘte kita, dan pusing kita itulah yang justru membuat masalah kelihatan terlalu rumit dan sukar untuk bisa diselesaikan.
Jika kamu punya beberapa macam tugas yang deadline-nya berbarengan, kamu kadang dibuat stres dan tergesa-gesa oleh keharusan menyelesaikan tugas-tugasmu itu, sehingga yang terjadi biasanya:
1. Kamu bisa menyelesaikan semuanya! (Congratulation!)
2. Kamu menyelesaikan salah satu atau sebagian dari tugas-tugasmu.
3. Kamu tidak bisa menyelesaikan satu pun tugas itu sesuai deadline.
Mari kita beri selamat dan tepuk tangan bagi golongan satu yang telah menyelesaikan tugasnya dengan baik—dan silakan pindah ke sebelah kanan. Dan sekarang, mari kita maafkan orang yang termasuk golongan dua (dan beri ucapan selamat pula karena ia memiliki tekad dan usaha untuk menyelesaikan tugasnya)—dan silakan pindah ke sebelah kiri.
Nah, bagi kamu yang berada di tengah, golongan orang-orang yang tidak bisa menyelesaikan satu pun tugas, beri aku kesempatan menyampaikan beberapa hal ini kepadamu:
1. Usahakan tetap rileks dan jangan tegang. Karena kalau tegang, otak neo cortex (bagian otak yang digunakan untuk berpikir) kamu tidak akan bisa bekerja dengan optimal. Kalau kerjanya tidak optimal, hasilnya pun tentu tidak akan optimal—mari kita berharap hasilnya masih cukup memuaskan.
2. Ambil buku dan tulis semua tugasmu itu beserta deadline-nya.
3. Tuliskan pula hal-hal yang kamu butuhkan untuk tugas itu, hal-hal yang bisa menunjang tugasmu itu, dan hambatan tugasmu itu.
4. Sinkronkan (sesuaikan) dengan situasi, singkronkan dengan batas deadline, sinkronkan dengan segala macam hal, lalu buatlah prioritas. Beri poin 1, 2, 3, dan seterusnya untuk menandai prioritas.
5. Sekarang, kerjakan tugas-tugasmu itu sesuai prioritas!
6. Ketika mengerjakan, usahakan tetap tenang, tetap dinikmati, karena jikapun kamu tidak bisa menyelesaikan semua tugasmu, paling tidak, kamu tengah mengalihkan posisimu dari golongan tiga (yang tak menyelesaikan satupun tugas) ke posisi dua (yang mengerjakan salah satu tugas). Dan itu lebih baik bukan?
Just Relax
Tentu saja ini jadi terasa sangat melelahkan. Benar-benar melelahkan. Jika waktu shalat tiba, suatu perasaan kesal segera saja hinggap, dan aku menjadi malas untuk shalat.
Kisah ini dimulai dari gejala penyakit was-was yang cukup akut yang mengangguku. Pada saat itu, setiap kali wudlu, aku sering dihinggapi ketakutan yang berlebihan kalau-kalau wudluku tidak akan diterima, tidak akan sah.
Segala macam hipotesa yang coba aku jelaskan kepada diriku sendiri—bahwa menurut ilmu fiqih yang kupahami, wudluku sudah cukup, sudah sah. Tapi tetap saja ‘sebagian diriku yang lain’ tidak mau menurut. Dan selalu, aku harus merasa bahwa wudluku tidak sah, yang tidak jarang membuatku harus mengulang dan mengulangi lagi wudluku. Berkali-kali. Membuatku basah kuyup.
Jika ini terjadi sekali, okelah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi jika ini terjadi setiap hari, setiap kali waktu shalat, maka semakin lama, ini semakin merepotkan. Gejala ini segera saja mulai melebar, mulai dari niat shalat yang jadi terasa susah, sehingga aku harus berulang-ulang kali mengulangi niat, dan seringkali dibuat kesal, karena untuk wudlu dan niat shalat saja aku harus menghabiskan waktu sampai 15 menit bahkan mungkin 30 menit. Sedangkan shalatnya sendiri paling cuma 5 menit!
Tentu saja ini menjadi terasa sangat melelahkan secara psikologis. Secara mental. Apalagi jika sedang berada dalam kondisi tegang, maka yang aku rasakan biasanya lebih parah lagi. Ini membuat jantungku sedikit berdetak tak normal. Ini disebut gejala obsesif kompulsif. Aku terobsesi pada pikiran bahwa wudluku tidak sah yang memaksaku untuk mengulang dan mengulangi lagi wudluku, hingga berkali-kali.
Ini adalah masalah bagiku dan aku harus menyelesaikannya!
Tapi semakin aku coba menyelesaikannya, semakin parahlah aku jadinya.
Suatu penyelesaian yang akhirnya ampuh membebaskanku dari penderitaan itu adalah hal ini: penerimaan diri dan relax. Jika saat wudlu aku was-was apakah wudluku sah atau tidak, aku serahkan pada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was dan karenanya Dia pasti memaklumi bahwa aku sedang berusaha untuk menghilangkan penyakit ini dengan mengabaikan ketakutanku itu.
Jika ketika shalat, aku merasa shalatku tidak sah, dan secara fikih jika kita merasa shalat kita tidak sah, maka shalat kita batal, aku akan kembali menyerahkannya kepada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was, sehingga Dia pasti Mengerti bahwa aku tetap melanjutkan shalat walau dengan hati yang kacau akibat merasa tidak sah semata-mata dalam rangka mengobati penyakitku.
Kesadaran itu, penyerahan itu, pengakuan dan penerimaan diri itu, dan ketenangan itu, membantuku melewati masa-masa itu yang berganti dengan masa-masa shalat penuh ketenangan dan rasa nyaman.
Jadi, kawanku, berpijak pada pandangan kawanmu yang aneh ini, marilah kita sama-sama menyepakati bahwa: ketenangan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah, lebih membantu kita berpikir jernih dalam mencari alternatif penyelesaian masalah yang terbaik—sehingga masalah bisa lebih cepat diselesaikan; sedangkan kegalauan, kekalutan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah justru membuat masalah kita jadi bertambah rumit dan rumit dan rumit lagi, karena jangankan mencari alternatif penyelesaian, mencari apa masalahnya sendiri akan terasa sulit. Setuju?
Baiklah, sedikit contoh: orang yang belum mengerjakan PR di rumah dan mengerjakannya di pagi hari beberapa menit sebelum masuk kelas (sambil mencontek), cenderung menjadi orang yang tegang dan terburu-buru. Akibatnya, dia mencontek sekenanya, dan tak jarang malah justru membuat jawabannya sangat salah—ah, tahu sendiri ‘lah, gimana rasanya, hahaha.
Kisah ini dimulai dari gejala penyakit was-was yang cukup akut yang mengangguku. Pada saat itu, setiap kali wudlu, aku sering dihinggapi ketakutan yang berlebihan kalau-kalau wudluku tidak akan diterima, tidak akan sah.
Segala macam hipotesa yang coba aku jelaskan kepada diriku sendiri—bahwa menurut ilmu fiqih yang kupahami, wudluku sudah cukup, sudah sah. Tapi tetap saja ‘sebagian diriku yang lain’ tidak mau menurut. Dan selalu, aku harus merasa bahwa wudluku tidak sah, yang tidak jarang membuatku harus mengulang dan mengulangi lagi wudluku. Berkali-kali. Membuatku basah kuyup.
Jika ini terjadi sekali, okelah, mungkin masih bisa ditolerir. Tapi jika ini terjadi setiap hari, setiap kali waktu shalat, maka semakin lama, ini semakin merepotkan. Gejala ini segera saja mulai melebar, mulai dari niat shalat yang jadi terasa susah, sehingga aku harus berulang-ulang kali mengulangi niat, dan seringkali dibuat kesal, karena untuk wudlu dan niat shalat saja aku harus menghabiskan waktu sampai 15 menit bahkan mungkin 30 menit. Sedangkan shalatnya sendiri paling cuma 5 menit!
Tentu saja ini menjadi terasa sangat melelahkan secara psikologis. Secara mental. Apalagi jika sedang berada dalam kondisi tegang, maka yang aku rasakan biasanya lebih parah lagi. Ini membuat jantungku sedikit berdetak tak normal. Ini disebut gejala obsesif kompulsif. Aku terobsesi pada pikiran bahwa wudluku tidak sah yang memaksaku untuk mengulang dan mengulangi lagi wudluku, hingga berkali-kali.
Ini adalah masalah bagiku dan aku harus menyelesaikannya!
Tapi semakin aku coba menyelesaikannya, semakin parahlah aku jadinya.
Suatu penyelesaian yang akhirnya ampuh membebaskanku dari penderitaan itu adalah hal ini: penerimaan diri dan relax. Jika saat wudlu aku was-was apakah wudluku sah atau tidak, aku serahkan pada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was dan karenanya Dia pasti memaklumi bahwa aku sedang berusaha untuk menghilangkan penyakit ini dengan mengabaikan ketakutanku itu.
Jika ketika shalat, aku merasa shalatku tidak sah, dan secara fikih jika kita merasa shalat kita tidak sah, maka shalat kita batal, aku akan kembali menyerahkannya kepada Allah yang Maha Tahu bahwa aku sedang menderita was-was, sehingga Dia pasti Mengerti bahwa aku tetap melanjutkan shalat walau dengan hati yang kacau akibat merasa tidak sah semata-mata dalam rangka mengobati penyakitku.
Kesadaran itu, penyerahan itu, pengakuan dan penerimaan diri itu, dan ketenangan itu, membantuku melewati masa-masa itu yang berganti dengan masa-masa shalat penuh ketenangan dan rasa nyaman.
Jadi, kawanku, berpijak pada pandangan kawanmu yang aneh ini, marilah kita sama-sama menyepakati bahwa: ketenangan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah, lebih membantu kita berpikir jernih dalam mencari alternatif penyelesaian masalah yang terbaik—sehingga masalah bisa lebih cepat diselesaikan; sedangkan kegalauan, kekalutan saat berada dalam tekanan, saat berada di bawah cengkeraman masalah justru membuat masalah kita jadi bertambah rumit dan rumit dan rumit lagi, karena jangankan mencari alternatif penyelesaian, mencari apa masalahnya sendiri akan terasa sulit. Setuju?
Baiklah, sedikit contoh: orang yang belum mengerjakan PR di rumah dan mengerjakannya di pagi hari beberapa menit sebelum masuk kelas (sambil mencontek), cenderung menjadi orang yang tegang dan terburu-buru. Akibatnya, dia mencontek sekenanya, dan tak jarang malah justru membuat jawabannya sangat salah—ah, tahu sendiri ‘lah, gimana rasanya, hahaha.
Tuan Detektif
Aku menjalani masa-masa SMA, terlebih ketika kelas 1 dan 2 sebagai orang yang, yah, sedikit agak penting mungkin, lantaran menjabat sebagai ketua angkatan sebuah ekstrakurikuler. Aku menjadi orang nomor 1 di kalangan anggota kelas 1 di ekstrakurikuler tersebut, dan karenanya sering dijadikan tumbal oleh teman-temanku sesering dijadikan ‘pelampiasan’ oleh kakak-kakak tingkatku.
Tanggungjawab utama jabatanku itu kurang lebih untuk mempertahankan anggota agar mereka tidak keluar. Dan jangan dikira ini mudah. Aku harus belajar untuk membujuk teman-temanku yang berniat keluar yang jumlahnya cukup tinggi—hampir setengahnya!
Mau tidak mau, aku belajar untuk menjadi seorang pendengar keluhan yang baik, aku belajar untuk menjadi seorang yang peduli, aku belajar untuk menjadi seorang problem solver, aku belajar menjadi seorang perayu ulung. Dan setiap kali aku berusaha membujuk mereka, aku mendapati bahwa aku sedang membujuk diriku sendiri. Bahwa aku sebenarnya bukan sedang ‘menyembuhkan’ teman-temanku tapi sedang ‘menyembuhkan’ diriku sendiri.
Tapi pada saat-saat tertentu, aku, dengan segala keterbatasanku, sering merasa lelah, merasa tak kuat lagi. Merasa tak berdaya. Aku tak tahan lagi harus mengurusi teman-temanku yang rese dan sulit diatur. Aku tak tahan lagi harus (pura-pura) peduli pada keluh kesah mereka dan alasan kenapa mereka mau keluar dari ekskul tersebut. Aku tak mau terikat oleh aturan-aturan semacam ini lagi.
Aku stuck!
Tapi sebentar, mari kita lihat kondisi ini dari sisi lain. Apa semua tugas ini membebani dan menjadi masalah bagimu? Ya, benar. Baiklah, mari kita ubah sudut pandangnya. Setujukah?
Tentu saja.
Bagaimana kalau kita anggap setiap masalah yang kamu hadapi adalah sebuah kasus. Dan kamu adalah seorang detektif yang dipercaya untuk memecahkan kasus tersebut—hebat bukan?
Apa bedanya dengan menganggap masalah sebagai masalah saja?
Biarkan aku yang menjelaskan.
Ketika kita menganggap suatu masalah sebagai suatu kasus dan kita menempatkan diri kita sebagai seorang detektif yang hebat yang akan mampu memecahkan kasus tersebut, maka akan timbul keyakinan dan rasa nyaman dalam diri kita saat berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Akan ada gairah dan semangat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ketika ada gairah dan semangat maka peluang untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik pun menjadi lebih besar. Jika masalah itu, anggap saja bisa selesai dengan baik, maka ini akan menambah rasa percaya dirimu dan daya tahanmu jika kelak kamu menghadapi masalah-masalah lain yang serupa atau bahkan lebih besar daripada masalah tersebut. Bukankah seperti kata Nietszhe, apa yang tidak membunuh kita akan membuat kita lebih kuat?
Ketika kamu memposisikan diri kamu sebagai detektif dalam kasusmu ini, kamu menempatkan dirimu sebagai pemeran utama yang bisa mengubah ending dari film yang sedang kamu jalani. Kamu berubah menjadi orang penting yang harus diperhitungkan. Ketika kamu merasa seperti ini, maka kamu akan dapat menguasai masalah dan bukannya dikuasai oleh masalah.
Bagaimana dengan menempatkan masalah sebagai masalah?
Baiklah, seperti ini teorinya: jika merujuk pada ceritamu di atas, ketika kamu menempatkan masalah sebagai masalah, kamu sedang menempatkan dirimu sebagai korban dari masalahmu. Ketika kamu menempatkan dirimu sebagai korban, maka masalah kamu jadi bertambah: (1) masalah utama yang kamu hadapi, dan (2) efek ketidakyakinan dalam dirimu untuk menyelesaikan masalah karena kamu merasa sebagai korban. Akibatnya, kamu akan terus bergelung dalam masalah itu. Kamu mungkin bisa bertahan, tapi kamu jadi tidak akan ikhlas dan sering mengeluh dengan kondisimu. Kamu akan merasa tercekik di lingkaran setan yang tiada berujung. Ini akan membuatmu tambah tersiksa. Maka masalahnya menjadi berpangkat dua atau bahkan tiga—empat?—hiiih, males deh.
Tanggungjawab utama jabatanku itu kurang lebih untuk mempertahankan anggota agar mereka tidak keluar. Dan jangan dikira ini mudah. Aku harus belajar untuk membujuk teman-temanku yang berniat keluar yang jumlahnya cukup tinggi—hampir setengahnya!
Mau tidak mau, aku belajar untuk menjadi seorang pendengar keluhan yang baik, aku belajar untuk menjadi seorang yang peduli, aku belajar untuk menjadi seorang problem solver, aku belajar menjadi seorang perayu ulung. Dan setiap kali aku berusaha membujuk mereka, aku mendapati bahwa aku sedang membujuk diriku sendiri. Bahwa aku sebenarnya bukan sedang ‘menyembuhkan’ teman-temanku tapi sedang ‘menyembuhkan’ diriku sendiri.
Tapi pada saat-saat tertentu, aku, dengan segala keterbatasanku, sering merasa lelah, merasa tak kuat lagi. Merasa tak berdaya. Aku tak tahan lagi harus mengurusi teman-temanku yang rese dan sulit diatur. Aku tak tahan lagi harus (pura-pura) peduli pada keluh kesah mereka dan alasan kenapa mereka mau keluar dari ekskul tersebut. Aku tak mau terikat oleh aturan-aturan semacam ini lagi.
Aku stuck!
Tapi sebentar, mari kita lihat kondisi ini dari sisi lain. Apa semua tugas ini membebani dan menjadi masalah bagimu? Ya, benar. Baiklah, mari kita ubah sudut pandangnya. Setujukah?
Tentu saja.
Bagaimana kalau kita anggap setiap masalah yang kamu hadapi adalah sebuah kasus. Dan kamu adalah seorang detektif yang dipercaya untuk memecahkan kasus tersebut—hebat bukan?
Apa bedanya dengan menganggap masalah sebagai masalah saja?
Biarkan aku yang menjelaskan.
Ketika kita menganggap suatu masalah sebagai suatu kasus dan kita menempatkan diri kita sebagai seorang detektif yang hebat yang akan mampu memecahkan kasus tersebut, maka akan timbul keyakinan dan rasa nyaman dalam diri kita saat berusaha menyelesaikan masalah tersebut. Akan ada gairah dan semangat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ketika ada gairah dan semangat maka peluang untuk menyelesaikan masalah dengan lebih baik pun menjadi lebih besar. Jika masalah itu, anggap saja bisa selesai dengan baik, maka ini akan menambah rasa percaya dirimu dan daya tahanmu jika kelak kamu menghadapi masalah-masalah lain yang serupa atau bahkan lebih besar daripada masalah tersebut. Bukankah seperti kata Nietszhe, apa yang tidak membunuh kita akan membuat kita lebih kuat?
Ketika kamu memposisikan diri kamu sebagai detektif dalam kasusmu ini, kamu menempatkan dirimu sebagai pemeran utama yang bisa mengubah ending dari film yang sedang kamu jalani. Kamu berubah menjadi orang penting yang harus diperhitungkan. Ketika kamu merasa seperti ini, maka kamu akan dapat menguasai masalah dan bukannya dikuasai oleh masalah.
Bagaimana dengan menempatkan masalah sebagai masalah?
Baiklah, seperti ini teorinya: jika merujuk pada ceritamu di atas, ketika kamu menempatkan masalah sebagai masalah, kamu sedang menempatkan dirimu sebagai korban dari masalahmu. Ketika kamu menempatkan dirimu sebagai korban, maka masalah kamu jadi bertambah: (1) masalah utama yang kamu hadapi, dan (2) efek ketidakyakinan dalam dirimu untuk menyelesaikan masalah karena kamu merasa sebagai korban. Akibatnya, kamu akan terus bergelung dalam masalah itu. Kamu mungkin bisa bertahan, tapi kamu jadi tidak akan ikhlas dan sering mengeluh dengan kondisimu. Kamu akan merasa tercekik di lingkaran setan yang tiada berujung. Ini akan membuatmu tambah tersiksa. Maka masalahnya menjadi berpangkat dua atau bahkan tiga—empat?—hiiih, males deh.
...Bahwa Kita Manusia
Kembali ke teori awal kita tentang masalah terjadi ketika ekspektasi atau harapan kita tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi, ada satu poin penting yang mesti digarisbawahi, terlebih oleh orang-orang yang perfeksionis.
Kamu mungkin punya target menjadi juara umum tiap tahun, menjadi pencetak gol terbanyak di ajang turnamen basket atau futsal, menjadi ketua OSIS yang sukses dalam setiap programnya, menjadi seorang bintang kelas, dan lain sebagainya, tapi ketika semua targetmu itu tidak tercapai, kamu harus rela mengakui bahwa kamu hanyalah manusia. Makhluk sempurna yang berusaha mencari kesempurnaan di luar dirinya yang malah membuatnya merasa serba tak sempurna.
Seorang adik kelasku pernah mengirimiku sms dan bertanya bagaimana caranya menghadapi rasa malu. Ketika membaca sms itu aku langsung saja teringat pada pengalaman memalukanku dan yang membuatku merasa buruk dan ah, intinya, membuatku berharap semua orang yang melihatku pada saat itu tiba-tiba saja terkena wabah amnesia yang akut, seperti yang terjadi dalam sinetron.
Tapi ketika aku berpikir lagi, ketika aku berusaha menerima kenyataan tingkahku yang memalukan itu, aku menemukan sebuah kenyataan bahwa kadang atau bahkan seringkali, kejadian memalukan ini diperlukan untuk melatih kita menjadi dewasa. Untuk kembali menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia biasa yang bisa saja melakukan salah dan melakukan tindakan yang bodoh. Bahwa Tom Cruise sekalipun bisa terjatuh karena menginjak tali sepatunya. Bahwa adegan-adegan serba sempurna yang ‘tanpa cacat’ hanya ada dalam film-film, bukan di kehidupan nyata.
Hal-hal yang memalukan itu bisa melatih kita untuk menjadi lebih dewasa. Untuk menerima bahwa kita adalah manusia yang bisa gagal dan bisa sukses. Aku tahu masalah adik kelasku itu adalah rasa malunya karena tidak memenangkan salah satu perlombaan di sekolah. Maka, aku mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah kujelaskan kepadamu di paragraf sebelumnya, yang tentu saja dipersingkat demi kepentingan sms—terima bahwa kita hanyalah manusia.
Kamu mungkin punya target menjadi juara umum tiap tahun, menjadi pencetak gol terbanyak di ajang turnamen basket atau futsal, menjadi ketua OSIS yang sukses dalam setiap programnya, menjadi seorang bintang kelas, dan lain sebagainya, tapi ketika semua targetmu itu tidak tercapai, kamu harus rela mengakui bahwa kamu hanyalah manusia. Makhluk sempurna yang berusaha mencari kesempurnaan di luar dirinya yang malah membuatnya merasa serba tak sempurna.
Seorang adik kelasku pernah mengirimiku sms dan bertanya bagaimana caranya menghadapi rasa malu. Ketika membaca sms itu aku langsung saja teringat pada pengalaman memalukanku dan yang membuatku merasa buruk dan ah, intinya, membuatku berharap semua orang yang melihatku pada saat itu tiba-tiba saja terkena wabah amnesia yang akut, seperti yang terjadi dalam sinetron.
Tapi ketika aku berpikir lagi, ketika aku berusaha menerima kenyataan tingkahku yang memalukan itu, aku menemukan sebuah kenyataan bahwa kadang atau bahkan seringkali, kejadian memalukan ini diperlukan untuk melatih kita menjadi dewasa. Untuk kembali menyadarkan kita bahwa kita adalah manusia biasa yang bisa saja melakukan salah dan melakukan tindakan yang bodoh. Bahwa Tom Cruise sekalipun bisa terjatuh karena menginjak tali sepatunya. Bahwa adegan-adegan serba sempurna yang ‘tanpa cacat’ hanya ada dalam film-film, bukan di kehidupan nyata.
Hal-hal yang memalukan itu bisa melatih kita untuk menjadi lebih dewasa. Untuk menerima bahwa kita adalah manusia yang bisa gagal dan bisa sukses. Aku tahu masalah adik kelasku itu adalah rasa malunya karena tidak memenangkan salah satu perlombaan di sekolah. Maka, aku mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah kujelaskan kepadamu di paragraf sebelumnya, yang tentu saja dipersingkat demi kepentingan sms—terima bahwa kita hanyalah manusia.
Jujur
Bahkan terhadap Tuhan pun kita seringkali tidak mau jujur. Tidak mau blak-blakan. Seolah jika kita menyembunyikan beberapa hal itu, Tuhan tidak akan tahu, dan itu membuat kita aman.
Salah, kawan. Salah.
Bayangkan ini.
Kamu baru saja menerima lembar daftar nilai untuk pra-ujian nasional dan kamu mendapati nilai matematika kamu dibawah nilai standar untuk bisa lulus. Kamu memandanginya berkali-kali, berkedip berkali-kali, dan nilai matematika kamu tetap dibawah standar nilai untuk bisa lulus. GAWAT!
Kamu baru saja mendapat pesan dari gurumu untuk menunjukkan lembar daftar nilai tersebut kepada orangtuamu untuk ditandatangani. Oke, ini hanya pra ujian, hanya pemanasan, dan orangtuaku tidak akan marah, kamu berkata kepada diri sendiri. Tapi benarkah begitu? Bukankah tidak lulus sekolah adalah ‘petaka’ yang haduh, masya Allah, sangat menyakitkan hati, ‘membunuh’ masa depan kita? Bukankah jika tidak lulus, semua investasi orangtua kamu akan ‘sia-sia’?
Tapi aku harus tegar, aku harus tegar. Ah, masalah seperti ini, kenapa mesti ditakutkan? Ini cuma hal sepele, ini cuma hal sepele, ini… cuma… hal… sepelekah? Benarkah ini hanya urusan sepele? Kamu mulai gamang.
Kawan, menjadi pemberani, bukanlah menjadi orang yang tidak memiliki rasa takut. Menjadi seorang pemberani adalah menjadi seseorang yang berani mengakui ketakutannya, berani mengakui kelemahannya, karena ia tahu, dengan begitu ia bisa belajar lebih kuat.
Jujur, kawanku, jujur! Akui saja kalau kamu punya masalah.
Oke, aku tahu aku tidak lulus pra ujian matematika, dan ini sangat menyakitkanku. Aku sudah belajar mati-matian untuk ini tapi tetap saja tidak lulus. Aku tahu aku bisa, aku tahu aku masih punya waktu sebulan untuk membenahi kemampuanku.
Aku tahu aku tidak lulus karena pola perhitungan nilai pra ujian ini menerapkan pola perhitungan SMPB, padahal untuk ujian nasional tidak menerapkan pola perhitungan seperti itu. Jika pola perhitungan biasa yang digunakan aku tentu saja bisa lulus, walaupun dengan nilai pas-pasan. Tapi yang penting aku lulus, bukan?
Oke, aku takut akan dimarahi oleh orangtuaku. Dan itu wajar bagi mereka, karena aku telah mengecewakan mereka. Terus terang Tuhan, aku gugup memberikan lembar nilai ini kepada orangtuaku. Aku gugup dan takut. Aku bisa saja menjelaskan semua hal kepada mereka, termasuk tentang pola perhitungannya yang ‘aneh’, namun apakah mereka akan percaya?
Baiklah, begini saja, aku tahu aku takut. Sangat takut malah. Tapi aku ini bukan pengecut. Aku pernah mengalami masalah yang lebih buruk dari ini dan bisa melaluinya. Masak untuk masalah seperti ini saja takut? Baiklah, apa yang perlu kulakukan untuk membuat semua ini menjadi lancar….
Beberapa temanku—dan kebanyakan perempuan—pernah meminta saran kepadaku bagaimana caranya melupakan pacar yang mengkhianati mereka, yang mencampakkan mereka. Biasanya, aku memberikan saran seperti ini: terima saja dia sebagai bagian dari masa lalumu. Jujur, jangan berpura-pura dia tidak pernah spesial dalam hidupmu, tidak pernah hadir dalam hidupmu. Terima itu apa adanya. Baik dan buruknya. Jangan pernah berusaha melupakannya, karena semakin keras kamu berusaha, semakin susah kamu untuk melupakannya. Terima saja.
Syukuri semua hal yang (masih) kamu miliki. Jalani kehidupan dengan sebaik mungkin menerapkan teknik husnu dzan. Nikmati perjalanan hidup ini apa adanya. Tuhan selalu punya rencana dibalik setiap hal. Nikmati saja, sampai kelak, di suatu saat di masa depan, kamu akan kaget menyadari kamu secara ‘tidak sadar’ telah mampu ‘melupakannya’. Insya Allah.
Salah, kawan. Salah.
Bayangkan ini.
Kamu baru saja menerima lembar daftar nilai untuk pra-ujian nasional dan kamu mendapati nilai matematika kamu dibawah nilai standar untuk bisa lulus. Kamu memandanginya berkali-kali, berkedip berkali-kali, dan nilai matematika kamu tetap dibawah standar nilai untuk bisa lulus. GAWAT!
Kamu baru saja mendapat pesan dari gurumu untuk menunjukkan lembar daftar nilai tersebut kepada orangtuamu untuk ditandatangani. Oke, ini hanya pra ujian, hanya pemanasan, dan orangtuaku tidak akan marah, kamu berkata kepada diri sendiri. Tapi benarkah begitu? Bukankah tidak lulus sekolah adalah ‘petaka’ yang haduh, masya Allah, sangat menyakitkan hati, ‘membunuh’ masa depan kita? Bukankah jika tidak lulus, semua investasi orangtua kamu akan ‘sia-sia’?
Tapi aku harus tegar, aku harus tegar. Ah, masalah seperti ini, kenapa mesti ditakutkan? Ini cuma hal sepele, ini cuma hal sepele, ini… cuma… hal… sepelekah? Benarkah ini hanya urusan sepele? Kamu mulai gamang.
Kawan, menjadi pemberani, bukanlah menjadi orang yang tidak memiliki rasa takut. Menjadi seorang pemberani adalah menjadi seseorang yang berani mengakui ketakutannya, berani mengakui kelemahannya, karena ia tahu, dengan begitu ia bisa belajar lebih kuat.
Jujur, kawanku, jujur! Akui saja kalau kamu punya masalah.
Oke, aku tahu aku tidak lulus pra ujian matematika, dan ini sangat menyakitkanku. Aku sudah belajar mati-matian untuk ini tapi tetap saja tidak lulus. Aku tahu aku bisa, aku tahu aku masih punya waktu sebulan untuk membenahi kemampuanku.
Aku tahu aku tidak lulus karena pola perhitungan nilai pra ujian ini menerapkan pola perhitungan SMPB, padahal untuk ujian nasional tidak menerapkan pola perhitungan seperti itu. Jika pola perhitungan biasa yang digunakan aku tentu saja bisa lulus, walaupun dengan nilai pas-pasan. Tapi yang penting aku lulus, bukan?
Oke, aku takut akan dimarahi oleh orangtuaku. Dan itu wajar bagi mereka, karena aku telah mengecewakan mereka. Terus terang Tuhan, aku gugup memberikan lembar nilai ini kepada orangtuaku. Aku gugup dan takut. Aku bisa saja menjelaskan semua hal kepada mereka, termasuk tentang pola perhitungannya yang ‘aneh’, namun apakah mereka akan percaya?
Baiklah, begini saja, aku tahu aku takut. Sangat takut malah. Tapi aku ini bukan pengecut. Aku pernah mengalami masalah yang lebih buruk dari ini dan bisa melaluinya. Masak untuk masalah seperti ini saja takut? Baiklah, apa yang perlu kulakukan untuk membuat semua ini menjadi lancar….
Beberapa temanku—dan kebanyakan perempuan—pernah meminta saran kepadaku bagaimana caranya melupakan pacar yang mengkhianati mereka, yang mencampakkan mereka. Biasanya, aku memberikan saran seperti ini: terima saja dia sebagai bagian dari masa lalumu. Jujur, jangan berpura-pura dia tidak pernah spesial dalam hidupmu, tidak pernah hadir dalam hidupmu. Terima itu apa adanya. Baik dan buruknya. Jangan pernah berusaha melupakannya, karena semakin keras kamu berusaha, semakin susah kamu untuk melupakannya. Terima saja.
Syukuri semua hal yang (masih) kamu miliki. Jalani kehidupan dengan sebaik mungkin menerapkan teknik husnu dzan. Nikmati perjalanan hidup ini apa adanya. Tuhan selalu punya rencana dibalik setiap hal. Nikmati saja, sampai kelak, di suatu saat di masa depan, kamu akan kaget menyadari kamu secara ‘tidak sadar’ telah mampu ‘melupakannya’. Insya Allah.
Mindset
Karena segala sesuatu yang datang bergantung pada persepsi kita terhadap sesuatu itu. Karena setiap orang, setiap hal, dan setiap situasi yang kita tarik ke dalam kehidupan kita bergantung pada bagaimana kita menyikapinya, dan karena kehidupan selalu menjaga keseimbangannya, maka, sebelum kita masuk ke part 2, mari kita ubah sedikit saja mindset kita.
Sewaktu aku kembali dihadapkan pada kekesalanku pada hidup, aku bertukar email dengan salah seorang sahabatku. Aku menceritakan kepadanya tentang bagaimana hidupku yang sekarang kujalani. Bagaimana aku kehilangan segala kebebasanku dalam berkreasi. Bagaimana aku kehilangan masa depanku. Bagaimana secara psikologis, aku sadari betul, bahwa aku tidak sehat.
Beberapa hari kemudian, dia membalas emailku. Dia menceritakan dengan lembut dan sedikit bercanda, bagaimana dia menangis membaca emailku itu. Bagaimana dia merasa bahwa dia tidak tahu apakah dia akan kuat atau tidak seandainya dia berada di posisiku saat itu.
Lalu, ia mengingatkanku akan tulisanku, sebuah prosa jelekku, yang kuberikan padanya ketika masih SMA. Dia bilang, dia terkesan, oleh kalimat ending dalam prosa jelekku itu yang berbunyi, “Suatu saat ketika ia berlari dan terus berlari, ia menyadari bahwa ia tak sendiri. Karena Tuhan selalu bersamanya. Dan ia pun tersenyum.”
Namun, yang paling membuatku tergugah dan kembali bersemangat adalah ketika dia memasukkan juga foto sebuah bangunan yang berbentuk agak persegi. Dia bertanya, apakah aku tahu foto apa itu? Dan tentu saja aku tak tahu. Dia melanjutkan dalam emailnya, bahwa foto itu adalah foto penjara tempat Bung Karno menuliskan pledoi atau pidato pembelaannya terhadap Belanda. Di tempat itulah, Bung Karno, atas nama Indonesia menggugat Belanda.
Ketika aku menelaah itu lebih lanjut, meresapinya dalam-dalam, aku kembali teringat bahwa penderitaan, ujian, masalah, krisis bisa memasukkan manusia ke dalam tiga kondisi: negatif, netral, positif.
Negatif, bagi mereka yang akibat penderitaan, ujian, masalah, dan krisis yang mereka hadapi, menjadi stres, gila, atau melacurkan hidup mereka ke dalam hal-hal tidak berguna. Ke dalam narkoba, misalnya. Ke dalam gelimang kenikmatan sesaat dari prilaku seks bebas, dari kehidupan hedonis yang sangat palsu.
Netral, bagi mereka yang tahan dan sabar terhadap penderitaan, ujian, masalah, dan krisis tersebut. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan permasalahan mereka, namun tidak membuat mereka lebih baik. Mereka berjalan di tempat. Mereka harus memulai lagi dari nol setiap kali penderitaan, ujian, masalah, dan krisis itu datang lagi.
Dan positif, adalah yang dilakukan oleh orang-orang seperti Nelson Mandela, Bung Karno, Gallileo, Thomas Alfa Edison, Marthin Luther King Jr., dan banyak orang hebat lainnya. Mereka menaklukan penderitaan, ujian, masalah, dan krisis yang datang kepada mereka, dan menjadikannya sebagai jalan untuk membuat diri mereka lebih dan lebih dan lebih baik lagi.
Bukankah itu tujuan Allah mengambil kedua orangtua Rasulullah, bahkan ketika beliau masih sangat kecil untuk mengerti? Melalui ‘penderitaan’, ‘ujian’, ‘masalah’, dan ‘krisis’ itulah, Rasulullah dididik oleh Allah untuk menjadi pribadi yang cerdas dalam segala aspek. Untuk menjadi orang yang paling hebat di seluruh dunia, di seluruh alam semesta, di sepanjang zaman. Karena seperti kata Goethe, “Kepandaian dipelihara dalam ketenangan, karakter digembleng dalam badai.”
Jadi?
Mari kita ubah mindset kita. Mari kita jadikan masalah sebagai bentuk (lain) rasa sayang Tuhan kepada kita. Sebagai bentuk ujian terhadap kita agar kita bisa lebih dewasa. Agar kita bisa lebih bersabar, lebih bisa mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Bukankah kenikmatan rasa kenyang datang setelah kita didera rasa lapar? Bukankah kemerdekaan menjadi demikian agung dan besar maknanya karena diraih setelah perjuangan dan penderitaan yang sekian lama dan tak kunjung berhenti?
Aku tahu, hanya dengan menerima dengan hati yang terbuka akan setiap masalah, dan dengan segala kepasrahan dan kesadaran total kita menerima semua ini sebagai cara Tuhan untuk mendewasakan kita, dibantu dengan doa dan usaha untuk menenangkan diri sendirilah, kita akan mampu mengubah mindset kita. Terlihat susah? Justru sebaliknya!
Sewaktu aku kembali dihadapkan pada kekesalanku pada hidup, aku bertukar email dengan salah seorang sahabatku. Aku menceritakan kepadanya tentang bagaimana hidupku yang sekarang kujalani. Bagaimana aku kehilangan segala kebebasanku dalam berkreasi. Bagaimana aku kehilangan masa depanku. Bagaimana secara psikologis, aku sadari betul, bahwa aku tidak sehat.
Beberapa hari kemudian, dia membalas emailku. Dia menceritakan dengan lembut dan sedikit bercanda, bagaimana dia menangis membaca emailku itu. Bagaimana dia merasa bahwa dia tidak tahu apakah dia akan kuat atau tidak seandainya dia berada di posisiku saat itu.
Lalu, ia mengingatkanku akan tulisanku, sebuah prosa jelekku, yang kuberikan padanya ketika masih SMA. Dia bilang, dia terkesan, oleh kalimat ending dalam prosa jelekku itu yang berbunyi, “Suatu saat ketika ia berlari dan terus berlari, ia menyadari bahwa ia tak sendiri. Karena Tuhan selalu bersamanya. Dan ia pun tersenyum.”
Namun, yang paling membuatku tergugah dan kembali bersemangat adalah ketika dia memasukkan juga foto sebuah bangunan yang berbentuk agak persegi. Dia bertanya, apakah aku tahu foto apa itu? Dan tentu saja aku tak tahu. Dia melanjutkan dalam emailnya, bahwa foto itu adalah foto penjara tempat Bung Karno menuliskan pledoi atau pidato pembelaannya terhadap Belanda. Di tempat itulah, Bung Karno, atas nama Indonesia menggugat Belanda.
Ketika aku menelaah itu lebih lanjut, meresapinya dalam-dalam, aku kembali teringat bahwa penderitaan, ujian, masalah, krisis bisa memasukkan manusia ke dalam tiga kondisi: negatif, netral, positif.
Negatif, bagi mereka yang akibat penderitaan, ujian, masalah, dan krisis yang mereka hadapi, menjadi stres, gila, atau melacurkan hidup mereka ke dalam hal-hal tidak berguna. Ke dalam narkoba, misalnya. Ke dalam gelimang kenikmatan sesaat dari prilaku seks bebas, dari kehidupan hedonis yang sangat palsu.
Netral, bagi mereka yang tahan dan sabar terhadap penderitaan, ujian, masalah, dan krisis tersebut. Bagi mereka yang mampu menyelesaikan permasalahan mereka, namun tidak membuat mereka lebih baik. Mereka berjalan di tempat. Mereka harus memulai lagi dari nol setiap kali penderitaan, ujian, masalah, dan krisis itu datang lagi.
Dan positif, adalah yang dilakukan oleh orang-orang seperti Nelson Mandela, Bung Karno, Gallileo, Thomas Alfa Edison, Marthin Luther King Jr., dan banyak orang hebat lainnya. Mereka menaklukan penderitaan, ujian, masalah, dan krisis yang datang kepada mereka, dan menjadikannya sebagai jalan untuk membuat diri mereka lebih dan lebih dan lebih baik lagi.
Bukankah itu tujuan Allah mengambil kedua orangtua Rasulullah, bahkan ketika beliau masih sangat kecil untuk mengerti? Melalui ‘penderitaan’, ‘ujian’, ‘masalah’, dan ‘krisis’ itulah, Rasulullah dididik oleh Allah untuk menjadi pribadi yang cerdas dalam segala aspek. Untuk menjadi orang yang paling hebat di seluruh dunia, di seluruh alam semesta, di sepanjang zaman. Karena seperti kata Goethe, “Kepandaian dipelihara dalam ketenangan, karakter digembleng dalam badai.”
Jadi?
Mari kita ubah mindset kita. Mari kita jadikan masalah sebagai bentuk (lain) rasa sayang Tuhan kepada kita. Sebagai bentuk ujian terhadap kita agar kita bisa lebih dewasa. Agar kita bisa lebih bersabar, lebih bisa mensyukuri nikmat yang diberikan-Nya. Bukankah kenikmatan rasa kenyang datang setelah kita didera rasa lapar? Bukankah kemerdekaan menjadi demikian agung dan besar maknanya karena diraih setelah perjuangan dan penderitaan yang sekian lama dan tak kunjung berhenti?
Aku tahu, hanya dengan menerima dengan hati yang terbuka akan setiap masalah, dan dengan segala kepasrahan dan kesadaran total kita menerima semua ini sebagai cara Tuhan untuk mendewasakan kita, dibantu dengan doa dan usaha untuk menenangkan diri sendirilah, kita akan mampu mengubah mindset kita. Terlihat susah? Justru sebaliknya!
Equilibrium
Segala macam hal di dunia, menurut analisa asal-asalanku, selalu bergerak ke titik equlibrium—ke titik keseimbangan. Itulah sebabnya selalu ada tokoh jahat dalam sebuah novel, karena keutuhan cerita si tokoh protagonis tidak akan mencapai titik keseimbangan tanpa kehadirannya. Itulah sebabnya The Dark Knight cenderung untuk tidak (mau) membunuh Joker, begitupun sebaliknya. Itulah sebabnya kenapa kejahatan tidak pernah bisa hilang dimuka bumi, karena jika kejahatan hilang, maka kebaikan itu sendiri akan berjalan ke dalam kejahatan, demi menjaga keseimbangan.
Itulah sebabnya, seperti dalam teori permintaan-penawaran, ketika permintaan naik, maka harga pun ikut naik, demi menyeimbangkan kembali kurva permintaan dan penawaran tersebut. Hal ini berlaku alamiah, otomatis. Demi menjaga titik keseimbangan!
Karena itu, jika suatu saat kamu merasa bĂȘte, merasa kesel, bahkan tanpa alasan atau sebab yang jelas sekalipun, ingatlah itu sebagai satu titik dimana kamu mulai masuk ke titik ‘masalah’ agar hidup kamu ‘seimbang’.
Life is a roller coaster, kawan.
Berputar, selalu berputar.
Biasanya, anak-anak muda, memimpikan hidup yang sempurna seperti ini: muda, kaya, terkenal. Berpikir dengan memiliki ketiga komponen itu, maka hidup mereka akan nyaman, akan bahagia. Tapi survey membuktikan, ketiga komponen itu tidak menjanjikan kebahagiaan hakiki. Berapa banyak artis Korea yang muda, kaya, dan terkenal, harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Siapa yang tak kenal Kurt Cobain, dan kenapa ia memutuskan mengakhiri hidupnya seperti itu?
Ketika ‘kesempurnaan’ yang dibentuk oleh ketiga komponen itu tercipta, lama-kelamaan, ‘kesempurnaan’ itu akan bergerak ke titik transisi, di mana masalah akan muncul, demi menjaga keseimbangan dalam hidup kamu. Dan itu sebabnya, kita memang selalu layak untuk bersyukur—dalam kondisi apapun.
Itulah sebabnya, seperti dalam teori permintaan-penawaran, ketika permintaan naik, maka harga pun ikut naik, demi menyeimbangkan kembali kurva permintaan dan penawaran tersebut. Hal ini berlaku alamiah, otomatis. Demi menjaga titik keseimbangan!
Karena itu, jika suatu saat kamu merasa bĂȘte, merasa kesel, bahkan tanpa alasan atau sebab yang jelas sekalipun, ingatlah itu sebagai satu titik dimana kamu mulai masuk ke titik ‘masalah’ agar hidup kamu ‘seimbang’.
Life is a roller coaster, kawan.
Berputar, selalu berputar.
Biasanya, anak-anak muda, memimpikan hidup yang sempurna seperti ini: muda, kaya, terkenal. Berpikir dengan memiliki ketiga komponen itu, maka hidup mereka akan nyaman, akan bahagia. Tapi survey membuktikan, ketiga komponen itu tidak menjanjikan kebahagiaan hakiki. Berapa banyak artis Korea yang muda, kaya, dan terkenal, harus mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Siapa yang tak kenal Kurt Cobain, dan kenapa ia memutuskan mengakhiri hidupnya seperti itu?
Ketika ‘kesempurnaan’ yang dibentuk oleh ketiga komponen itu tercipta, lama-kelamaan, ‘kesempurnaan’ itu akan bergerak ke titik transisi, di mana masalah akan muncul, demi menjaga keseimbangan dalam hidup kamu. Dan itu sebabnya, kita memang selalu layak untuk bersyukur—dalam kondisi apapun.
Persepsi
Albert Einstein pernah berkata, “Semua kenyataan yang terlihat sesungguhnya hanyalah ilusi, sebuah tipuan mata yang sangat kuat dan sulit dihapuskan.”
Kawan, bolehkah aku bertanya? Terimakasih. Apakah sewaktu dulu kamu pernah diajari bahwa kita bisa ‘melihat’ karena mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekeliling kita—terlepas dari manapun sumber cahaya itu?
Kita bisa melihat batu, karena batu itu memantulkan cahaya matahari yang menyinari batu itu kepada mata kita. Coba matikan lampu kamar dan kamu tidak akan bisa melihat apapun yang ada di kamar. Dan mari kita nyalakan lampu—oh, lihatlah kamarmu yang berantakan itu!
Apakah semua itu cukup membuktikan bahwa kita bisa melihat karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat tersebut?
Sayangnya, kawanku, dan maafkan aku, pernyataan itu, paling tidak menurutku sendiri, tidak sepenuhnya benar. Oke, oke, kita memang bisa melihat karena ada cahaya yang masuk ke mata kita. Aku setuju untuk hal itu. Tapi, apa yang kita lihat bukanlah realitas. Bukanlah kenyataan. Kenapa? Karena…
1. Menurut teori ilmu fisika kuantum—dan akan kuusuhakan untuk menceritakannya dengan mudah—dalam dimensi kuantum, sebenarnya tidak ada yang namanya benda padat, benda cair, udara, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Karena semua ‘benda’, dalam dimensi kuantum, adalah energi vibrasi yang saling membaur, tak ada batasan, tak ada jarak. Energi ini berputar dengan sangat cepat dan karenanya tidak bisa ‘dilihat’. Bagian dari energi vibrasi yang putarannya lambat akan ‘terlihat’ sebagai benda padat, cair, udara, dan lain sebagainya. Akan ‘terlihat’ sebagai manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Di sini, benar sekali Firman Tuhan yang menyatakan bahwa dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
2. Menurut teori psikologi, segala apapun yang kita lihat, sangat dipengaruhi oleh persepsi. Persepsi artinya kurang lebih cara kita ‘melihat’ sesuatu. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik kita, karakteristik objek, dan situasi saat proses pemersepsian terjadi. Mari kita ambil contoh: sebuah pulpen! Bagi kita, pulpen adalah alat tulis, yang bisa memudahkan kita dalam mencatat pelajaran di kelas atau menulis surat atau untuk menandatangani slip setoran saat kita hendak menabung di bank. Tapi bagi masyarakat pedalaman yang jauh dari pengaruh globalisasi, pulpen bisa jadi dianggap sebagai benda yang berbahaya. Karena mungkin saja dahulu, saat mereka menggunakan ‘benda itu’, mereka kehilangan sebagian tanahnya. Maka, mereka mempersepsikan pulpen sebagai benda pembawa sial. Lihatlah, betapa berbeda apa yang dilihat kedua ‘jenis orang’ itu terhadap sebuah pulpen.
Segala sesuatu yang terjadi pada kita, atau dengan sengaja dan tidak sengaja kita tarik ke dalam kehidupan kita, sebenarnya sama saja. Semua itu hanyalah ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Kita ‘lah, dengan persepsi yang kita gunakan, yang melabeli semua itu dengan ‘masalah’, ‘keberuntungan’, ‘rezeki’, ‘kesialan’, dan lain sebagainya, tergantung dari bagaimana ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ itu memberikan pengaruh psikologis kepada kita. Jadi, ini semua bukan tentang the gun, kawan, tapi tentang the man behind the gun. Dan itu kamu. Selamat!
Kawan, bolehkah aku bertanya? Terimakasih. Apakah sewaktu dulu kamu pernah diajari bahwa kita bisa ‘melihat’ karena mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekeliling kita—terlepas dari manapun sumber cahaya itu?
Kita bisa melihat batu, karena batu itu memantulkan cahaya matahari yang menyinari batu itu kepada mata kita. Coba matikan lampu kamar dan kamu tidak akan bisa melihat apapun yang ada di kamar. Dan mari kita nyalakan lampu—oh, lihatlah kamarmu yang berantakan itu!
Apakah semua itu cukup membuktikan bahwa kita bisa melihat karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat tersebut?
Sayangnya, kawanku, dan maafkan aku, pernyataan itu, paling tidak menurutku sendiri, tidak sepenuhnya benar. Oke, oke, kita memang bisa melihat karena ada cahaya yang masuk ke mata kita. Aku setuju untuk hal itu. Tapi, apa yang kita lihat bukanlah realitas. Bukanlah kenyataan. Kenapa? Karena…
1. Menurut teori ilmu fisika kuantum—dan akan kuusuhakan untuk menceritakannya dengan mudah—dalam dimensi kuantum, sebenarnya tidak ada yang namanya benda padat, benda cair, udara, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Karena semua ‘benda’, dalam dimensi kuantum, adalah energi vibrasi yang saling membaur, tak ada batasan, tak ada jarak. Energi ini berputar dengan sangat cepat dan karenanya tidak bisa ‘dilihat’. Bagian dari energi vibrasi yang putarannya lambat akan ‘terlihat’ sebagai benda padat, cair, udara, dan lain sebagainya. Akan ‘terlihat’ sebagai manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Di sini, benar sekali Firman Tuhan yang menyatakan bahwa dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
2. Menurut teori psikologi, segala apapun yang kita lihat, sangat dipengaruhi oleh persepsi. Persepsi artinya kurang lebih cara kita ‘melihat’ sesuatu. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik kita, karakteristik objek, dan situasi saat proses pemersepsian terjadi. Mari kita ambil contoh: sebuah pulpen! Bagi kita, pulpen adalah alat tulis, yang bisa memudahkan kita dalam mencatat pelajaran di kelas atau menulis surat atau untuk menandatangani slip setoran saat kita hendak menabung di bank. Tapi bagi masyarakat pedalaman yang jauh dari pengaruh globalisasi, pulpen bisa jadi dianggap sebagai benda yang berbahaya. Karena mungkin saja dahulu, saat mereka menggunakan ‘benda itu’, mereka kehilangan sebagian tanahnya. Maka, mereka mempersepsikan pulpen sebagai benda pembawa sial. Lihatlah, betapa berbeda apa yang dilihat kedua ‘jenis orang’ itu terhadap sebuah pulpen.
Segala sesuatu yang terjadi pada kita, atau dengan sengaja dan tidak sengaja kita tarik ke dalam kehidupan kita, sebenarnya sama saja. Semua itu hanyalah ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Kita ‘lah, dengan persepsi yang kita gunakan, yang melabeli semua itu dengan ‘masalah’, ‘keberuntungan’, ‘rezeki’, ‘kesialan’, dan lain sebagainya, tergantung dari bagaimana ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ itu memberikan pengaruh psikologis kepada kita. Jadi, ini semua bukan tentang the gun, kawan, tapi tentang the man behind the gun. Dan itu kamu. Selamat!
Persepsi
Albert Einstein pernah berkata, “Semua kenyataan yang terlihat sesungguhnya hanyalah ilusi, sebuah tipuan mata yang sangat kuat dan sulit dihapuskan.”
Kawan, bolehkah aku bertanya? Terimakasih. Apakah sewaktu dulu kamu pernah diajari bahwa kita bisa ‘melihat’ karena mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekeliling kita—terlepas dari manapun sumber cahaya itu?
Kita bisa melihat batu, karena batu itu memantulkan cahaya matahari yang menyinari batu itu kepada mata kita. Coba matikan lampu kamar dan kamu tidak akan bisa melihat apapun yang ada di kamar. Dan mari kita nyalakan lampu—oh, lihatlah kamarmu yang berantakan itu!
Apakah semua itu cukup membuktikan bahwa kita bisa melihat karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat tersebut?
Sayangnya, kawanku, dan maafkan aku, pernyataan itu, paling tidak menurutku sendiri, tidak sepenuhnya benar. Oke, oke, kita memang bisa melihat karena ada cahaya yang masuk ke mata kita. Aku setuju untuk hal itu. Tapi, apa yang kita lihat bukanlah realitas. Bukanlah kenyataan. Kenapa? Karena…
1. Menurut teori ilmu fisika kuantum—dan akan kuusuhakan untuk menceritakannya dengan mudah—dalam dimensi kuantum, sebenarnya tidak ada yang namanya benda padat, benda cair, udara, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Karena semua ‘benda’, dalam dimensi kuantum, adalah energi vibrasi yang saling membaur, tak ada batasan, tak ada jarak. Energi ini berputar dengan sangat cepat dan karenanya tidak bisa ‘dilihat’. Bagian dari energi vibrasi yang putarannya lambat akan ‘terlihat’ sebagai benda padat, cair, udara, dan lain sebagainya. Akan ‘terlihat’ sebagai manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Di sini, benar sekali Firman Tuhan yang menyatakan bahwa dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
2. Menurut teori psikologi, segala apapun yang kita lihat, sangat dipengaruhi oleh persepsi. Persepsi artinya kurang lebih cara kita ‘melihat’ sesuatu. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik kita, karakteristik objek, dan situasi saat proses pemersepsian terjadi. Mari kita ambil contoh: sebuah pulpen! Bagi kita, pulpen adalah alat tulis, yang bisa memudahkan kita dalam mencatat pelajaran di kelas atau menulis surat atau untuk menandatangani slip setoran saat kita hendak menabung di bank. Tapi bagi masyarakat pedalaman yang jauh dari pengaruh globalisasi, pulpen bisa jadi dianggap sebagai benda yang berbahaya. Karena mungkin saja dahulu, saat mereka menggunakan ‘benda itu’, mereka kehilangan sebagian tanahnya. Maka, mereka mempersepsikan pulpen sebagai benda pembawa sial. Lihatlah, betapa berbeda apa yang dilihat kedua ‘jenis orang’ itu terhadap sebuah pulpen.
Segala sesuatu yang terjadi pada kita, atau dengan sengaja dan tidak sengaja kita tarik ke dalam kehidupan kita, sebenarnya sama saja. Semua itu hanyalah ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Kita ‘lah, dengan persepsi yang kita gunakan, yang melabeli semua itu dengan ‘masalah’, ‘keberuntungan’, ‘rezeki’, ‘kesialan’, dan lain sebagainya, tergantung dari bagaimana ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ itu memberikan pengaruh psikologis kepada kita. Jadi, ini semua bukan tentang the gun, kawan, tapi tentang the man behind the gun. Dan itu kamu. Selamat!
Kawan, bolehkah aku bertanya? Terimakasih. Apakah sewaktu dulu kamu pernah diajari bahwa kita bisa ‘melihat’ karena mata kita menerima cahaya yang dipantulkan oleh benda di sekeliling kita—terlepas dari manapun sumber cahaya itu?
Kita bisa melihat batu, karena batu itu memantulkan cahaya matahari yang menyinari batu itu kepada mata kita. Coba matikan lampu kamar dan kamu tidak akan bisa melihat apapun yang ada di kamar. Dan mari kita nyalakan lampu—oh, lihatlah kamarmu yang berantakan itu!
Apakah semua itu cukup membuktikan bahwa kita bisa melihat karena adanya cahaya yang dipantulkan oleh benda-benda yang kita lihat tersebut?
Sayangnya, kawanku, dan maafkan aku, pernyataan itu, paling tidak menurutku sendiri, tidak sepenuhnya benar. Oke, oke, kita memang bisa melihat karena ada cahaya yang masuk ke mata kita. Aku setuju untuk hal itu. Tapi, apa yang kita lihat bukanlah realitas. Bukanlah kenyataan. Kenapa? Karena…
1. Menurut teori ilmu fisika kuantum—dan akan kuusuhakan untuk menceritakannya dengan mudah—dalam dimensi kuantum, sebenarnya tidak ada yang namanya benda padat, benda cair, udara, dan lain sebagainya. Tidak ada manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Karena semua ‘benda’, dalam dimensi kuantum, adalah energi vibrasi yang saling membaur, tak ada batasan, tak ada jarak. Energi ini berputar dengan sangat cepat dan karenanya tidak bisa ‘dilihat’. Bagian dari energi vibrasi yang putarannya lambat akan ‘terlihat’ sebagai benda padat, cair, udara, dan lain sebagainya. Akan ‘terlihat’ sebagai manusia, batu, meja, mobil, dan lain sebagainya. Di sini, benar sekali Firman Tuhan yang menyatakan bahwa dunia hanyalah tipuan yang memperdayakan.
2. Menurut teori psikologi, segala apapun yang kita lihat, sangat dipengaruhi oleh persepsi. Persepsi artinya kurang lebih cara kita ‘melihat’ sesuatu. Hal ini dipengaruhi oleh karakteristik kita, karakteristik objek, dan situasi saat proses pemersepsian terjadi. Mari kita ambil contoh: sebuah pulpen! Bagi kita, pulpen adalah alat tulis, yang bisa memudahkan kita dalam mencatat pelajaran di kelas atau menulis surat atau untuk menandatangani slip setoran saat kita hendak menabung di bank. Tapi bagi masyarakat pedalaman yang jauh dari pengaruh globalisasi, pulpen bisa jadi dianggap sebagai benda yang berbahaya. Karena mungkin saja dahulu, saat mereka menggunakan ‘benda itu’, mereka kehilangan sebagian tanahnya. Maka, mereka mempersepsikan pulpen sebagai benda pembawa sial. Lihatlah, betapa berbeda apa yang dilihat kedua ‘jenis orang’ itu terhadap sebuah pulpen.
Segala sesuatu yang terjadi pada kita, atau dengan sengaja dan tidak sengaja kita tarik ke dalam kehidupan kita, sebenarnya sama saja. Semua itu hanyalah ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’. Kita ‘lah, dengan persepsi yang kita gunakan, yang melabeli semua itu dengan ‘masalah’, ‘keberuntungan’, ‘rezeki’, ‘kesialan’, dan lain sebagainya, tergantung dari bagaimana ‘sesuatu’ atau ‘seseorang’ itu memberikan pengaruh psikologis kepada kita. Jadi, ini semua bukan tentang the gun, kawan, tapi tentang the man behind the gun. Dan itu kamu. Selamat!
Magnet Masalah
Jika teori yang disampaikan Rhonda Byrne dalam The Secret dan Erbe Sentanu dalam Quantum Ikhlas benar—dan aku meyakini benar teori itu—maka, satu hal yang harus kita sadari adalah kitalah yang menarik segala hal kepada diri kita sendiri. Kita menarik orang, menarik situasi, menarik keadaan, menarik keberuntungan, menarik masalah, menarik rezeki, kitalah yang menarik apapun di dunia ini.
Jadi, menurut kedua buku di atas, apa yang kita rasakan dan pikirkan akan memancarkan gelombang ke alam semesta yang akan menarik hal-hal yang serupa dengan apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan.
Jika kamu ingin dapat nilai 10 di ujian dan kamu belajar dengan giat tapi hati kamu yakin—entah bagaimana—bahwa kamu tidak akan mungkin bisa mendapatkan nilai di atas 8, maka kamu akan mendapatkan apa yang kamu yakini—nilai kamu pasti di bawah 8!
Jika kamu berdoa untuk penyelesaian terbaik atas setiap masalahmu, tapi hatimu ragu bahwa masalah itu akan mendapatkan penyelesaian yang terbaik, maka kamu akan mendapatkan apa yang kamu takutkan. Penyelesaian terbaik untuk masalahmu tidak akan datang.
Pada saat seperti itu kamu mungkin akan mempertanyakan dimana Tuhan? Kenapa Ia tidak mengabulkan doa-doamu? Mengapa Ia diam saja? Mengapa Ia ingkar janji? Kenyataannya, kawanku, doa yang di hati, yang tanpa kita sadari itulah yang memancarkan gelombang yang lebih kuat, yang lebih ‘cepat sampai’ kepada Allah. Itulah doa yang dikabulkan oleh Allah.
Aku punya seorang teman. Ia seorang yang sedikit tidak diperhitungkan di kelas. Ia tipikal invisible man, kau tahu. Ada dan tiadanya tidak ada bedanya. Ia merasa dirinya bodoh, merasa dirinya tidak tampan, merasa dirinya tidak laku. Merasa takut tidak diterima di pergaulan, gampang gugup, dan mudah sekali mengeluh untuk setiap hal. “Aduh nilaiku buruk. Aku memang tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Ya ampun, bahkan soal seperti inipun aku lewatkan. Aku tidak akan mungkin bisa menjadi orang pintar. Aku tidak mungkin bisa sukses. Aku tidak mungkin bisa…,” dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?
Ia mendapatkan apa yang ia rasakan dan fokuskan dalam hatinya. Ia cetak dalam otak bawah sadarnya. Dan itu membuatnya tambah minder. Aku pernah meminjaminya sebuah buku tentang akselerasi belajar, dan setelah beberapa hari, ia mengembalikan buku itu kepadaku dengan respon dan komentar yang positif. Sayangnya, hasilnya tak nampak sama sekali.
Rupanya ia tidak menerapkan—atau mencoba menerapkan—teori-teori praktis dalam buku itu. Rupanya, menurut analisa asal-asalanku, keyakinannya bahwa kebodohan adalah bagian dari takdirnya sudah menguasainya, sehingga teori praktis apapun tidak akan bisa membantunya.
Dan ia mendapatkan apa yang ia yakini, apa yang ia rasakan, apa yang ia cetak dalam otak bawah sadarnya.
Dan sebagai tambahan, ini sudah dibuktikan secara ilmiah, tapi aku tidak akan menguraikannya di sini—hei, untuk apa?
Jadi, menurut kedua buku di atas, apa yang kita rasakan dan pikirkan akan memancarkan gelombang ke alam semesta yang akan menarik hal-hal yang serupa dengan apa yang kita rasakan dan apa yang kita pikirkan.
Jika kamu ingin dapat nilai 10 di ujian dan kamu belajar dengan giat tapi hati kamu yakin—entah bagaimana—bahwa kamu tidak akan mungkin bisa mendapatkan nilai di atas 8, maka kamu akan mendapatkan apa yang kamu yakini—nilai kamu pasti di bawah 8!
Jika kamu berdoa untuk penyelesaian terbaik atas setiap masalahmu, tapi hatimu ragu bahwa masalah itu akan mendapatkan penyelesaian yang terbaik, maka kamu akan mendapatkan apa yang kamu takutkan. Penyelesaian terbaik untuk masalahmu tidak akan datang.
Pada saat seperti itu kamu mungkin akan mempertanyakan dimana Tuhan? Kenapa Ia tidak mengabulkan doa-doamu? Mengapa Ia diam saja? Mengapa Ia ingkar janji? Kenyataannya, kawanku, doa yang di hati, yang tanpa kita sadari itulah yang memancarkan gelombang yang lebih kuat, yang lebih ‘cepat sampai’ kepada Allah. Itulah doa yang dikabulkan oleh Allah.
Aku punya seorang teman. Ia seorang yang sedikit tidak diperhitungkan di kelas. Ia tipikal invisible man, kau tahu. Ada dan tiadanya tidak ada bedanya. Ia merasa dirinya bodoh, merasa dirinya tidak tampan, merasa dirinya tidak laku. Merasa takut tidak diterima di pergaulan, gampang gugup, dan mudah sekali mengeluh untuk setiap hal. “Aduh nilaiku buruk. Aku memang tidak bisa melakukan apapun dengan benar. Ya ampun, bahkan soal seperti inipun aku lewatkan. Aku tidak akan mungkin bisa menjadi orang pintar. Aku tidak mungkin bisa sukses. Aku tidak mungkin bisa…,” dan seterusnya, kawan, dan seterusnya!
Dan tebak apa yang terjadi selanjutnya?
Ia mendapatkan apa yang ia rasakan dan fokuskan dalam hatinya. Ia cetak dalam otak bawah sadarnya. Dan itu membuatnya tambah minder. Aku pernah meminjaminya sebuah buku tentang akselerasi belajar, dan setelah beberapa hari, ia mengembalikan buku itu kepadaku dengan respon dan komentar yang positif. Sayangnya, hasilnya tak nampak sama sekali.
Rupanya ia tidak menerapkan—atau mencoba menerapkan—teori-teori praktis dalam buku itu. Rupanya, menurut analisa asal-asalanku, keyakinannya bahwa kebodohan adalah bagian dari takdirnya sudah menguasainya, sehingga teori praktis apapun tidak akan bisa membantunya.
Dan ia mendapatkan apa yang ia yakini, apa yang ia rasakan, apa yang ia cetak dalam otak bawah sadarnya.
Dan sebagai tambahan, ini sudah dibuktikan secara ilmiah, tapi aku tidak akan menguraikannya di sini—hei, untuk apa?
Ekspektasi Vs Realita
Jika semua yang terjadi dalam hidup kita sesuai dengan harapan kita, maka kita tidak sedang berada di dunia. Mungkin di suatu tempat yang jauh dalam dongeng, di surga seperti yang sering dikisahkan oleh orangtua kita, atau di tempat-tempat yang jauh di mana segala sunnatulloh tidak berlaku.
Tapi kita sudah sepakat, kawanku, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, bahwa masalah adalah istilah yang kita gunakan untuk ‘sesuatu’ yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita.
Jika kita menginginkan teman kita datang tepat waktu dan ia terlambat, maka kita kecewa, dan itu masalah. Jika kita menginginkan punya motor untuk bisa dipakai ke sekolah dan ternyata kita tidak punya—dan ditambah sedikit sikap kekanak-kanakkan—maka itu akan menjadi masalah. Jika kita mendambakan guru yang sangat toleran, lalu mendapatkan guru yang killer, maka itu menjadi masalah. Jika kita bangun pagi dan kejeduk pintu—aduh—maka itu juga masalah.
Intinya, masalah itu terjadi ketika ekspektasi (harapan) kita tidak sesuai dengan kenyataan yang kita alami. Tentu saja maksudku, kenyataannya itu berada di bawah ekspektasi kita, atau dengan kata lain, lebih buruk.
Aku berangkat dari rumah sejak pagi buta. Dengan menaiki bus non AC, di pagi hari, di suatu hari Selasa yang cerah, aku begitu bersemangat ingin segera bertemu dengan sahabatku itu.
Dia, berdasarkan smsnya tadi malam, mengaku bahwa ia begitu merasa putus asa oleh masalah yang sedang dia hadapi. Aku begitu mengenal dia, dan karenanya, bayangannya tengah terpuruk, begitu mengganggu pikiranku. Aku cemas.
Sebentar, jika kamu berpikir aku ke sana untuk menyelesaikan semua permasalahannya seperti yang dilakukan agen rahasia Amerika dalam film-film mereka, kamu salah besar.
Aku ke sana justru ingin mengajaknya nonton bareng. Paling tidak, aku ingin mendengarkan keluh kesahnya. Menjadi tempat sampah bagi semua unek-uneknya. Berharap dia bisa lebih tenang, tak lebih dari itu.
Saat aku sampai di Bandung, aku mengiriminya sms dan mengatakan bahwa aku sudah sampai. Tapi ia tak kunjung membalas smsku. 10 menit berlalu. 15 menit, aku kembali mengiriminya sms, tapi ia tetap tak membalas.
Aku berpikir positif: mungkin dia sedang di jalan. Tapi setengah jam berlalu dan dia tak kunjung datang. Dan aku tetap menunggu, sambil masuk ke toko buku dan melihat dari rak ke rak.
Dua jam sudah, dan ia tak datang.
Hatiku dongkol. Aku ke sini untuk membantunya, dan ia bahkan tak mau membalas smsku. Paling tidak, katakan tidak bisa, jika memang dia tidak bisa. Tapi ini, sama sekali tak ada kabar? Dianggap apa aku ini?
Ekspekstasiku akan ngobrol bareng dengannya, membayangkan aku membantunya sebisaku menyelesaikan masalahnya, lalu nonton bareng sambil bercanda, membuatku begitu sakit hati.
Ini sama sekali jauh dari realita yang kuhadapi. Dan itu adalah masalah, masalah besar bagiku, hingga aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk menjaga persepsiku tentang sahabatku itu. Sampai akhirnya, ia mengirimiku sms, dan meminta maaf sambil menjelaskan alasan ketidakdatangannya. Ajaibnya, itu saja sudah cukup untuk membuatku mau memaafkannya.
Tapi kita sudah sepakat, kawanku, seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya, bahwa masalah adalah istilah yang kita gunakan untuk ‘sesuatu’ yang tidak sesuai dengan harapan dan keinginan kita.
Jika kita menginginkan teman kita datang tepat waktu dan ia terlambat, maka kita kecewa, dan itu masalah. Jika kita menginginkan punya motor untuk bisa dipakai ke sekolah dan ternyata kita tidak punya—dan ditambah sedikit sikap kekanak-kanakkan—maka itu akan menjadi masalah. Jika kita mendambakan guru yang sangat toleran, lalu mendapatkan guru yang killer, maka itu menjadi masalah. Jika kita bangun pagi dan kejeduk pintu—aduh—maka itu juga masalah.
Intinya, masalah itu terjadi ketika ekspektasi (harapan) kita tidak sesuai dengan kenyataan yang kita alami. Tentu saja maksudku, kenyataannya itu berada di bawah ekspektasi kita, atau dengan kata lain, lebih buruk.
Aku berangkat dari rumah sejak pagi buta. Dengan menaiki bus non AC, di pagi hari, di suatu hari Selasa yang cerah, aku begitu bersemangat ingin segera bertemu dengan sahabatku itu.
Dia, berdasarkan smsnya tadi malam, mengaku bahwa ia begitu merasa putus asa oleh masalah yang sedang dia hadapi. Aku begitu mengenal dia, dan karenanya, bayangannya tengah terpuruk, begitu mengganggu pikiranku. Aku cemas.
Sebentar, jika kamu berpikir aku ke sana untuk menyelesaikan semua permasalahannya seperti yang dilakukan agen rahasia Amerika dalam film-film mereka, kamu salah besar.
Aku ke sana justru ingin mengajaknya nonton bareng. Paling tidak, aku ingin mendengarkan keluh kesahnya. Menjadi tempat sampah bagi semua unek-uneknya. Berharap dia bisa lebih tenang, tak lebih dari itu.
Saat aku sampai di Bandung, aku mengiriminya sms dan mengatakan bahwa aku sudah sampai. Tapi ia tak kunjung membalas smsku. 10 menit berlalu. 15 menit, aku kembali mengiriminya sms, tapi ia tetap tak membalas.
Aku berpikir positif: mungkin dia sedang di jalan. Tapi setengah jam berlalu dan dia tak kunjung datang. Dan aku tetap menunggu, sambil masuk ke toko buku dan melihat dari rak ke rak.
Dua jam sudah, dan ia tak datang.
Hatiku dongkol. Aku ke sini untuk membantunya, dan ia bahkan tak mau membalas smsku. Paling tidak, katakan tidak bisa, jika memang dia tidak bisa. Tapi ini, sama sekali tak ada kabar? Dianggap apa aku ini?
Ekspekstasiku akan ngobrol bareng dengannya, membayangkan aku membantunya sebisaku menyelesaikan masalahnya, lalu nonton bareng sambil bercanda, membuatku begitu sakit hati.
Ini sama sekali jauh dari realita yang kuhadapi. Dan itu adalah masalah, masalah besar bagiku, hingga aku membutuhkan waktu berhari-hari untuk menjaga persepsiku tentang sahabatku itu. Sampai akhirnya, ia mengirimiku sms, dan meminta maaf sambil menjelaskan alasan ketidakdatangannya. Ajaibnya, itu saja sudah cukup untuk membuatku mau memaafkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)